Mohon tunggu...
Abdul Azis Azis
Abdul Azis Azis Mohon Tunggu... -

Advokat dan konsultan hukum pada Kantor Hukum ABDUL AZIS & REKAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Medsos dan Electoral Syndrome

22 April 2019   23:21 Diperbarui: 22 April 2019   23:57 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setelah melewati situasi horor-ria dan ketengangan tingkat dewa akhirnya pemungutan suara Pemilu usai digelar tanggal 17 April kemarin. Pemilu khususnya pilpres kali ini nuansanya tidak jauh berbeda kontestasi pilpres sebelumnya. 

Kita masih diperhadakan pada keterbatasan stok pilihan yakni hanya dua pasangan calon. Capresnya pun masih orang yang sama pada pilpres 2014, istilah prokemnya Loe Lagi Loe Lagi.  Sebuah kontestasi demokrasi elektoral antara petahana dan penantang. Dalam kampanyenya paslon 01 menjual optimisme dengan segala sengkarutnya dengan tagline Indonesia Maju sementara paslon 02 menjual pesimisme-kritis berlagak oposan dengan tagline Indonesia Menang.

Hanya saja pilpres kali lebih terpolarisasi mulai dari elite politik hingga grass root.  Politik indentitas tak terhindarkan. Ruang-ruang publik disuguhi perdebatan, saling nyinyir dan saling hujat/memaki diantara sesama timses, simpatisan bahkan antar kelompok masyarakat baik di media mainstream apalatalagi di medsos (medsos). Anak bangsa terbelah ke dalam dua kubu: kubu cebong dan kubu kampret.

Kondisi tersebut yang penulis kemudian tafsirkan sebagai electoral sydrome (sindrom pemilu), dimana tanda-tanda atau fenomena tersebut di atas terjadi secara bersamaan dimana-mana baik dalam bentuk emosi maupun tindakan. 

Medsos dan jejaring sosial keseharian kita disuguhkan tentang pemilu (pilpres) dalam berbagai bentuk postingan atau kiriman mulai dari berita, artikel, gambar dalam bentuk foto, video dan meme. Singkatnya pilpres menjadi wacana dominan dan seolah-olah pilpres adalah segalanya tanpa memperdulikan lagi keadaban, kemanusiaan, dan kohesi sosial.

Beberapa diantara meraka adalah tokoh nasional atau aktivis di jamannya. Narasi dan diksi yang dibangun tidak berbading lurus dengan ketokohan dan nama besarnya. Pilihan medsos tidak lagi penting buat mereka, medsos sekaliber twitter pun yang konon didominasi oleh follower kalangan intelektual tidak luput dari kicauan yang bernada nyinyir dan makian. Apalagi Facebook yang jangkauannya lebih banyak dari berbagai kalangan/kelompok dan segala usia lebih horor dan menegangkan lagi.

Bahwa dalam konteks kekinian penggunaan medsos menjadi media efektif dalam sebuah kerja-kerja kampanye adalah sebuah keniscayaan dalam konteks cyberspace. Kampanye medsos dan perang cyber menjadi salah satu variabel penting dalam kerja-kerja pemenangan dalam kontestasi seperti pilpres. 

Masing-masing timses dan pendukung menciptakan buzzer atau influencer untuk memassifkan kampanye dan mempengaruhi publik melaui teman facebooknya dan follower twitternya untuk diikuti hingga menjadi viral atau trending di medsos.

Mereka inilah yang memainkan peran penting memproduksi opini dan melakukan "serangan" dalam beragam berita dan  informasi untuk mempengaruhi nitizen. Sebagian diantara berita dan informasi tersebut semakin tipis perbedaannya antara fakta/kebenaran dan kebohongan (hoax), atau antara fiksi dan nonfiksi.

Situasi ini menjadi kecenderungan global dan telah melanda berbagai bangsa di belahan dunia dalam even demokrasi elektoral yakni maraknya upaya-upaya  memainkan opini publik dengan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif. 

Oleh para ahli dan pengamat menyebutnya sebagai fenomena post-truth. Sebuah fenomena dimana masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran yang antara lain bercirikan diaabaikannya data dan fakta, memviralkan berita yang belum tentu kebenarannya atau palsu, dan mengkombinasikan gerakan populis dengan teori-teori konspirasi yang masih butuh diuji lagi kebenarannya (Nayef Al-Rodhan, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun