Pada usia 28 tahun, saya tiba di Okinawa, Jepang, dengan hati yang membara dan pikiran penuh harapan. Seperti kapal yang berlayar di tengah lautan luas, saya meninggalkan rumah dan istri saya, yang sedang hamil delapan bulan, menunggu kelahiran putri kami. Di sanalah, saya berangkat mengejar mimpi besar—menorehkan jejak di dunia ilmu pengetahuan. Tugas saya jelas: menemukan senyawa antikanker dari spons laut Indonesia, sebuah proyek yang terasa menjanjikan seperti cahaya terang di ujung lorong gelap. Laboratorium sudah siap, tekad saya bulat, dan kemungkinan seolah tak terbatas seperti samudra yang mengelilingi Okinawa.
Saya bekerja di bawah bimbingan seorang profesor Jepang yang sangat dihormati dan disegani. Kecerdasan dan reputasinya di bidang ini ibarat bintang kejora menjelang senja atau pagi, tetapi ekspektasinya tinggi bagai gunung yang sulit didaki. Dia jarang berbicara, dan keheningannya sering menusuk lebih tajam daripada kritik yang diucapkan. Saya mengaguminya, tetapi diamnya seperti kelebat bayangan menakutkan. Saya tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi saya tidak pernah menyangka betapa panjangnya jalan ini, atau berapa banyak hal yang akan saya pelajari—bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang kesabaran, kehidupan, dan ketidakpastian waktu yang tidak pernah bisa diprediksi.
Dalam beberapa bulan pertama, hasil penelitian datang lebih cepat daripada yang saya bayangkan. Saya menemukan tidak hanya satu, tetapi empat senyawa baru dari dua spesies spons laut Indonesia. Senyawa-senyawa ini menunjukkan potensi besar sebagai antikanker, dan atmosfer di laboratorium seperti diisi dengan listrik kegembiraan. Saya dan pembimbing saya bekerja sangat erat, dan saya merasa seperti kami berada di ambang penemuan besar—seperti pelari yang hanya beberapa meter dari garis akhir.
Namun, saat momentum mulai terbentuk, pembimbing saya pergi ke Amerika Serikat untuk menjalani kunjungan penelitian selama setahun. Seperti kapal yang kehilangan nakhoda di tengah badai, saya harus berlayar sendiri di lautan penelitian. Beban pekerjaan terasa semakin berat, tetapi semangat saya tidak padam. Saya bertekad untuk terus berlayar, berharap menemukan lebih banyak senyawa baru yang bisa membawa kami menuju kesuksesan.
Dalam bulan-bulan berikutnya, saya menemukan lima senyawa baru lagi dari spons laut berbeda jenis. Setiap temuan adalah seperti menemukan permata di dasar lautan. Saya mendokumentasikan semua hasil penelitian dengan sangat hati-hati dan mengirimkan sampel-sampel ke pembimbing saya di AS untuk diuji sebagai antikanker dan dianalisis secara kimia. Ketika hasilnya kembali, mereka mengonfirmasi apa yang saya harapkan—senyawa-senyawa baru tersebut memang aktif dan signifikan. Rasanya seperti mendapatkan pelangi setelah hujan badai; saya sangat bersemangat, yakin bahwa penemuan ini akan segera dipublikasikan.
Namun, kegembiraan saya segera pudar ketika pembimbing saya menolak manuskrip pertama yang saya kirimkan. "Belum siap," katanya dengan tenang, seperti menumpahkan air dingin di atas api harapan saya. Saya pikir itu hanya hambatan sementara, sesuatu yang bisa diselesaikan dengan sedikit revisi.
Tetapi penolakan itu berulang—lagi dan lagi, selama lima tahun berikutnya. Setiap kali saya menyusun ulang manuskrip, saya dihadapkan dengan respons yang sama: penolakan, tanpa alasan yang jelas. Rasanya seperti berlari di tempat, tanpa pernah mencapai garis akhir. Saya mulai meragukan diri sendiri. Apakah pekerjaan saya tidak cukup baik? Apakah ada sesuatu yang saya lewatkan? Atau mungkin, perfeksionisme pembimbing saya yang tak kunjung puas, yang membuatnya enggan meloloskan pekerjaan ini?
Seiring waktu, saya mulai menerima kenyataan bahwa mungkin inilah takdir saya. Beberapa penemuan, tampaknya, mungkin tidak pernah melihat cahaya hari, tidak peduli seberapa pentingnya mereka. Harapan saya mulai meredup, seperti lilin yang hampir padam.
Ketika menengok kembali ke belakang, saya sering bertanya-tanya dalam hati tentang motivasi sesungguhnya dari pembimbing saya. Apakah dia sedang melindungi saya dari kritik keras dunia akademik? Ataukah dia seorang perfeksionis yang tidak bisa melepaskan pekerjaan sebelum benar-benar sempurna? Atau ini sesuatu yang lebih rumit—sebuah hubungan mentor-mahasiswa yang diwarnai oleh keheningan yang lebih banyak berbicara daripada kata-kata?
Ada saat-saat ketika saya merasakan bahwa pembimbing saya menghargai hasil pekerjaan kami, namun momen-momen itu hanya sekejap, seperti kilatan petir yang menghilang di balik awan. Di Jepang, konsep magang dan penguasaan keterampilan memiliki akar yang dalam—mungkin saya terlalu terburu-buru untuk memahami bahwa dia sedang membentuk saya, bukan hanya pekerjaan saya. Namun, frustrasi yang saya rasakan saat itu nyata, dan meninggalkan bayangan panjang di hati saya.
Sementara penelitian saya terhenti di Okinawa, putri saya terus tumbuh seperti pohon yang tinggi menjulang. Dari TK hingga perguruan tinggi, setiap tahun berlalu, seolah-olah penemuan-penemuan saya terkubur, tidak diakui, dan terlupakan. Pertumbuhan putri saya menjadi penanda waktu yang tidak bisa saya kendalikan—waktu terus berlalu, membawa harapan saya bersamanya.