Penulis: Walentina Waluyanti
Candaan tentang holocaust berujung pemecatan. Itulah yang terjadi pada direktur upacara pembukaan Olimpiade Tokyo 2020, Kentaro Kobayashi. Ia dipecat, karena membuat candaan tentang holocaust dalam acara komedi tahun 1998.
Meskipun gurauan itu terjadi di masa lampau, tapi menertawakan korban genosida adalah candaan yang tak pantas. Gurauan ini dikecam oleh organisasi berbasis HAM di Los Angeles, Simon Wiesenthal Center.
Berkaitan dengan holocaust, Olimpiade pada masa Hitler sebetulnya pernah menunjukkan tanda-tanda janggal, yang di kemudian hari dipahami sebagai pertanda awal akan terjadinya genosida.
Dan memang, hanya 4 tahun setelah Olimpiade Berlin, terjadi genosida terhadap orang Yahudi. Keanehan penyelenggaraan Olimpiade itu sudah terlihat dengan pengucilan dan diskriminasi terhadap atlet Yahudi, terjadi pada Olimpiade Berlin 1936.
Olimpiade Berlin dan Penolakan Hitler pada Atlet Yahudi
Dunia belum menyadari bahwa Hitler diam-diam sedang merencanakan pemusnahan massal (holocaust), saat Olimpiade ke-11 di Berlin diselenggarakan 1-16 Agustus 1936.
Olimpiade Berlin 1936 sangat kental dengan aroma politik. Baru 3 tahun berkuasa, Hitler sudah mengeluarkan larangan. Atlet Yahudi dan atlet kulit hitam dilarang ikut Olimpiade.
Sejak awal, cara rezim Nazi menyelenggarakan Olimpiade sudah kontroversial. Ini memancing perdebatan. Haruskah Olimpiade di Berlin tahun 1936 itu diteruskan atau dibatalkan?
Hitler belum menjadi penguasa Jerman, ketika dikeluarkan keputusan bahwa Berlin akan menjadi tuan rumah Olimpiade. Keputusan dikeluarkan tahun 1931, Berlin menjadi tuan rumah tahun 1936. Tak disangka, Hitler menjadi penguasa tertinggi di Jerman, ketika Olimpiade akhirnya terlaksana di Berlin tahun 1936.
Larangan Hitler yang menolak atlet Yahudi dan kulit hitam, menimbulkan ancaman boikot dari negara-negara lain. Ancaman itu muncul dari negara-negara misalnya Inggris, Perancis, Swedia, Cekoslowakia, Belanda, Amerika Serikat.
Ancaman boikot itu memaksa Hitler untuk sedikit melunak. Dengan ogah-ogahan, Jerman akhirnya mengikutsertakan seorang atletnya yang setengah Yahudi. Kepada IOC, Hitler juga berjanji tidak berpidato selama Olimpiade.
Untuk menurunkan tensi negara-negara lain, Hitler memerintahkan menurunkan semua slogan-slogan anti Semit yang dipajang di jalan-jalan. Tentu saja ini untuk sementara saja. Â Selama Olimpiade, tak ada poster-poster bertuliskan "Orang Yahudi tak diinginkan di sini".
Hitler memang mesti memperhitungkan ancaman boikot. Ia khawatir ancaman itu bisa memengaruhi IOC untuk memindahkan lokasi Olimpiade. Padahal Hitler membutuhkan Olimpiade Berlin ini sebagai ajang propaganda politiknya.
Bagi Hitler sendiri, negara dapat berkumpul dengan damai di Olimpiade sebagai ajang festival olahraga, jelas bukanlah tujuan politiknya. Sebaliknya, politik Hitler justru menekankan agar negara-negara itu dapat terus berkonflik satu sama lain.
Terus memelihara konflik, ini sejalan dengan ideologi fasisme yang dianut Jerman kala itu. Fasisme memandang kekerasan politik dan perang adalah sarana untuk mencapai pembaharuan nasional.
Olimpiade Jadi Ajang Propaganda Politik Rasisme
Hitler benar-benar memanfaatkan Olimpiade sebagai "festival propaganda" politiknya. Di mana-mana, di stadion, di sepanjang jalan, terpajang lambang-lambang swastika berukuran raksasa.
Jerman berusaha mencitrakan sebagai negara yang toleran dan damai. Demi citra ini, selama Olimpiade, Jerman berusaha menutupi kekerasan dan rasisme yang menjadi kebijakan politik rezim Nazi. Rakyat diperintahkan bersikap ramah terhadap turis. Peraturan rezim yang biasanya streng, sedikit dilonggarkan untuk menarik simpati turis yang datang.
Tapi satu hal yang harus diperhatikan, propaganda Hitler bahwa ras Arya adalah ras paling unggul, harus dikedepankan.
Atlet-atlet yang dipilih untuk mewakili Jerman benar-benar harus merepresentasikan ras Arya. Hitler mempropagandakan ras Arya sebagai ubermensch, ras terunggul di antara manusia lainnya. Dan bagi rezim Nazi, bangsa Jerman digolongkan sebagai ras Arya paling murni. Cirinya antara lain berambut pirang, berkulit putih, bermata biru.
Ketika Olimpiade di Berlin ini berlangsung, dunia belum menyadari bahwa Hitler diam-diam sedang merencanakan pemusnahan massal (holocaust). Pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dianggap ras non-Arya, terjadi kurang dari 5 tahun setelah Olimpiade.
Sebagai catatan, 3 tahun setelah Olimpiade, Hitler menginvasi Polandia (1939). Dan di Polandia inilah pada tahun 1940 dimulai pembunuhan massal (holocaust).
Di Polandia ketika itu yang dibunuh bukan orang Yahudi saja. Tetapi juga puluhan ribu orang Polandia, karena mereka ini bukan tergolong ras Arya. Holocaust ini kemudian berlanjut di Jerman dan sejumlah negara lain di Eropa, hingga berakhirnya Perang Dunia II (1945). Sekitar 6 juta orang Yahudi tewas, tetapi korban genosida Hitler bukan orang Yahudi saja.
Selanjutnya, sejarah mencatat korban holocaust Nazi juga termasuk kelompok seperti penyandang cacat, homoseksual, komunis, orang-orang yang tak tergolong ras Arya seperti orang Slavia, orang Rusia, orang Gypsi, juga para penentang politik Hitler. Â
Menurut politik rasisme Hitler, orang non-Arya harus dimusnahkan karena dikhawatirkan bisa "mengotori" kemurnian darah ras-Arya (melalui perkawinan campuran).
Kembali ke suasana Berlin 1936, ini adalah Olimpiade pertama yang disiarkan oleh televisi. Di televisi diperlihatkan betapa megahnya stadion di Berlin yang berkapasitas lebih dari 100.000 penonton. Juga ada kolam renang dengan ruang untuk 20.000 penonton.
Sementara itu, Hitler boleh berbangga. Ia bisa menunjukkan kepada dunia bahwa ras Arya di Olimpiade itu adalah ras terbaik. Jerman dengan tim atlet terbanyak dalam Olimpiade ini, tercatat sebagai negara peraih medali terbanyak di Olimpiade Berlin.
Sayangnya, prestasi Jerman itu disertai rumor bahwa para atletnya diberikan doping sebelum bertanding.
Mitos Hitler tentang Ras Arya Dihancurkan Atlet Kulit Hitam
Hitler menghadiri hari pertama diselenggarakannya Olimpiade. Meskipun menghadiri event sport, tapi Hitler sendiri menunjukkan sikap tidak sportif. Hitler hanya menyalami pemenang Jerman.
IOC memperingatkan Hitler atas sikapnya yang tidak sportif itu. IOC memberi pilihan pada Hitler. Ia harus menyalami semua pemenang atau sama sekali tidak menyalami seorang pemenang pun. Hitler memilih yang terakhir.
Tampaknya Hitler tidak mau menerima kenyataan bahwa atlet yang dianggapnya non-Arya, ternyata bisa mengungguli atlet Jerman yang disebutnya sebagai ras Arya yang unggul.
Hitler enggan menyalami Jesse Owens, atlet kulit hitam dari Amerika. Padahal sebagai tuan rumah, selayaknya Hitler memberi ucapan selamat kepada Owens sebagai peraih medali emas terbanyak di Olimpiade Berlin. Owens juga tercatat sebagai pemecah rekor Olimpiade. Â
Owens meraih 4 medali emas untuk sprint 100 meter, sprint 200 meter, lompat jauh dan estafet 4x100 meter. Ia adalah orang Amerika pertama yang meraih medali emas terbanyak dalam Olimpiade.
Jesse Owens kemudian disebut-sebut sebagai orang yang berhasil menghancurkan mitos yang dihidupkan Hitler tentang supremasi ras Arya. (Setahun sebelum Olimpiade Berlin, Owens telah mencetak rekor dunia dalam lompat jauh. Dan rekor ini bertahan selama 25 tahun).
Mitos tentang keunggulan ras Arya yang dihancurkan oleh Jesse Owens, atlet kulit hitam, terwakili dalam foto yang beredar di seluruh dunia. Dalam foto tersebut, tampak Owens berdiri di posisi yang lebih tinggi, dan atlet Jerman berdiri di posisi yang lebih rendah.
Sebenarnya Jesse Owens bukan satu-satunya atlet kulit hitam yang memukul politik rasisme Hitler pada Olimpiade Berlin. Atlet kulit hitam Amerika lainnya, Cornelius Johnson memenangkan medali emas di lompat tinggi. Hitler segera meninggalkan stadion saat mengetahui hal ini.
Selain itu, Jesse Owens bersama tim estafetnya yang juga atlet kulit hitam Amerika, berhasil meraih medali emas dan mencetak rekor Olimpiade.
Penghormatan kepada Jesse Owens
Lima belas tahun kemudian, Jerman menebus perlakuan tak pantas Hitler kepada Owens. Ini terjadi pada 15 Agustus 1951, saat Jerman memperingati 15 tahun Olimpiade Berlin 1936.Â
Di Berlin, Jerman menyambut Jesse Owens sebagai pahlawan pada hari peringatan tersebut. Enam tahun sebelumnya, Hitler telah bunuh diri bersama Eva Braun kekasihnya.
Pada hari peringatan 15 tahun Olimpiade Berlin itu, Walikota Schreiber mengatakan kepada Owens di hadapan 75.000 hadirin, "Pada tahun 1936 Hitler menolak menjabat tangan Anda. Hari ini saya memperbaikinya dengan memegang kedua tangan Anda dan menahannya di udara."
Berita bahwa Hitler tidak bersedia menjabat tangan Owens, menjadi catatan sejarah. Tapi di kemudian hari, ada yang membuat foto editan. Foto itu dibuat seakan-akan Hitler pernah berjabatan tangan dengan Jesse Owens.
Bahkan ada yang mengklaim pernah melihat Hitler menjabat tangan Owens. Padahal Owens sendiri tidak pernah mengatakan Hitler pernah menjabat tangannya
Jadi bagaimana sesungguhnya kejadian sebenarnya? Jesse Owens sudah wafat tahun 1979. Jadi BBC mewawancarai puteri Jesse Owens, Marlene Owens Rankin, yang membenarkan memang ayahnya tidak pernah berjabatan tangan dengan Hitler.
Majalah Sport Bild juga mewawancarai Marlene Owens Rankin, puteri dari Jesse Owens. Sama seperti pernyataannya pada BBC, Rankin menegaskan Hitler tak pernah menjabat tangan ayahnya. Puteri Owens mengutip kalimat ayahnya sebagaimana sering dikutip media:
 "Saya tidak datang ke Olimpiade Berlin untuk menjabat tangan Hitler. Saya datang untuk (olahraga) lari. Dan itulah yang benar-benar saya lakukan. Saya di sini sekarang dan di mana Hitler, saya tidak tahu."
Berdasarkan kalimat ayahnya ini, Marlene Owens Rankin menyimpulkan Hitler memang tidak berjabatan tangan dengan ayahnya.Â
Meskipun meraih medali emas untuk negaranya, namun Amerika tidak menyambutnya sebagai pahlawan dan Presiden Roosevelt tidak memberi selamat padanya. Mengirim ucapan selamat pun tidak. Tampaknya pejabat atletik Amerika menghukum Owens.
Pejabat atletik Amerika marah, karena Owens menerima tawaran komersil yang menguntungkan dirinya, sebagaimana dilansir BBC. Selanjutnya Owens dilarang tampil dalam setiap penampilan olahraga amatir untuk meningkatkan profilnya.
Tetapi Jesse Owens kemudian menerima anugerah Medal of Freedom (1976) dari Presiden Gerald Ford. Ini adalah salah satu penghargaan  Amerika yang tertinggi.
Di Jerman, prestasi Owens diabadikan sebagai nama jalan. Saat putri Owens mengunjungi Berlin (1984), ia melihat nama ayahnya menjadi nama jalan yang terletak di sebelah stadion tempat berlangsungnya Olimpiade Berlin. Jalan itu telah berganti nama menjadi Jesse Owens Allee sebagai penghormatan kepada ayahnya.***
(Penulis: Walentina Waluyanti)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H