Di antara hal paling keramat yang ada di dekat kita adalah ibu. Yang saya maksud di sini adalah ibu kandung kita sendiri, bukan ibu kota, ibu Negara atau ibu anggota dewan partai tertentu. Bang Haji Rhoma Irama mengabadikannya dalam karya monumental gubahan beliau, “dialah manusia satu-satunya…yang menyayangimu tanpa ada batasnya… Ridho Ilahi karena ridhonya… Murka Ilahi karena murkanya… bila kau sayang pada kekasih, lebih sayanglah pada ibumu…bila kau patuh pada rajamu, lebih patuhlah pada ibumu.” Charly ST 12 mungkin tinggal menunggu karya berikutnya. Atau sudah diciptakan, saya tidak tau. Keduanya sama-sama berdakwah dengan musik, kadang-kadang.
Pada masa kerasulan Nabi Musa AS seorang tua yang soleh. Ia hidup bersama istri dan seorang anak laki-lakinya yang masih kecil. Di akhir hayat orang tua itu berpesan kepada sang istri bahwa ia mewariskan kepada anaknya seekor sapi betina. Sapi ini tidak boleh digunakan kecuali untuk keperluan si anak kelak. Tidak seperti sapi pada umumnya ia membiarkan sapi itu lepas bebas di belantara hutan rimba. Sebelum melepaskan di sebuah hutan ia bermunajat.
“Ya Allah, saya titipkan sapi ini padamu untuk anak laki-lakiku hingga ia dewasa,” ucapnya khusyuk.
Seiring dengan berjalannya waktu sang anak bertambah dewasa selaras dengan berkembangan sapi di hutan yang semakin hari semakin besar. Jadilah sapi ini sapi yang paling gemuk, paling indah warnanya, paling cantik rupanya di belantara itu.
Sang ibu sekali waktu memberitahukan hal ihwal sapi betina warisan ayah kepada anak laki-lakinya. Anak laki-laki ini memang keturunan orang soleh. Daun jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak ini selalu berbakti kepada ibu. Setiap malam ia bagi waktu menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk ibadah, sepertiga untuk istirahat dan tidur, sepertiga khusus untuk duduk di sisi ibunya kalau-kalau orang tuanya yang tinggal satu ini memerlukan bantuan. Jika pagi tiba ia pergi mencari kayu bakar ke hutan. Hasilnya ia jual ke pasar. Keuntungan dari menjual kayu bakar ia bagi menjadi tiga; sepertiga ia sedekahkan, sepertiga ia gunakan untuk keperluannya dan sepertiga khusus untuk ibunya. Demikian terus ia jalani hari demi hari untuk berbakti kepada ibu.
Suatu hari Ibu berkata kepada anaknya, “Juallah sapi warisan ayahmu itu. Kau pasti membutuhkan uangnya nanti. Juallah seharga tiga dinar dengan keridhoanku.” (Dinar adalah uang kepingan yang terbuat dari emas murni). Mendengar perintah ini sang anak langsung pergi ke hutan. Dengan cara yang biasa dilakukannya ia panggil sapi betina. Sapi yang sempurna itu datang kepadanya. Berangkatlah anak dengan membawa sapi ke pasar untuk di jual.
Tawaran pertama datang dari seorang laki-laki, “Berapa kau jaul sapi ini?”
“Tiga dinar, Tuan. Dengan keridhoan ibuku.”
“Saya beli dengan harga enam dinar dan tidak usah bilang ibumu. Bagaimana?” Tanya pembeli lagi.
“Saya hanya menjual dengan keridhoan ibuku,” kata anak laki-laki itu, “izinkan saya pulang untuk menanyakan harga tadi kepada ibuku.
Pergilah ia ke rumah menemui ibunya dan menceritakan tawaran yang terjadi.
“Juallah enam dinar dengan keridhoanku. Tidak lebih, tidak kurang,” fatwa sang ibu. Ia selalu mendengar fatwa umi, bukan fatwa mui.