Barulah saja, ingin ku torehkan segores senyum pada topeng yang baru setengah jadi itu, tapi, sudah kau tumpahkan semua warna indah hayalanku.
Sebegitu tak pentingkah rupa topeng itu bagimu, sehingga tak kau beri kesempatan pada ku memberikan gambar bentuk bulan sabit pada salah satu sisinya.
Ku pandangi saja terus topeng itu, pada diding pantulan nyata topeng itu. Suram, muram, membawa setiap hati yang memandangnya ikut larut dalam kesedihan.
Haruskah orang lain yang menggambarkan segurat senyum pada topeng yang sudah menjadi milikmu itu. Rela kah kau jika topeng itu menjadi cantik dan indah oleh karya tangan orang lain.
Cepatlah katakan padaku, sehingga aku tak selalu berharap, dirimu lah yang akan mempercantik topeng itu.
Ataukah akan kau biarkan orang lain menjamah topeng itu, tak perduli akan apapun, asal bisa ku lihat topeng itu tersenyum indah.Â
Lalu apa gunanya kau menjadikanmu pemilik topeng itu, hanya untuk pamer, atau kepuasan batinmu, sehingga tak kau hiraukan rupa topeng itu.
Aku bosan, terus memandangi wajah suram topeng itu, adakah sedikit belas kasihanmu pada topeng itu, hingga kau biarkan aku menorehkan warna-warna indah pada permukaannya.
Ya, berilah sedikit belas kasihanmu, dan akan kau lihat cantiknya topeng itu nanti. Hingga orang-orang yang melihatnya kagum padamu, sebab di genggamanmu topeng itu sangat menyenangkan untuk dipandang. Membuat orang lain iri dan ingin juga memiliki keindahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H