Mohon tunggu...
Wajenkz Wajenkz
Wajenkz Wajenkz Mohon Tunggu... -

Saya cuma manusia Biasa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sosialisasi di Media Nyaris tanpa “Gizi”

24 September 2011   03:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Televisi, sebuah kotak ajaib yang membawa manusia mengenal jaman instan yang mampu menerobos ruang dan waktu. Betapa tidak, sebelum Televisi tercipta manusia harus mengarungi ganasnya alam guna membawa Hegemoniberupa “Gold, Glory, dan Gospel” namun kini hegemoni bisa dengan mudah disebarkan melalui sebuah kotak ajaib bernama televisi, lewat sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan dan nilai yang dalam sosiologi disebut Sosialisasi.

Dan ternyata sosialisasi yang dibawa Televisi dan media lain nyatanya hanya menjadi lahan subur guna mendukung sebuah kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak yang menjadi tulang punggung yang membuat televisi itu ada (pemilik media tersebut beserta rekanannya). Dari paragraph ini kita bisa membuat sebuah hipotesa bahwa media yang beredar saat ini mustahil bisa steril dan membela kepentingan dominan (rakyat) karena sifat penguasaan media yang dimiliki satu atau kelompok tunggal.

Di zaman yang mengedepankan rating sebagai acuan pantas atau tidaknya suatu rubrik/ acara itu disajikan ke publik, kualitas acara menjadi sesuatu yang teramat langka, karena urat nadi acara bukan lagi terletak pada proses kebutuhan pembaca, penonton, pendengar (Konsumen media) yang membutuhkan informasi dari realitas objektif (kenyataan yang terlihat) dari lingkungan sekitarnya, namun bagaimana mereka (Konsumen media) menyukai tayangan tersebut alias (laku secara ekonomi) terlepas acara/rubrik yang ditayangkan objektif atau tidak dengan kebutuhan konsumen.

Hal diatas secara kasat mata dapat dilihat dari merebaknya tayangan-tayangan yang dapat dikategorikan sebagai “lagu nina-bobo” yang membawa lari setiap penikmat televisi dan media lain dari realitas social sesungguhnya (terlebih pada jam prime-time). Salah satu contohnya adalah sinetron yang sebenarnya garis besar ceritanya sudah bisa ditebak (Hidup mewah, tokoh utama disiksa begitu rupa, datang sang penolong yang mapan secara ekonomi, lalu akhiran yang happy ending bagi tokoh utamanya).

Berkaitan dengan hegemoni, televisi biasanya menyebarkannya lewat tayangan beritanya yang ditayangkan berulang-ulang guna mempengaruhi dan menggiring rakyat hingga terciipta sebuah nilai (pihak yang benar dan salah). Masyarakat terus dijejali oleh berita yang kurang lebih sama pada setiap tayangan berita TV tanpa diberi kesempatan “bernapas” guna menilai dari sisi mereka. Yang parahnya lagi jika berita itu menyudutkan kepentingan-kepentingan pemilik dan rekanan media yang lain maka media yang di usik tersebut akan meng-counter dengan berita yang lain (pengalihan isu) hingga masyarakat lupa pada masalah pokok. Cth paling actual (isu Freeport diganti dengan isu perseteruan wartawan dengan anak SMA). Yang hasil akhirnya adalah sebuah disintegrasi dalam berbagai bentuk.

Saya sendiri menganggap televisi dan media yang lain harus kembali menegakkan apa yang disebut pembelajaran prososial. Yang meliputi dua kategori umum yaitu kognitif dan behavioral.

1.Prososial kognitif meliputi pembelajaran informasi yang berguna dalam pengembangan keterampilan kognitif seperti pemberian alas an, dan pemecahan masalah.

2.Prososial behavioral meliputi tindakan yang di inginkan secara social seperti menolong orang lain, kebersamaan, pengontrolan dorongan agresi, mpenundaan rasa puas, tekun dalam pekerjaan, pengungkapan perasaan diri atau orang lain, dan penungkapan rasa simpati kepada orang lain.

Caranya dengan aktif memberikan pendidikan yang benar kapada masyarakat (baik itu road show maupun pendidikan secara gratis) tentang media, sehingga rakyat dapat secara cerdas menilai lalu lalang berita yang hadir kepada mereka dan tentunya terhindarkan dari rasa gamang dan cemas terhadap isu yang disebar luaskan oleh media di sekitar mereka. Dengan begitu masyarakat mampu menyaring berita dan isu menjadi sebuah gizi yang menyehatkan.

. Menurut Gramsci hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan.

Heru Puji Winarso “Sosiologi Komunikasi Massa” Prestasi Pustaka cetakan pertama Jakarta juli 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun