Mohon tunggu...
ahmad mustofa wajdi
ahmad mustofa wajdi Mohon Tunggu... -

kalau tidak membaca, menulis, atau mengulang keduanya, bolehlah sesekali tidur lelap dalam senyap dan bermimpi harap

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tangis Biarawan Dan Haru Pendeta

18 September 2010   02:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penghitugan tahun dalam catatan sejarah islam sebelum hijrah biasanya menggunakan tahun pasca kenabian atau setelah diangkatnya Junjungan kita Muhammad sebagai Nabi dengan turunnya wahyu pertama di gua Hira’. Pada tahun ke lima pasca kenabian pemeluk islam dari suku Quraisy Makkah bertambah banyak. Keadaan ini membuat orang-orang kafir Quraisy gerah. Mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk melancarkan terrorterhadap pemeluk islam Makkah. Mereka siksa dan sakiti orang muslim Makkah. Sedangkan Rosulullah Muhammad SAW kala itu masih di dalam perlindungan pamannya Abi Thalib yang termasuk disegani bangsa Quraisy sehingga penyiksaan kaum kafir Makkah tidak sampai menyentuh beliau SAW.

Mempertimbangkan keselamatan ummatnya, Rosulullah SAW memerintahkan mereka hijrah ke suatu negeri yang bernama Habasyah. “Pergilah kalian ke Habasyah. Di sana ada seorang raja yang tidak pernah zhalim terhadap siapa pun. Berangkatlah hingga Allah menentukan kebahagiaan kepada ummat Islam,” demikian kiranya anjuran beliau. Habasyah kala itu dipimpin oleh seorang raja nashrani. Maka berangkatlah sebelas orang muslim laki-laki dan empat orang perempuan ke negeri Habasyah dengan sembunyi-sembunyi. Mereka adalah Utsman Bin Affan dan istrinya, Ruqayyah putri Rosul, Zubair Bin Awwam, Abdullah Bin Mas’ud, Abdur Rahman Bin Auf, Abu Hudzaifah bin Utbah dan istrinya Sahlah, Mush’ab bin Umair, Abu Salmah bin Abdil Asad dan istrinya Ummu Salmah Binti Umayyah, Utsman Bin Mazh’un, Amir Bin Robi’ah dan istrinya Laila, Hathib Bin Amar, dan Suhail Bin Baidha’. Mereka pergi dengan perahu yang dibeli seharga setengah dinar. Perjalanan ini tepatnya terjadi pada bulan Rajab tahun ke lima pasca kenabian.

Setelah kelompok pertama di atas, Ja’far Bin Abi Thalib dan sekelompok muslim berikutnya menyusul ke negeri Habasyah. Alhasil, jumlah muslim Makkah yang pergi ke sana mencapai delapan puluh dua orang, belum termasuk wanita dan anak-anak. Mereka tinggal di sana dalam keadaan aman.

Sejarah terus bergerak ke depan. Rosulullah SAW telah hijrah ke Madinah bersama kaum Muhajirin. Kafir Quraisy mengalami pukulan dahsyat dalam perang Badar di mana para pemuka dan pejuang hebat mereka gugur. Pukulan ini membuat mereka marah. Enggan menyerang Madinah, Kemarahan itu mereka lampiaskan dengan menjemput muslim yang berada di negeri Habasyah. Kata mereka, “Kemarahan kalian itu ada di tanah Habasyah. Maka berilah Negus (Gelar Raja Habasyah) yang bernama Ashimah hadiah. Utuslah dua orang mengantarkan hadiah itu agar dia menyerahkan orang muslim yang ada di Habasyah kepada kalian. Setelah itu, silahkan kalian bunuh mereka untuk keluarga kalian yang terbunuh di Badar.”

Amru Bin Ash (sebelum masuk islam) dan Abdullah bin Robi’ah resmi menjadi utusan kafir Quraisy menghadap raja Habasyah. Keduanya berangkat dengan membawa hadiah untuk raja agar dia menyerahkan orang-orang muslim kepada kafir Quraisy. Di hadapan raja Habasyah keduanya menyampaikan maksudnya.

“Wahai Raja, dari bangsa kami telah muncul seseorang yang mengaku Nabi. Nabi itu mengirim sekelompok sahabat-sahabatnya ke negerimu ini untuk merusak dan menghancurkan bangsamu. Kami dengan senang hati mengabarkan siapa sesungguhnya mereka itu. Dan sebenarnya bangsa kami di Makkah memintamu menyerahkan orang-orang itu kepada mereka,” kata keduanya dengan diplomasi yang cakap.

“Baiklah, sampai Kami memberi tahu orang-orang itu,” ujar Negus. Lalu ia memerintahkan orang untuk memanggil kaum muslimin. Singkat cerita, hadirlah orang-orang muslim di pintu Negus.

“Para Kekasih Allah meminta izin masuk kepadamu, wahai Raja,” kata para pengawal.

“ Izinkan mereka masuk. Selamat datang wahai para kekasih Allah,” sambut Negus.

Orang-orang muslim masuk dan mengucapkan penghormatan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Wahai Raja, lihatlah mereka! Mereka tidak memberi penghormatan yang seharusnya kepadamu,” ujar sebagian kafir Quraisy.

“ Kenapa kalian tidak memberi penghormatan kepadaku sebagimana penghormatan yang seharusnya?” Tanya raja kepada orang-orang muslim.

“Kami memberi hormat kepadamu dengan penghormatan para penghuni surga dan penghormatan para malaikat, wahai Raja.” Jawab orang muslim pasti.

