Telah kujalani beberapa dari cerita dikala senja dengan hanya berteman bayang, saat semburat lembayung itu memukau rasa, tepat pada mata indah nan teduh yang memaku diriku hanya pada satu dinding berwarna marun.Â
Kembali memutar smua paragraf-paragraf yang sepertinya hanya sebuah metafora.
Apakah selama ini aku hanya bermimpi, ataukah ini cara Tuhan mengajariku sepi dalam kerumunan.
Hei, lihatlah, ada dirimu di dalam sana, sedang tersenyum dalam kesendirian, melambaikan tangan padaku, dan seperti biasa, aku selalu membalas senyumanmu, penuh semangat dan rasa tenang seolah tidak terjadi apa-apa, namun mereka mengira aku sedikit gila, ya, mungkin!, Karena tidak ada seorang pun disni.Â
Tidak ada seorang pun kecuali dirimu yang sedang bermain-main dengan sebuah bola yang berisi angan-angan yang terlempar kesana kemari, aku hanya melihatnya dan sesekali aku terseyum saat memoriku kembali memotret seyummu yang selalu sanggup menenangkan mendung yang hampir menjatuhkan diri menjadi bulir-bulir hangat di lembah rona.
Disini, di dalam kotak pandora merah pasrah pada sebuah garis tangan yang menengadah meminta keajaiban.
Waktu mengelinding tak tentu arah namun selalu ada gengaman hangat bulan sabit diantara tirai mata air dipadang gelap dengan sedikit manik-manik kecil nan gemerlapan, begitupun lembayung, tak pernah menyesal meski dia indah hanya sebentar, namun semesta selalu membuatnya kekal dalam bola mata waktu yang beranjak terlelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H