Basuki, seorang teman, datang ke kantor organisasi jurnalis. Basuki tidak sendiri. Ia bersama seorang pria paruh baya. Pakaiannya lusuh dan memakai peci hitam senada dengan warna kulitnya. Pria itu bernama Sukir.
Sukir adalah seorang nelayan yang tinggal di pesisir pantai daerah Panjang, Bandar Lampung. Tak heran kulitnya legam. Ini dikarenakan pekerjaannya sebagai nelayan membuat ia akrab dengan sengatan matahari.
Kedatangan Sukir pada sore itu memiliki maksud. Pria hanya tamatan sekolah dasar (SD) ingin menceritakan masalahnya pada para jurnalis. Masalah yang membuat Sukir dan keluarga tidak bisa tidur sepanjang malam.
Sukir ditetapkan pihak kejaksaan sebagai tersangka kasus korupsi program bantuan langsung masyarakat pengembangan usaha mina pedesaan perikanan tangkap (BLM PUMP PT) tahun anggaran 2012.Nilai kerugian negara sebesar Rp 59.900.345.
Agak mengagetkan. Nelayan tamatan SD menjadi tersangka sebuah kejahatan luar biasa. Kejahatan yang biasanya melibatkan orang-orang dengan jabatan tinggi, orang-orang berpendidikan. Tapi dalam kasus ini, korupsi dilakukan nelayan tamatan SD.
“Saya juga bingung kenapa saya jadi tersangka korupsi. Padahal awalnya saya datang ke kejaksaan guna melaporkan penipuan,” kata Sukir. Ya proses hukum terhadap Sukir dimulai justru ketika bapak lima anak melapor ke Kejaksaan Negeri Cabang Panjang.
Niat awal Sukirmelaporkan orang bernama Lukman yang telah membawa kabur uang bantuan BLM PUMP PT milik kelompok nelayan Karang Jaya pimpinan Sukir. Apa daya semuanya berbalik 180 derajat.
Kejaksaan menilai Sukir terlibat dan bekerjasama dengan Lukman dalam korupsi uang bantuan itu. Jadilah Sukir menyandang status sebagai tersangka. Sukir menceritakan, kelompoknya mendapat bantuan sebesar Rp 100 juta dari program yang didanai APBN tersebut.
Sukir yang lugu kemudian menyerahkan uang itu kepada Lukman untuk membeli peralatan tangkap ikan. Sukir sama sekali tidak menyangka bahwa Lukman akan melarikan uang itu. Modal Sukir hanya percaya.
Ternyata kepercayaan berbuah pahit. Lukman menghilang bersama uang bantuan nelayan. Sukir tidak pernah menikmati uang bantuan itu sepeser pun. Sisa uang sebesar Rp 15 juta yang ada di tangan Sukir, ia pergunakan membeli peralatan tangkap ikan untuk kelompoknya.
Kasus ini sudah bergulir di pengadilan. Terakhir kejaksaan menuntut Sukir dengan hukuman pidana penjara selama dua tahun. Sukir dituntut untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 59.900.345.
Apakah tuntutan terhadap Sukir ini sudah tepat? Coba kita bandingkan dengan kasus serupa. Kejaksaan mengusut korupsi pengadaan alat kesehatan tahun anggaran 2012 di Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung dengan kerugian negara sebesar Rp 1.193.074.321.
Kasus ini menyeret Wirman, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Di dalam kasus ini, Wirman terbukti berkongkalikong dengan rekanan dalam proses tender dan menggelembungkan anggaran.
Wirman mendapatkan uang sebesar Rp 200 juta dari rekanan karena telah memenangkan rekanan tersebut. Namun jaksa hanya menuntut Wirman dengan pidana penjara selama 1,5 tahun. Majelis hakim pun memvonis dengan pidana penjara selama satu tahun.
Sukir dan Wirman dua insan yang berbeda nasib. Sukir nelayan, Wirman dokter. Sukir ketua kelompok usaha nelayan, Wirman Kepala Dinas Kesehatan. Sukir tamatan SD, Wirman lulusan perguruan tinggi.
Apa yang dialami Sukir dan Wirman menjadi gambaran bagaimana kedudukan seseorang di mata hukum. Sukir, seorang nelayan tamatan SD, yang tidak tahu menahu mengenai apa itu korupsi dijerat dengan tuntutan yang lebih besar dari seorang dokter bernama Wirman.
Seperti kata Emha Ainun Nadjib, hukum tidak supreme karena ia hanya alat dari keadilan. Ya hukum harus ditegakkan untuk mewujudkan rasa keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H