Mohon tunggu...
Walter Balansa
Walter Balansa Mohon Tunggu... Dosen - I''m a dedicated life observer and learner

I'm marine natural product chemist by training but love English and writing. As a lecturer I teach several subjects related to chemistry and natural product in addition to teaching scientific writing and English including IELTS.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Politik Sowan: Tradisi Bukan Meritokrasi Jalan Menuju Kepemimpinan?

7 November 2024   09:34 Diperbarui: 7 November 2024   09:34 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Dalam sebuah demokrasi, siapa sebenarnya yang memegang kendali kekuasaan: rakyat, atau mereka yang pernah berkuasa? Di Indonesia, sebuah tarian politik eksotik sedang berlangsung saat ini ketika calon-calon pemimpin daerah---seperti Ridwan Kamil, kandidat gubernur Jakarta---melakukan sowan, kunjungan penuh hormat, kepada ikon politik seperti mantan Presiden Joko Widodo. Isyarat penghormatan ini mungkin mencerminkan rasa hormat, namun juga menimbulkan pertanyaan lebih dalam. Apakah dukungan ini mencerminkan suara rakyat, atau hanya menjadi jalan pintas menuju kekuasaan?

Indonesia memiliki budaya sowan yang berakar, melambangkan rasa hormat dan kesetiaan, terutama kepada sosok yang dipandang terhormat. Dalam konteks politik, sowan telah berkembang menjadi strategi, di mana kunjungan kepada pemimpin berpengaruh memberi legitimasi pada kandidat dan mengisyaratkan keselarasan nilai. Dukungan dari sosok yang dihormati bisa menjadi jembatan strategis menuju kredibilitas, menarik pemilih yang mungkin merasa ragu terhadap kandidat baru.

Lihat saja perjalanan Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang mendapatkan kepercayaan dan kredibilitas berkat hubungannya dengan Jokowi selama masa jabatannya sebagai gubernur Jakarta. Begitu pula Ridwan Kamil, mantan gubernur Jawa Barat, yang memperoleh pengakuan melalui dukungan Jokowi, yang menempatkannya sebagai figur pembangunan perkotaan progresif. Dukungan seperti ini dapat menanamkan kepercayaan, terutama di kalangan pemilih yang lebih memilih kesinambungan daripada perubahan.

Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari tokoh terkenal memengaruhi persepsi pemilih. Studi tahun 2017 oleh Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) di Indonesia menemukan bahwa 62% responden lebih mempercayai kandidat yang didukung oleh pemimpin yang dihormati. Di negara-negara di mana aliansi politik dan hubungan sosial sangat dihargai, dukungan semacam ini sangat berarti. Namun, meski budaya dukungan ini berpengaruh, hal itu berisiko mengalihkan fokus dari kualifikasi dan kebijakan kandidat.

Fenomena sowan ini bahkan tampak dalam berbagai iklan kampanye, di mana para kandidat sering menampilkan tokoh-tokoh besar di latar belakang mereka. Dengan cara ini, seolah-olah para kandidat berkata, 'Saya mendapat restu mereka, maka Anda juga bisa mempercayai saya.' Alih-alih menampilkan gagasan atau kebijakan, iklan ini menggantungkan kredibilitas kandidat pada bayang-bayang tokoh besar. Ini mungkin berhasil menarik perhatian, tetapi apakah ini cara yang tepat untuk membangun kepercayaan pemilih dalam sebuah demokrasi yang sehat?"

Kritik Terhadap Pendekatan Ini

Budaya dukungan politik, meski berpengaruh, dapat membayangi nilai-nilai demokrasi seperti akuntabilitas dan meritokrasi. Ketika dukungan tokoh berpengaruh menjadi syarat utama kepemimpinan, loyalitas kepada tokoh kuat dapat mendahului kualifikasi kandidat. Ketergantungan ini mungkin mengalihkan fokus kandidat dari isu-isu publik yang mendesak ke arah membangun aliansi. Penelitian dari National Democratic Institute (NDI) menunjukkan bahwa 40% pemilih Indonesia percaya bahwa dukungan politik bisa mengalihkan perhatian kandidat dari masalah lokal yang mendesak.

Sowan juga bisa menjadi pedang bermata dua dalam politik Indonesia, seperti yang terlihat dalam beberapa kasus menonjol. Upaya sowan Anas Urbaningrum untuk membangun koneksi justru memperburuk reputasinya. Kunjungan Ahok ke ulama Islam selama kasus penistaan agamanya dianggap tidak tulus, gagal memenangkan dukungan dari segmen masyarakat tertentu dan mempengaruhi pemilihannya kembali. Sowan yang ekstensif oleh Sandiaga Uno ke tokoh-tokoh daerah selama pemilu 2019 juga dikritik dan tidak berhasil menarik cukup banyak pemilih. Sowan pada berbagai peristiwa ini dan kemungkinan besar yang ditempuh oleh Ridwan Kamil saat ini kemungkinan berpotensi menjadi bumerang, mengurangi integritas, kemandirian, atau ketulusan seorang kandidat di mata publik.

Secara global, fenomena ini sejalan dengan "politik selebriti," di mana dukungan politik membayangi kampanye yang berbasis kebijakan. Di Filipina, misalnya, ketergantungan pada dukungan dari dinasti politik dan selebriti sering kali mempromosikan kandidat berdasarkan popularitas daripada kompetensi. Fenomena ini juga semakin marak di Indonesia, dengan banyaknya artis yang maju sebagai calon pemimpin, memperlihatkan tren politik yang lebih mengutamakan popularitas daripada kapasitas. Di Indonesia, budaya sowan, ketika berlebihan, berisiko mengaburkan kualitas esensial seperti transparansi dan dedikasi kepada masyarakat.

Penggunaan Efektif dari Taktik Dukungan

Terkait hal ini, dukungan yang bijaksana tidak harus mengurangi nilai-nilai demokrasi. Ketika dukungan benar-benar menonjolkan pencapaian kandidat, itu melengkapi kualifikasi mereka, bukan menutupinya. Contohnya, Risma Triharini, mantan wali kota Surabaya, yang mendapatkan dukungan politik berkat rekam jejak revitalisasi Surabaya yang kuat, menunjukkan kepemimpinan berdasarkan hasil kerja nyata, bukan sekadar dukungan. Begitu pula dengan Airin Rachmi Diany, calon gubernur Banten dari Partai Golkar, yang dikenal karena keberhasilannya dalam membangun Tangerang Selatan selama dua periode masa jabatannya sebagai wali kota. Dukungan untuk Airin tidak hanya didasarkan pada hubungan politik, tetapi juga pada pencapaiannya yang nyata dalam memajukan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat, memberikan contoh bagaimana dukungan politik bisa memperkuat kualifikasi kandidat tanpa menutup prestasi mereka.

Dukungan juga bisa mempromosikan persatuan di antara komunitas yang beragam. Di wilayah multi-etnis Indonesia, dukungan dari tokoh yang dihormati dapat membantu kandidat dari latar belakang minoritas untuk menembus batasan sosial, menampilkan mereka sebagai pemimpin yang melampaui politik identitas. Ketika dukungan selaras dengan nilai-nilai kandidat, hal ini dapat meningkatkan inklusivitas, memungkinkan pemilih menilai kandidat di luar perpecahan sosial.

Apa yang Harus Dilakukan

Untuk mendorong budaya dukungan politik yang lebih demokratis, Indonesia dapat mendorong pemilih untuk fokus pada substansi kebijakan dan kompetensi kandidat. Forum publik, balai warga, dan debat terbuka secara rutin dapat memberikan kandidat platform untuk mempresentasikan ide-ide kebijakan mereka secara langsung. Media sosial juga dapat berperan, menyediakan data yang terverifikasi tentang kandidat, termasuk posisi kebijakan, pencapaian, dan pengalaman kerja sebelumnya. Organisasi masyarakat sipil, seperti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dapat mendukung literasi politik, membantu pemilih memahami arti penting dari platform kandidat dibandingkan sekadar dukungan politik.

Transparansi dalam proses dukungan akan membantu membuka dinamika di balik dukungan politik. Misalnya, mewajibkan kandidat untuk mengungkapkan secara terbuka sifat dari dukungan mereka, termasuk komitmen yang melekat, akan memungkinkan pemilih memahami konteks secara keseluruhan. Keterbukaan ini memberdayakan masyarakat untuk membedakan dukungan yang didasarkan pada nilai bersama dari yang berakar pada kepentingan politik.

Media juga dapat memperluas fokusnya untuk mengamati kinerja kandidat di luar acara dukungan, menyelidiki kontribusi dan menilai kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan lokal. Liputan semacam ini memberikan narasi alternatif, menawarkan pemilih pandangan yang lebih jelas tentang siapa yang benar-benar memiliki keterampilan untuk memimpin.

Indonesia berada di persimpangan jalan di mana tradisi sowan dan dukungan politik dapat mendukung atau menghambat demokrasi. Dengan mendorong transparansi dan kampanye berbasis meritokrasi, dukungan politik dapat menjadi sumber panduan, bukan dominasi. Jika pemilih memprioritaskan substansi daripada popularitas, dan kandidat berkomitmen pada transparansi, Indonesia dapat menyeimbangkan tradisi dan kemajuan, memastikan bahwa kekuasaan diberikan kepada mereka yang meraihnya melalui tindakan, bukan afiliasi. Demokrasi akan berkembang ketika kekuasaan tidak berputar dalam lingkaran eksklusif, tetapi diberikan oleh rakyat kepada mereka yang benar-benar berniat melayani. Dengan jalan seperti ini, masa depan demokrasi Indonesia dapat menghormati tradisi sambil menjunjung tinggi nilai meritokrasi dan akuntabilitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun