Mohon tunggu...
Wildan Abdussalam
Wildan Abdussalam Mohon Tunggu... -

Wildan menyeleseikan studi S1 Fisika dari Universitas Padjadjaran Indonesia, S2 dari Politechnika Wroclawska dan memulai studi S3 di akhir tahun 2012 di Max Planck Institute Dresden, bidang yang digeluti Titik kuantum dan gas atom dingin

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Si Miskin yang Tekun

7 Juni 2015   02:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Akhir-akhir ini saya banyak mendengar kisah inspiratif para peraih juara olimpiade baik tingkat nasional dan internasional, para peraih beasiswa mancanegara, dan kisah inspiratif lainnya yang menceritakan sepak terjang seorang siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu namun memiliki kecerdasan intelektual yang melebihi siswa-siswa pada umumnya. Saya sangat bangga karena di tengah berita miring tentang Indonesia masih ada para generasi penerus yang berjuang demi kemajuan tanah air ini. Pada tulisan ini saya hanya menambahkan satu pengalaman. Saya tidak akan berbagi pengalaman tentang siswa yang tidak mampu tetapi cerdas, sebaliknya saya berbagi pengalaman tentang siswa yang miskin namun tak berprestasi.

Sebut saja nama siswa ini Udin. Saat SMP, Udin memiliki hobi bermain bola dan bermain playstation, sekolah hanyalah rutinitas yang harus dijalankan karena saran orang tua. Hari-hari Udin hanyalah hari untuk menunggu akhir minggu untuk bermain playstation. Udin tidak masuk SMU unggulan karena sering bermain playstation, saat SMU kelas 1 & 2 Udin adalah siswa yang menonjol dari ranking bawah alias murid urutan ke 30 besar dari 40 murid. Kelas 3 Udin bertobat, mengurangi bermain dan sering mengikuti pengajian mingguan. Dari pengajian Udin sering disarankan gurunya untuk menghapal Qur’an, namun tentunya dengan memperbaiki dahulu tahsin dan tartil Qur’an. Udin tinggal bersama neneknya, saat kelas 3 SMU Udin berjualan kue untuk membayar ongkos angkot dari rumah ke sekolah. Prestasi Udin di kelas 3 mulai membaik, sekarang dia masuk 10 besar, dengan nilai UAN matematika 5.22 tetapi Fisika 9.4. Akhirnya Udin memutuskan mengambil Fisika di perkuliahan.

Saat kuliah Udin bekerja sambilan sebagai pengajar privat dan asisten lab. Tahun 2007, saat itu akhir tahun perkuliahan, adalah tahun musibah bagi keluarga Udin. Keluarganya harus kehilangan rumah karena disita + kayak cerita Yusuf Mansur, menyisakan hutang > 1 M. Hampir dipastikan saat itu, secara logika manusia, tak ada lagi untuk biaya anak bersekolah, yang ada hanyalah harapan untuk hidup bahwa esok akan lebih baik dan hutang agar segera terlunasi. Namun Allah Maha baik terhadap Udin, Udin mendapat dana riset mahasiswa dari DIKTI, dengan uang tersebut dia bisa menyeleseikan kuliah S1-nya.

Udin memiliki satu adik wanita dan satu pria, sebutlah yang wanita ‘Wiwit’ dan pria ‘Ujang’. Wiwit dan Ujang saat itu masing-masing kelas 3 SMU dan 3 SMP. Artinya di tahun yang sama mereka akan melanjutkan ke jenjang perkuliahan dan SMU. Hampir dipastikan keduanya putus sekolah karena tidak ada lagi biaya untuk sekolah, untuk hidup saja sulit apalagi sekolah. Segala puji milik Allah, hidup ini bukan oleh logika tapi oleh Allah, tahun 2008 Udin mendapatkan pekerjaan yang cukup untuk membayar kuliah Adenya, Wiwit diterima di ITB dan Ujang diterima di MAN Insan Cendikia yang bayaran sekolah selama 3 tahun digratiskan.

Tahun 2010 Wiwit mulai mendapatkan beasiswa sampai akhir masa perkuliahan S1 dan Udin mendapatkan beasiswa S2 Fisika teori di Polandia. Beasiswa Polandia Udin hanyalah 250 euro per bulan, tanpa tiket pulang-pergi dari dan ke Indonesia. Udin hanya membeli tiket pergi ke Polandia dari uang pesangon kantor, dengan bekal musafir dijamin oleh Allah, bismillah Udin pergi, jikalau mati saat menuntut ilmu berarti syahid. Di Polandia, ternyata Udin harus membayar uang 4000 euro per tahun untuk kuliahnya. Sisihan uang 40 euro dari beasiswa Udin pun tidak cukup untuk membayar uang tersebut. Udin tak patah semangat, Allah pemberi jalan, dengan membuat surat keterangan tidak mampu dari kecamatan di daerah asal Udin dan ditranslate dalam bahasa Inggris uang 4000 euro tersebut didiskon 50%. Diskon tersebut belum tentu didapat di tahun berikutnya, Udin tetap harus membuktikan prestasi akademik Udin. Walaupun Udin sudah mendapatkan 50% diskon, 2000 euro tetaplah berat, namun pertolongan Allah dekat, professor Udin mau membantu dari sakunya sendiri sebesar 1000 euro dan sisa 1000 euronya lagi Udin bayar dari sisihan uang beasiswa perbulan Udin.

Di Polandia Udin bukan murid yang menonjol, dia hanyalah murid yang sering khawatir bagaimana mendapatkan nilai yang baik untuk mendapatkan diskon di tahun berikutnya. Dia hanya bermodal hapalan Qur’an, aduan kepada Tuhan-Nya pada saat berdo’a dan do’a kedua orang tuanya. Segala puji milik Allah, di tahun kedua Udin kembali mendapatkan diskon, seperti biasa Udin membayar 1000 euro dan sisanya meminjam dari temannya yang Udin kembalikan saat Udin sudah menjadi mahasiswa S3 di Max Planck Institute. Yah begitulah, setelah masa sulit S2, pada tahun 2012 Udin bekerja di Max Planck Institute, Dresden, Jerman, yang katanya terkenal dalam sains. Udin sendiri tidak mengerti apa itu Max Planck Insitute, Udin hanya bersyukur murid bodoh dan miskin seperti Udin bisa mencicipi perkuliahan S3 dan bisa bertahan sampai sekarang.

Tahun 2012, Wiwit mendapatkan beasiswa S2 dari Universitas Waseda, Jepang dan Ujang mendapatkan beasiswa Bidik Misi di Institut Teknologi Bandung.  Wiwit mendapatkan gelar S2-nya di tahun 2014 dan berencana melanjutkan ke jenjang S3. Begitu juga Ujang ingin tentunya mengikuti langkah kakak-kakaknya. Begitulah cerita keluarga Udin, Udin tak tahu sejauh mana akan melangkah, tergantung Sutradara kehidupan. Namun tentunya, semiskin dan sebodoh apapun kita, jangan pernah berhenti sekolah, lanjutkan sekolah dan mintalah kepada Allah untuk membiayainya. Jadikan Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman, Insya Allah Allah memberikan dunia-Nya yang tidak bernilai di hadapan-Nya.

Mahasiswa miskin yang tekun,

Udin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun