Gedung-gedung akademik yang dahulu sakral, yang dianggap sebagai benteng kokoh tempat bersemayamnya pengetahuan dan integritas, kini diselimuti oleh bayang-bayang ketidakjujuran akademik. Di Indonesia, krisis ini sudah mencapai tahap mengkhawatirkan, mengancam fondasi sistem pendidikan kita dan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga akademis. Tuduhan plagiarisme terhadap beberapa dosen Universitas Gajah Mada (UGM), ditambah dengan kontroversi terkini seputar gelar doktor Bahlil Lahadalia, membuka tabir sebuah tren mengerikan, krisis kejujuran akademik nasional yang menuntut perhatian mendesak.
Beberapa hal mengkhawatirkan mengemuka terkait kasus dugaan plagiarisme ini. Keputusan penerbit untuk menghancurkan cetakan buku, ditambah dengan ketiadaan tanggapan publik dari pihak yang diduga melakukan tindakan plagiat, menyoroti perbedaan signifikan antara tindakan pihak eksternal dan kesimpulan yang tampak dari tim investigasi UGM. Minimnya informasi detail mengenai investigasi universitas—termasuk metodologi, bukti yang dipertimbangkan, dan alasan di balik temuan mereka—membatasi kemampuan untuk menilai situasi secara menyeluruh. Transparansi yang lebih besar terkait proses investigasi sangat penting untuk memastikan kepercayaan publik terhadap integritas temuan universitas dan penyelesaian kasus ini.
Kasus Bahlil Lahadalia menambah dimensi yang mengkhawatirkan pada krisis ini. Meskipun Universitas Indonesia (UI) bersikukuh bahwa Bahlil secara teknis memenuhi persyaratan administratif, kecepatan dia meraih gelar doktor, ditambah tuduhan penggunaan jurnal "predator", menimbulkan pertanyaan serius tentang pengaruh koneksi politik pada proses akademik. Terlebih lagi, terbongkarnya penggunaan Jatam, jaringan advokasi pertambangan, sebagai informan dalam disertasi Bahlil tanpa persetujuan mereka, semakin meruntuhkan kredibilitas penelitiannya dan berpotensi mencoreng seluruh proses doktoralnya.
Kasus-kasus ini mengungkap masalah yang sudah berakar yaitu kurangnya akuntabilitas dan budaya "jalan pintas" akademis, didorong oleh keinginan untuk meraih kesuksesan cepat meskipun dengan mengorbankan prinsip etika. Krisis ini melampaui tembok kampus, mengikis kepercayaan publik bukan hanya terhadap penelitian dan pendidikan, tetapi juga terhadap seluruh sistem pengetahuan kita. Seperti yang dikatakan Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, "Jika universitas mengobral gelar secara sembarangan, itu akan sangat berbahaya, terutama bagi kepercayaan publik terhadap integritas. Ini juga berdampak negatif pada reputasi universitas di mata internasional."
Tak heran, skeptisisme publik pun semakin memuncah. Insiden-insiden ini telah memicu kemarahan dan ejekan yang meluas, mencerminkan kesadaran yang semakin besar tentang krisis ini dan hilangnya kepercayaan terhadap lembaga akademis kita. "UI harus menjaga reputasinya dengan memperlakukan Bahlil seperti mahasiswa lainnya, atau jika mereka tetap melanjutkan, reputasi UI akan rusak. Bagaimana perasaan para doktor yang telah bekerja keras selama bertahun-tahun di UI jika institusi mereka menjadi seperti ini?" tulis Yanuar Nugroho, Deputi II Staf Kepresidenan. Insiden plagiarisme di UGM, seperti yang disoroti oleh pengamat politik Rocky Gerung, bahkan lebih mengkhawatirkan karena melibatkan akademisi, para pemikir dalam sistem universitas. Bagaimana publik dapat percaya pada akademisi jika mereka sendiri terlibat dalam pelanggaran etika yang mencoreng integritas dunia akademis?
Lonjakan kasus "joki" di Indonesia tugas, skripsi, tesis, disertasi bahkan artikel ilmiah turut menodai integritas akademik nasional. Survei Populix (Juli 2024) mencatat 19% responden pernah menggunakan joki skripsi/tugas, sementara peningkatan dramatis publikasi peneliti Indonesia di jurnal Scopus, yang melonjak 913% dari 2012 hingga 2020, mengindikasikan kemungkinan besar keterlibatan joki. Sentimen ini bukan tak berdasar. Liputan investigasi Kompas (2023) melaporkan bahwa lebih dari 64% usulan guru besar ditolak karena karena jurnal berkualitas rendah, tidak relevan, dan terindikasi pelanggaran etika akademik. Tren ini, diiringi penyebaran kasus serupa di media dan kurangnya tindakan tegas dari universitas dan pemerintah, menunjukkan krisis sistemik yang mengancam kredibilitas akademisi Indonesia. Praktik joki sama seperti penyakit kanker yang perlahan menggerogoti sel-sel nilai etika dan kredibilitas pendidikan di Indonesia.
Realitas yang mengkhawatirkan, seperti yang diamati Wicaksana, adalah bahwa "maraknya pemberian gelar doktor dan profesor kehormatan kepada politisi, pengusaha, dan selebriti terasa transaksional, yang merusak peran universitas sebagai benteng kebenaran dan integritas."Kasus Universitas Lambung Mangkurat menjadi contoh nyata dari krisis ini, menyoroti penggunaan jurnal palsu, data palsu, dan praktik pelanggaran etika lainnya yang meluas. Fenomena "puncak gunung es" ini mengungkap kurangnya integritas akademis dalam dunia akademis Indonesia, sebuah kondisi yang menuntut solusi komprehensif untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegakkan martabat pengetahuan.
Prof. Chusnul Mari’yah, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menggemakan sentimen yang sama. Dia menegaskan bahwa kasus Bahlil bukanlah insiden pertama, tetapi gejala dari masalah yang lebih luas dan mendalam yang melanda bahkan universitas elit di Indonesia. Chusnul menekankan hak setiap orang untuk mengejar gelar doktor, tetapi menyoroti tren yang mengkhawatirkan di Indonesia: keinginan tokoh publik untuk mendapatkan gelar bergengsi tanpa melalui proses akademis yang ketat. Mentalitas "jalan pintas" ini, menurutnya, merusak integritas sistem pendidikan dan berkontribusi pada krisis saat ini.
Meskipun mengakui bahwa Bahlil secara teknis memenuhi persyaratan administratif yang baru-baru ini diuraikan oleh UI, Chusnul mengajukan pertanyaan yang menggelitik: Bagaimana seorang menteri, yang dibebani oleh tanggung jawabnya, dapat secara bersamaan menulis proposal penelitian, menerbitkan artikel di jurnal internasional, dan menyelesaikan ratusan halaman tesis dalam 1,8 tahun? Satu-satunya jawaban yang masuk akal, menurutnya, adalah bahwa ada tim yang memfasilitasi proses tersebut, yang menimbulkan kekhawatiran serius tentang keaslian dan keabsahan gelar Bahlil. Kasus Jatam baru-baru ini menunjukkan bahwa seluruh proses seputar gelar doktor Bahlil diselimuti keraguan.
Memulihkan integritas dunia akademis Indonesia membutuhkan upaya komprehensif. Dialog nasional tentang integritas akademis, yang melibatkan universitas, pemerintah, dan publik, harus menjadi prioritas. Kebijakan "nol toleransi" untuk plagiarisme dan pelanggaran etika akademis harus ditegakkan dengan konsekuensi yang tegas. Pedoman yang jelas dan transparan untuk pemberian gelar doktor harus memprioritaskan kontribusi substansial terhadap pengetahuan atau masyarakat.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas sangat penting: universitas harus terbuka tentang proses mereka, menentukan kebijakan pelanggaran etika dengan jelas, dan membangun mekanisme pelaporan yang kuat. Etika penelitian harus diintegrasikan ke dalam semua tingkat pendidikan, menekankan kejujuran akademis, sitasi yang tepat, dan penggunaan hak kekayaan intelektual secara etis. Langkah penting lainnya ialah menciptakan budaya di mana mahasiswa dan dosen merasa berdaya untuk bersuara menentang ketidakjujuran tanpa takut dihukum.