Ketika sepakbola negeri ini tak kunjung menunjukkan geliat untuk bisa bersaing sedikitnya di level Asia Tenggara meski telah menghadirkan berbagai pelatih berpengalaman dan berprestasi, selalu timbul pertanyaan apakah sesulit itu menemukan talenta-talenta muda dan bibit-bibit hebat untuk bisa menghadirkan sepakbola indah dan berprestasi di negeri yang berpenduduk 270juta ini. Tentu pertanyaan itu sekadar mengingatkan apakah memang tidak ada minimal 25 sampai 30 pemain yang bisa bermain dengan kemampuan dan teknik terbaik untuk bisa berlaga di kancah internasional, setidaknya level ASEAN.
Sebagai penikmat bola sudah barang tentu kita senantiasa diliputi kekecewaan ketika Timnas Sepakbola negeri ini selalu dihajar tim lawan dengan mudahnya, bahkan seringkali penjaga gawang memungut lebih dari dua gol kebobolan tanpa balasan. Semakin suram ketika permainan tidak lagi menunjukkan permainan yang menjunjung  fair play dan profesionalitas tetapi seperti biasa diguyonkan kawan-kawan, seperti gaya permainanan level tarkam (turnamen kampung).
Kesalahan mungkin tidak selalu dari dalam diri pemain karena bisa saja ada faktor lain yang memengaruhi permainan. Namun bagaimanapun ketika pertandingan sedang berlangsung maka mata penonton akan mengarah pada setiap sosok pemain dan strategi atau taktikal pelatih, termasuk ketika menentukan pergantian pemain. Sudah menjadi lumrah ketika penonton mengungkapkan protes dan kekecewaannya ketika ada pemain yang kurang bermain bagus atau pelatih mengganti pemain yang bukan seharusnya diganti atau menggantikan.Â
Seluruh warga negara yang mencintai sepakbola negeri ini selalu menaruh harapan besar pada kebangkitan dan kemajuan sepakbola tanah air. Tetapi sampai kapan warga negara tercinta ini harus menunggu itu. Tatkala kepengurusan organisasi sepakbola sudah berganti, pelatih berganti, bahkan sudah menjalani beberapa pertandingan uji coba, ternyata hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Kehadiran pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong, yang berasal dari Asia dan punya pengalaman hebat bersama Timnas Korea Selatan dan pernah mengukir keberhasilan mengalahkan Jerman dengan postur dan kondisi fisik pemain Korsel yang tentu tidak jauh beda dengan timnas kita, tetapi kenapa masih gagal. Muncul asumsi apakah memang semestinya kita bermain sepakbola plastik untuk bisa menang, karena permainan dengan sepakbola kulit kurang cocok untuk masyarakat kita.
Permainan sepakbola selalu mengandalkan kehebatan individu yang didukung dengan kepiawaian yang terorganisir dalam kerjasama tim. Aliran bola antarpemain selalu menjadi kunci dalam permainan, kemampuan menggiring bola dengan sedikitnya bisa melewati dua hingga empat pemain, kemampuan menguasai bola dan  memberi umpan yang akurat untuk diselesaikan dengan apik oleh pemain yang ditetapkan menjadi target penyelesai akhir untuk menghasilkan gol, itulah yang selalu dirindukan dalam sepakbola kita, apakah itu memang sulit.Â
Jika sulit, mungkin ada yang keliru dari cara mencintai sepakbola di negeri ini, atau karena sejak dini banyak yang bermain bola dengan bola plastik sehingga memang menjadi sandungan ketika bermain dengan bola kulit. Mungkin perlu dipertimbangkan kompetisi dengan bola plastik, mungkin beda hasilnya. Entahlah! Cuma sekadar celotehan tanpa makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H