Hampir setiap saat atau saban hari manusia akan selalu melangsungkan komunikasi, mulai di rumah, di lingkungan keluarga, tempat kerja, organisasi atau tempat-tempat umum. Dengan berkomunikasi berarti manusia telah melakukan interaksi sesuai kepentingan maupun masalah yang dihadapi, sehingga menjadikan aktivitasnya lebih dinamis.
Pada tataran teoritis, menurut Gunadi, YS (1998:69) disebutkan, komunikasi adalah proses kegiatan manusia yang diungkapkan melalui bahasa lisan dan tulisan, gambar-gambar, isyarat, bunyi-bunyian dan bentuk kode lain yang mengandung arti dan dimengerti oleh orang lain.
Disadari atau tidak, sesungguhnya hidup kita akan selalu memerlukan aktivitas komunikasi. Tanpa ada komunikasi pastinya kehidupan ini menjadi hambar, tak ditemui perkembangan dan perubahan. Melalui komunikasi, segala ide/gagasan, aspirasi, pemikiran, pendapat, bisa disampaikan, baik secara antar personal maupun kelompok bahkan berkomunikasi juga dapat dilakukan menggunakan media dengan sasaran banyak orang.
Mantan presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, pernah mengatakan bahwa dalam kehidupan tidak ada apapun yang lebih penting dari pada kemampuan berkomunikasi yang efektif. Kemampuan berkomunikasi yang baik bisa membantu menyelesaikan banyak masalah dan mendatangkan banyak keuntungan bagi kita. Sebaliknya, kegagalan dalam berkomunikasi bisa berakibat fatal (http://www.sinarharapan.co.id/2004/08/31).
Persoalannya, apakah komunikasi yang telah dilakukan itu berlangsung secara efektif sehingga dapat menunjang/membantu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi?
Mengingat setiap apa yang dikomunikasikan itu selalu berdampak (positif dan negatif) maka sangat diperlukan kemampuan tersendiri sehingga dapat dipetik manfaat yang saling menguntungkan, bukan sebaliknya malah membuahkan kegagalan seperti hilangnya relasi/persahabatan, terjadi konflik berkepanjangan, baik menyangkut kepentingan pribadi, organisasi maupun urusan penting lainnya.
Salah satu pilihan yang dapat dilakukan untuk mencegah kegagalan tersebut yaitu dengan melangsungkan apa yang disebut komunikasi empatik.
Berkomunikasi yang empatik akan banyak memberikan manfaat. Pertama, terjadi hubungan antarmanusia (komunikator dan komunikan) yang setara, tidak ada pihak yang terkesan ”menggurui” bahkan tidak ada yang merasa menangan atau merasa paling benar sendiri. Suasana yang terbangun lebih bersifat egaliter.
Kedua, terbangun toleransi dan suasana yang nyaman dalam berinteraksi sehingga sangat memungkinkan untuk mencari solusi bersama terhadap masalah yang dihadapi.
Komunikasi empatik pada dasarnya sebagai suatu upaya bagaimana aktivitas yang dilakukan bermaksud terfokus pada keberpihakan terhadap manusia lain yang diajak berkomunikasi. Manusia dalam hal ini lebih dimanusiakan, sehingga jika komunikasi diharapkan dapat berlangsung efektif maka diawali dengan cara mendengar, mengerti, memahami pihak/manusia lain dan kemudian berusaha untuk mencarikan solusi yang tepat sesuai yang dibutuhkan.
Dalam konteks tulisan ini, komunikasi lebih dititikberatkan pada konsepsi tentang manusia dalam perspektif psikologis humanistik. Dipaparkan Rakhmat (2007:30-32) yang mengutip istilah Martin Buber dengan sebutan ”I-it Relationship” yang menunjukkan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda, atau subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek.
Manusia dalam pandangan ini hanya tumbuh dengan baik dalam ”I-it Relationship”. Di sinilah faktor orang lain menjadi penting, bagaimana reaksi mereka bukan saja membentuk diri kita – tetapi juga pemuasan yang disebut ”growth need”. Seperti halnya eksistensialisme yang menekankan pentingnya kewajiban induvidu kepada sesama manusia. Yang paling penting bukan apa yang didapat dari kehidupan, tetapi apa yang dapat kita berikan untuk kehidupan.
Berdasarkan konsepsi di atas, karena komunikasi empatik ini lebih berpendekatan kualitatif dan sangat subjektif sehingga dapat pula dikategorikan sebagai kreativitas yang dapat dilangsungkan melalui sebuah keterampilan dalam berkomunikasi.
Pada tataran praktis, selanjutnya ada beberapa hal penting yang layak dilakukan agar komunikasi empatik ini membawa manfaat sesuai harapan, di antaranya:
- Memiliki informasi yang utuh dan lengkap. Dimaksudkan bahwa sebelum melancarkan komunikasi, perlu memiliki data/informasi yang menyeluruh sehingga permasalahan yang hendak dibakas dan dikomunikasikan dapat dipahami secara komprehensif.
- Mengerti tentang siapa yang kita ajak berkomunikasi. Artinya kita tidak bisa semau gue menyampaikan misalnya istilah-istilah yang masih asing bagi komunikan. Berkomunikasilah dengan menggunakan bahasa sederhana dan mudah dipahami supaya akan nyambung.
- Membantu menyelesaikan masalah. Berkomunikasi sudah barang tentu tidak asal-asalan, namun bila mengharapkan efektif maka kita perlu memberikan solusi yang sesuai dengan kemampuan komunikan, sehingga kebutuhannya terpenuhi.
- Bersenyumlah. Senyum sebagai komunikasi non-verbal ternyata sangat membantu dalam berkomunikasi antarsesama manusia. Senyuman yang tulus dan hangat dapat mengatasi hambatan komunikasi (ketegangan, kecurigaan, kemarahan, kecemburuan). Senyuman juga merupakan indikasi kita memiliki emosi positif terhadap orang yang kita ajak berkomunikasi.(Waluya).
Referensi:
Gunadi, YS, Himpunan Istilah Komunikasi, Penerbit Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia), Jakarta, 1998.
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007 (Cetakan keduapuluhempat).
http://www.sinarharapan.co.id/2004/08/31
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H