Di dunia penelitian ilmiah yang rigid, di mana data adalah raja dan eksperimen terkontrol memegang kunci penemuan, seorang ahli virologi berani mengacak-acak aturan sakral ini. Beata Halassy, seorang peneliti yang bergumul melawan kanker payudara, mengambil langkah ekstrim: dia mengobati dirinya sendiri. Daripada harus kembali menjalani kemoterapi yang melelahkan pada tahun 2020, Halassy nekat menyuntikkan tumornya dengan virus yang telah dia tumbuhkan di laboratoriumnya---terapi eksperimental berisiko yang disebut viroterapi onkolitik.
Keputusannya, yang terbit dalam bagian berita dari jurnal ilmiah masyur Nature Jumat lalu, memicu perdebatan sengit. Beberapa memujinya sebagai pelopor, bukti kekuatan inovasi ilmiah dan potensi kemandirian. Yang lain mengecam tindakannya sebagai tindakan ceroboh, tidak bertanggung jawab, dan preseden berbahaya bagi orang lain yang mungkin tergoda untuk mengikuti jejaknya.
Halassy, yang sekarang telah bebas kanker selama empat tahun, tetap berpegang pada keputusannya. Dalam laporannya yang merinci pengobatannya, diterbitkan dalam jurnal Vaccine MDPI, dia berpendapat bahwa dia adalah "pasien berpengetahuan" yang dengan cermat mempertimbangkan risiko dan manfaatnya. "Saya berada dalam situasi "tidak ada ruginya mencoba," tulisnya, "dan kemungkinan berhasil jika melakukannya."
Kasusnya menimbulkan banyak pertanyaan etis yang bergema jauh melampaui komunitas ilmiah. Apakah pantas untuk melakukan eksperimen pada diri sendiri, bahkan dengan perawatan yang berpotensi menyelamatkan jiwa? Bisakah peneliti yang juga pasien membuat keputusan yang objektif tentang kesehatan mereka sendiri? Apakah keberhasilan Halassy membuka pintu bagi orang lain untuk mencoba terapi yang belum terbukti tanpa pengawasan yang memadai?
Implikasi etis dari eksperimen pada diri sendiri sangat kompleks dan luas. Di satu sisi, dapat dikatakan bahwa pengobatan diri sendiri dapat menjadi alat ampuh untuk kemajuan ilmiah. Kasus Werner Forssmann yang terkenal, yang mengkateterisasi jantungnya sendiri pada tahun 1929, adalah contoh klasik bagaimana eksperimen pada diri sendiri mengarah pada penemuan medis inovatif. Dalam kasus Halassy, pengobatan diri sendiri mungkin menghasilkan data berharga untuk kemanjuran dan keamanan viroterapi onkolitik, menciptakan terobosan dalam pengobatan kanker.
Dalam situasi nyaris putus asa melawan kanker, penelitian Halassy seperti menanam benih harapan. Dia menyuntikkan virus onkolitik tertentu, seperti prajurit kecil yang dirancang untuk mencari dan menghancurkan sel musuh, langsung ke tumornya. Dia melacak kemajuan virus dengan cermat, seperti tukang kebun yang memelihara bunga berharga. Hasilnya, yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah terkemuka Vaccine MDPI, menunjukkan tanda-tanda yang menjanjikan bahwa pendekatan baru ini dapat berkembang menjadi pilihan pengobatan yang layak untuk kanker tertentu, menawarkan suar harapan bagi banyak orang.
Namun, manfaat potensial dari eksperimen diri harus ditimbang terhadap risiko fatal. Individu bukan ahli medis terlatih sangat mungkin salah menafsirkan informasi, salah mendiagnosis diri sendiri, atau membuat keputusan yang justru berpotensi menimbulkan masalah serius. Mereka juga mungkin tidak memiliki pengetahuan medis memadai untuk mengevaluasi risiko dan manfaat pengobatan, terutama ketika menghadapi rasa takut dan keputusasaan akibat penyakit yang mengancam jiwa.
Kontroversi seputar Dr. Terawan, mantan Menteri Kesehatan Indonesia, menunjukkan dilema dalam mempromosikan metode pengobatan baru tanpa bukti ilmiah yang kuat. Terapi "Digital Substraction Angiography" (DSA) miliknya, yang diklaim dapat mengobati berbagai penyakit, masih menjadi perdebatan di kalangan profesional medis. Meskipun Dr. Terawan mengklaim terapi ini efektif, metode ini belum melalui uji klinis yang ketat dan belum diterbitkan dalam jurnal ilmiah yang direview oleh para ahli, memunculkan keraguan untuk kemanjuran dan keamanannya. Promotor riset Dr. Terawan di Unhas, Prof. Irawan Yusuf, merangkumnya dengan baik bahwa meskipun penelitian DSA telah memenuhi standar untuk S3, penerapan pada pasien memerlukan uji klinis.
Kasus Dr. Terawan mengingatkan kita tentang pentingnya proses ilmiah yang ketat, melibatkan pengujian dan penilaian independen, serta transparansi dalam mengembangkan dan menerapkan metode pengobatan baru, baik konvensional maupun tradisional.
Perdebatan kompleks ini juga bersinggungan dengan lanskap rumit pengobatan tradisional. Sistem seperti Pengobatan Tradisional Tiongkok (TCM) dan Ayurveda India telah dipraktikkan selama berabad-abad, dan meskipun mereka menawarkan sejarah yang kaya dan manfaat potensial, kurangnya validasi ilmiah yang ketat dan ketergantungan pada bukti anekdotal menimbulkan kekhawatiran. Penggunaan "jamu," pengobatan tradisional Indonesia yang seringkali didasarkan pada ramuan herbal, juga termasuk dalam kategori ini. Ambil contoh penggunaan seduhan teh sirih Cina, pengobatan tradisional dengan bukti ilmiah yang menunjukkan manfaat untuk menurunkan tekanan darah dan mengobati diabetes. Namun, tumbuhan ini mengandung banyak senyawa, beberapa di antaranya beracun.
Mencari pengobatan yang aman dan efektif memang seperti menapaki labirin kompleks, di mana setiap jalan menuntun ke hasil berbeda. Teknologi komputasi seperti docking molekuler dan Swiss ADMET berperan sebagai pemandu ahli, memberikan petunjuk yang tepat dan mengidentifikasi potensi jebakan. Metode-metode ilmiah ini dengan cermat menganalisis lanskap rumit senyawa obat, mengidentifikasi komponen yang bertanggung jawab untuk efek terapeutik sambil juga menyoroti potensi bahaya/keracunan. Ketepatan ini memungkinkan pendekatan lebih efisien dan terfokus untuk menemukan obat baru dan aman, baik yang terinspirasi oleh praktik tradisional atau terobosan ilmiah modern.