Mohon tunggu...
waliadi
waliadi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca artikel yang bermanfaat

Setiap Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya, Kekerasan, dan Premanisme

6 Oktober 2010   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

" Sangat mencemaskan........" Demikian press release yang di keluarkan oleh Maarif Institute dalam acara diskusi dengan berbagai kalangan dalam menyikapi meningkatnya aksi kekerasan di masyarakat baik yang bersifat agama, suku dan premanisme

Pembicara dalam diskusi tersebut antara lain; Rudi Sukandar, Ph.D, pakar komonikasi konflik di Maarif Institute, Kombes Pol Boy Rafli Amar, kadiv Humas Polda Metro Jaya, dan Parni Hadi, Direktur Radio Republik Indonesia

Menurut Rudi Sukandar dan Boy Rafli Amar budaya kekerasan di Indonesia sudah ada sejak dulu ini tercermin dari simbul-simbul budaya di Indonesia seperti adanya senjata tajam (kujang, badik, celurit, golok dan lainnya) yang menandakan adanya budaya tersebut, lebih lanjut di tambahkan oleh Kombes Polisi yang pernah bertugas di daerah konflik seperti ambon, kamboja dan vietnam tersebut bahwa budaya kekerasan dapat terlihat dari perjuangan bangsa indonesia untuk merdeka melalui pertempuran dan darah dalam melawan penjajah. Budaya inilah menurut ke 2 pembicara tersebut yang meyebabkan masyarakat Indonesia lebih suka menyelesaikan sengketa dan permasalahan dengan cara-cara heroik.

Pasca reformasi yang mengemban demokrasi, keadilan, transparansi dan kebebasan, budaya ini seolah mendapat dukungan dari masyarakat, dimana penyelesaian konflik lebih banyak di selesaikan dengan kekerasan baik yang bermula dari induvidu yang akhirnya konflik antar kelompok. Menurut Parni Hadi selaku wartawan senior yang pernah bekerja di media Republika dan kantor berita Antara, media sangat berperan penting dalam hal ini, menurutnya media dapat menjadi propokator atau media dapat menjadi juru damai yang efektif di saat konflik di masyarakat terjadi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai wartawan di tuntut untuk menyampaikan fakta di lapangan dengan cepat dan benar, dengan tuntutan media yang ingin menyampaikan maka fakta yang terjadi di lapangan bagai “pisau bermata dua” belom lagi adanya beberapa komentar dari para pakar yang terkadang meningkatkan kekerasan di masyarakat. Pria yang pernah ikut mendirikan lembaga dompet dhuafa tersebut menmbahkan, sebaiknya wartawan dan media menyampaikan fakta di lapangan secara bijak dan cendikia tidak menyampaikan fakta secara “telanjang” hal ini sebenarnya sudah ada dalam regulasi pemerintah dalam UU 14/2008 tentang keterbukaan informasi public.

Dari ketiga pembicara tersebut sepakat bahwa perlunya membuat sistem peringatan dini dengan melakukan pemetaan sosial di masyarakat dalam mendeteksi kekerasan serta beberapa upaya prepentif lainnya agar budaya kekerasan yang sudah ada di masyarakat Indonesia dapat di redam dan di arahkan dalam hal-hal yang positif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun