Kecintaanku terhadap karya cipta Atonimnasi serta kerjasama dengan Femnasi menghasilkan buah cinta yang dapat dirasakan oleh mereka yang membelaiku.Â
Perpaduan corak warna Mutis diimpit celah karang yang terjal. Celah-celah gunung yang di daki untuk mencari pewarna alami dari dedaunan dan pohon-pohon besar.Â
Keringat yang meleleh membasahi sekujur tubuh Atonimnasi tak menyurutkan niatnya untuk melengkapi warna guna membuat tenun ikat khas daerah.Â
Tiada hari yang terlewatkan tanpa mencari bahan pewarna sedangkan Femnasi disibukkan mengolah pewarna dan mencelupkan benang sesuai dengan warna yang diinginkan.Â
Pekerjaan memintal benang, mengurai benang dan menjadikannya satu kepaduan warna bukanlah pekerjaan yang mudah. Membutuhkan ketekunan dan kejelian dalam merangkainya.Â
Kecintaan Femnasi ibarat cinta yang tulus seorang ibu kepada anak kandungnya, memberikan yang terbaik walau lupa makan yang penting anak bisa makan dan bangga memiliki ibu yang memperhatikan kebutuhannya.
Buna adalah sapaanku, setiap kali pendatang selalu menanyakan akan kelebihanku. Yah, banyak yang merindukanku, dan rindu membelaiku bahkan tak sengan-sengan untuk merangkulku sekuat tenaga seolah-olah melepas rindu yang dalam.Â
Femnasi tak bisa berbuat banyak, mau ditahan sampai harga cocok kebutuhan dapur berteriak, mau menahan takut tak bisa bekerja sebagaimana biasa maklumlah hanya bisa mengharapkan hal kecil untuk dapur mengebul.Â
Himpitan ekonomi lemah yang menyebabkanku tak berdaya, tak mampu bersaing secara nasional maupun internasional karena dayaku ibarat lampu 5 watt.Â
Jelas-jelas tak mampu bersaing dengan lampu 45 watt, bukan dari segi terangnya tapi dari segi kemampuan untuk menunjukkan diri ke dunia luar terhalang oleh himpitan ekonomi rendah.
Bayangkan, hanya membuat warnaku supaya jangan cepat pudar itu membutuhkan berhari-hari mulai dari perpaduan jenis rempah, kayu-kayuan dan dedaunan.Â