Dari sini terjadi dialog antara Negus dan orang Muslim yang dijurubicarai oleh Ja’far bin Abi Thalib. Mulailah Negus bertanya, “ Apa yang dikatakan sahabatmu, Muhammad, tentang Isa dan Maryam?”

Ja’far Bin Abi Thalib menjawab, “ Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya, kalimah-Nya, dan Ruh dari-Nya yang ia tiupkan kepada Maryam. Sedangkan Maryam adalah perawan yang tidak menikah.”

Raja kemudian mengambil sepotong kayu dari bumi dan berkata, “Demi Allah, sahabatmu itu tidak menambahkan apa-apa yang dikatakan Isa meskipun seukuran kayu ini.”

Orang-orang musyrik yang ada di situ jengkel mendengar jawaban Negus. Wajah mereka tampak berubah dengan kebencian. Namun Negus tetap melanjutkan pertanyaannya, “Taukah kamu sebagian yang telah diturunkan kepada sahabatmu itu?”

Maka Ja’far BinAbi Thalib membacakan Surat Maryam. Di pertemuan ini terdapat para biarawan dan pendeta serta segenap orang nashrani lainnya. Mereka mengenal apa yang dibacakan oleh ja’far Bin Abi Thalib. Air mata mereka menetes deras. Mereka terus menangis tanpa henti hingga Ja’far selesai membaca.

“Pergilah kalian semua! Kalian di negeriku ini akan tetap aman,” kata Negus kepada Ja’far dan orang-orang Muslim. Sementara itu Kedua utusan kafir Quraisy pulang ke Makkah dalam perasaan takut.

Orang-orang muslim hidup di sisi Negus dalam tempat tinggal terbaik dan para tetangga yang terbaik pula. Hingga kedudukan Rosulullah dan orang muslim semakin kuat danorang kafir semakin lemah pada kurun waktu tahun keenam pasca hijrah. Rosulullah menulis surat kepada Negus. Amr Bin Umayyah menyampaikan surat beliau itu yang berisi tawaran agar Negus berkenan menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang juga telah hijrah ke habasyah bersama suaminya. Suaminya kini telah meninggal. Tawaran ini diterima Negus. Ia lalu mengutus hamba sahaya perempuan miliknya bernama Abrahah untuk menyampaikan pinangan Rosulullah untuk Sang Negus. Betapa senagnya Ummu Habibah. Negus memberikan mas kawin untuknya sebanyak empat ratus dinar sudah sedia dibawa oleh Abrahah.

Abrahah berkata, “ Engkau telah membenarkan Muhammad dan beriman kepadanya. Aku ingin engkau menyampaikan salam dariku untuknya.”

“Ya,” sahut Ummu Habibah. Maka kemudian pergilah Ummu Habibah ke Madinah. Namun Rosulullah SAW sedang di Khaibar (sebuah kawasan di luar Madinah). Ummu Habibah menetap di Madinah hingga Rosulullah tiba. Saat waktunya, ia masuk kepada Rosulullah dan menyampaikan salam.

“ Aku sampaikan salam dari Abrahah, hamba sahaya Negus: Assalamu ‘alaika Ya Rosulallah,” ucap Ummu Habibah.

Rosulullah menjawab salam Abrahah yang dibawa oleh Ummu Habibah, “’Alaiki wa ‘alaihassalam.”

Setelah itu, Ja’far Bin Abi Thalib pun bermaksud menghadap Rosul juga pada saat beliau masih berada di Khaibar. Ia bersama tujuh puluh laki-laki dengan pakaian wol (shuf. Konon kata sufi berasal dari kata ini). Tujuh puluh itu terdiri dari enam puluh dua laki-laki dari Habasyah dan delapan pendeta Syam (sekarang Syiria). Delapan pendeta itu adalah Buhaira dan tujuh sahabatnya, Abrahah, Asyraf, Idris, Tamim, Tamam, Duraid, dan Ayman. Para pendeta tersebut adalah dari kelompok orang-orang terdekat Negus.

Pertemuan berlangsung khidmat. Rosulullah membacakan surat Ya Sin di hadapan mereka hingga selesai. Seluruh mereka yang hadir menangis. Mereka beriman dan menyatakan masuk Islam.

“Betapa serupa dan sama bacaan tadi dengan apa yang turun kepada Isa Alaihissalam,” kata mereka penuh ketaatan dan keharuan.

Kalau ada yang dengan ‘ngotot’ ( mungkin ga terbiasa ‘ngotak’, ngelatih otak) bilang, “Itukan nashrani dulu. Nashrani sekarang sudah jauh lebih buruk dibanding pendahulu mereka,” maka tanggapan pernyataan ini menunjuk sepuluh jari kepada si pembicara. Maksud saya pernyataan di atas menyerang balik si pembicara, “Umat muslim dulu begitu arif dan lembut. Umat muslim sekarang jauh lebih buruk dibanding para pendahulu mereka.”

Kalau Ja’far Bin Abi Thalib mau membantai dua orang utusan kafir Quraisy maka hal itu sangat mudah. Rosulullah begitu akrab dan ramah kepada raja nashrani Negus. Beliau dan umat muslim tidak menjadi arogan meskipun di atas kertas pasti menang berperang untuk menundukkan mereka. Namun islam diturunkan untuk kasih sayang seluruh manusia dan alam semesta. Betapa arif dan lembutnya Rosulullah dan umat muslim kala itu. Dus, Silahkan menikmati indahnya introspeksi. Jika ada yang menghalalkan kekerasan, maka saya jadi orang pertama yang bersikap keras kepada kelompok garis keras. Namun tetap sambil tersenyum. Nyum, nyum, nyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun