Sangihe Melawan Tambang
Janji-janji gemerlap kemakmuran ekonomi yang terpancar dari Indonesian Mining Summit (IMS) 2024 di Jakarta, yang diselenggarakan pada 4 Desember, terasa hampa bagi penduduk Sangihe. Sementara KTT tersebut mengkampanyekan eksploitasi emas yang berkelanjutan, bagi kepulauan yang kaya akan sumber daya ini, tambang emas bukanlah kunci emas menuju kekayaan, melainkan perjudian berbahaya yang mengancam ekosistemnya yang rapuh dan cara hidup leluhurnya. Ini adalah kisah perjuangan Sangihe -- sebuah pertarungan bukan hanya melawan praktik pertambangan yang merusak, tetapi juga untuk masa depan rakyat dan lingkungannya yang tak tergantikan.
Surga yang Terancam: Permata Segitiga Terumbu Karang
Terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang (STC), kawasan keanekaragaman hayati seluas 6 juta kilometer persegi yang mencakup Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, Sangihe memiliki keindahan kehidupan laut yang menakjubkan. Kawasan ini memiliki konsentrasi terumbu karang dan ikan karang tertinggi di dunia, berfungsi sebagai tempat pemijahan bagi banyak spesies dan sumber daya vital bagi jutaan orang. Sangihe, yang terjalin erat dengan kekayaan laut ini, sangat bergantung pada perikanan; 80% penduduknya tinggal di sepanjang pantai, mata pencaharian mereka terkait erat dengan kesehatan STC. Jaringan kehidupan ini kini terancam oleh kemajuan pertambangan tak terkendali.
Dampak Ekonomi Pertambangan Emas: Potensi dan Kontradiksi
Dampak ekonomi pertambangan emas memang sangat kuat namun kompleks dan seringkali kontradiktif. Studi di 29 negara Afrika sub-Sahara menunjukkan peningkatan lapangan kerja di sektor jasa dan pendapatan tunai yang lebih tinggi bagi laki-laki di dekat tambang emas industri -- dengan Newmont Ghana Gold melaporkan efek ganda lapangan kerja secara signifikan -- tetapi dampak ekonomi secara keseluruhan masih diperdebatkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa penambangan artisanal atau pertambangan rakyat kecil dapat mendorong perubahan struktural yang lebih positif daripada operasi industri berskala besar, yang dapat mengganggu ekonomi lokal dan gagal memberikan manfaat yang luas.
Namun, janji peningkatan ekonomi dari penambangan artisanal atau rakyat kecil seringkali seperti sebuah fatamorgana. Studi di berbagai jurnal internasional tentang pertambangan menunjukkan bahwa kemakmuran bersifat sementara, biasanya hanya berlangsung sekitar sepuluh tahun, dan pendapatan yang diperoleh jarang dipertahankan. Sifat informal operasi ini mencegah akumulasi kekayaan yang substansial, menghasilkan tabungan rendah dan investasi jangka panjang yang minimal. Selain itu, biaya hidup yang lebih tinggi di dekat lokasi penambangan, karena penurunan pertanian, merusak keuntungan yang dirasakan. Keuntungan ekonomi jangka pendek ini sangat kontras dengan distribusi kekayaan yang tidak adil yang terlihat pada pertambangan industri. Sebagai contoh, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) menghasilkan lebih dari 11 miliar rupiah per hari, namun hanya 10% yang tersisa di masyarakat lokal.
Kehancuran Lingkungan dan Bayangan Tragedi Minamata
Ketimpangan ekonomi tersebut menutupi bencana lingkungan yang lebih luas. Bekas-bekas kerusakan akibat pertambangan terlihat di seluruh Indonesia -- dari Pegunungan Meratus yang hancur di Kalimantan hingga perairan yang tercemar di dekat tambang Grasberg Papua. Sangihe menghadapi nasib serupa. Keanekaragaman hayati pulau ini berada di ambang kehancuran, mikrokosmos krisis global yang disebabkan oleh pertambangan yang tidak terkendali. Ancaman keracunan merkuri, yang disoroti dalam laporan seperti Global Biodiversity Outlook (2020) dan UN Special Rapporteur on Toxics and Human Rights (2022), sangat besar.
Warisan tragis Teluk Minamata mengintai yang mengindikasikan harga mahal kontaminasi merkuri akibat ulah manusia-- prospek yang mengerikan bagi Sangihe, mengingat penggunaan merkuri yang meluas dalam penambangan artisanal di Indonesia (dilaporkan sebanyak 213 kasus menurut Siti Nurbaya, mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia). Kegiatan Pengabdian masrayakat kami baru-baru ini di Salurang, dekat lokasi tambang Sangihe, yang diterbitkan dalam Jurnal Pengabdian Wikrama Parahita, menjadi saksi kerusakan ini. Selama dua tahun, tim kami bekerja untuk memulihkan ekosistem pesisir melalui penanaman bakau dan budidaya spons, hanya untuk mengamati secara langsung dampak buruk sedimentasi, yang membuat perairan pesisir menjadi berlumpur dan menghancurkan tempat penangkapan ikan yang vital, termasuk hilangnya praktik penangkapan ikan tradisional Malembo Kahekuang di desa yang terdampak.
Â