Mohon tunggu...
sajad amat
sajad amat Mohon Tunggu... -

terkadang harus menyempatkan menulis. ketik di kibot. membangkitkan imaji purba itu. mungkin akan menjadi kenangan indah. bantu aku mencintaimu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melorotin Jemuran

17 November 2009   01:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_43109" align="alignleft" width="298" caption="ilustrasi foto : kompas.com / Getty Images"][/caption]

Setiap kata yang berjatuhan kau lempari itu, aku ganyang. Kulumat, dan kujejal ke tenggorokan. Kupilin-pilin tiap kalimat yang kau tulis berbaris, lalu kutelan dengan sepuluh jariku. Jatuh mangga kalimat perlahan dari atas layar. Turun ke bawah, dan kuwadahi keranjang untuk bekal piknik nanti.

Mantramu yang kau simpan di balik baju kata-kata itu menjadi umpan. Ikan wader kelaparan sepertiku. Kata-katamu membuat kenyang ruh yang melayang di langit otak dan kesadaran.

Bakar, Bakar!!

Biarkan apinya membakari tiap kata yang terselip di karbon kayu. Biarkan kata itu melorot seperti hujan. Biarkan kata itu melotot seperti matahari yang menjemur kalimat-kalimat siang. Atau pandangan bulan yang perlahan menelanjangi tubuhnya dari sarung awan.

Wahai Jiwa-jiwa...

Kata itu…., mantra yang kau saput dengan asap, melayang jauh seperti lembing, jatuh menusuk jantung kesadaran manusia. Menghunjam dan menusuk denyutnya, mencengkram akarnya melahirkan tetumbuhan surga.

Desing suara katamu, memelihara ganyang. Geraham yang gemeretuk memantik kaki-kaki untuk menari. Mengayun gemerincing kaki bersuara sambil menari.

Kata-katamu adalah perkusi emas. Gendang dan etek-etek. Musik surga yang kau cipta dari buah huldi yang kau gerus isinya. Koprak-koprak, suaranya kau pukul, mengajak burung manyar menari.

Obrolan yang kau lempar, kenyal dan segar. Kuganyang ala kadar.

Diskusimu mencipta embun yang menetes di ari-ari yang telah bertahun-tahun kutanam di tanah ini. Siramkan lagi, agar haus itu meluberkan lumpur.

“Pakai saja walau masih kotor dan kumal!! “ katamu.

Kata-kataku yang sedang nangkring di tali jemuran, kujambret. Api yang berkobar dalam dada, memberi petunjuk gegar. Hingga tak malu, kucumbu bau tengik baju, kumal kertas bekas, compang-camping kata, kulempar dalam api, terbakar menjadi asap wangi.

Biarkan aku menari lintang kangkang. Mencium wangi telanjang.

2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun