Mohon tunggu...
Rahmah Rahmudin
Rahmah Rahmudin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

semua akan baik-baik saja...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perjalanan Menyusuri Pengabdian

30 Mei 2013   13:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu tanggal 10 maret 2013,pagi itu suara merdu ayam jago membangunkan kami dari lelah seharian, desiran ombak seolah mengajak bernyayi, burung beterbangan menyaksikan aktifitas masyarakat, wajah-wajah bersahaja menyambut pagi kami dengan penuh saksama, sadari sudah 3 hari tak menampakkan wajah dilingkungan desa asri ini. Y perjalanan pertama kami menyusuri Dusun terpencil Desa Tibu Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong.Bumbumbum...suara roda dua berboncengan menuju dusun IV, berjumlah tiga buah ditumpangi 6 orang, 2 dari mahasiswa KKN Stain, 3 dari mahasiswa KKN Untad, dan Pak Kades selaku translatter/penerjemah bahasa Laudje. sepanjang jalan gumam kami memuji kebesaran-NYA. Setelah lama duduk dijok belakang sampai juga di kaki gunung dusun Ogo Lau (air dingin) ini. Perjalanan naik motor menempuh jarak 5 km tidak terasa, sebab mata dimanjakan indahnya pemandangan desa Tibu.

Sepanjang perjalanan naik kepuncak gunung, benar tingginya menjulang hingga tidak ada sela buat kaki berleha-leha (santai) sejenak. Sesekali berhenti mengambil tenaga mengkonsumsi bekal air mineral, sedikit tegukan demi tegukan, rupanya melelahkan juga mendaki gunung sejauh puluhan kilo. Tak terasa setelah melewati beberapa pendakian, sesekali jika diamati rumah warga dusun ini, umumnya dibangun berjauhan, jaraknya sekitar 5-10 meter, rumah sebagian besar tebuat dari kayu dan bambu, tidak ada listrik, penerangnya berupa genset/pelita yang meneragi gelapnya kala malam menjelang. Tidak ada tempat untuk BAB (buang air besar), jika darurat mengikuti cara kucing menggali dan menutupnya kembali. Buang air kecil pun tempatnya sangat sederhana dan air yang digunakan warga setempatberharap pada satu sumber mata air saja.

Y sumber mata air hanya ada satu berada tepat di tengah gunung, masyarakat didusun ini kekurangan air bersih, hingga warga yang bertempat tinggal dipuncang gunung turun kebawah megambil air, bahkan jika airnya sudah mulai kurang mereka turun hingga kekaki gunung. Banyak pula warga yang mandi dan mengambil air di Polu Kapal (batu kapal), jarak tempuh mencapai puluhan kilometer, konon airnya tidak mengalir sampai ke laut tetapi di serap oleh tanah. Hingga sekarang Polu Kapal kami jadikan program kerja mengenai objek wisata desa Tibu.

Masih dalam pendakian pun kami bertemu tukang ojek gunung, yang saat itu memacu motor body gedenya menakhlukkan gunung yang hampir tak punya jalan lurus, dengan menggandeng seorang wanita. “itu tukang ojek gunung ada yang berasal dari dusun ini dan dusun bawah, pulang pergi diupah Rp 15.000, gandengannya bisa 2 hingga 3 orang”, ujar bapak Kades yang akrab dipanggil Ismail itu, menjawab sembari menatap wajah bingungku.

Tak terasa perjalanan kami sudah menempuh jarak 7 km, langkah kaki mulai tak menentu, keringat bercucuran tak hentinya. Akhirnya kami berjumpa dengan Bapak Mardan kepala dusun IV yang baru saja pulang dari kebunnya. Waktunya berleha sejenak, melepas lelah sambil minum kopi agak pekat buatan tuan rumah. Huff helaan nafas yang terengah-engah pertanda kelelahan melanda pemirsa,,,hehehe…

Usai menikmati kopi dan ala kadarnya sambil mendengarkan bahasa laudje, walau dengan bahasa sulit dimengerti melalui Pak Ismail sedikit demi sedikit kami mengerti dengan bahasa ini. Melalui informasi dari Pak Kadus (kepala dusun IV) jumlah penduduk 36 kepala keluarga, kehidupan sehari-hari penduduknya bagitu sederhana, serba berkecukupan, dan tidak konsumerisme (beli pakai). Dari pengamatan kami y memang benar, sebab pada saat yang bersamaan kami sedang dimanjakan oleh tuan rumah dengan nasi lauk rica dan air hangat nikmatnya disantap bersama.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11.00, usai santap bersama kami menuju sekolah dasar terpencil Ogo Lau, berjarak kurang lebih 1 ½ kilo dari rumah saudara Pak Mardan. Saatnya mendaki kembali kawan. Dalam waktu yang bersamaan pula kami jepret-jepret (mengambil gambar menikmati indahnya pemandangan). Tak terasa langkah kaki kembali berhenti melihat sekolah terpencil sudah di depan mata. Y Sekolah Dasar Negeri I Terpencil Desa Tibu sekolah ini sangat diluar dari kesederhanaan memiliki tiga ruangan satu ruangannya di tempati dua kelas, terdapat satu bangunan panggung berukuran sekitar tiga kali empat meter, tidak kekurangan guru hanya kekurangan murid.

Ada cerita lucu disekolah ini, ketika tiba saat petugas kesehatan mengunjungi sekolah hendak memeriksa kesehatan kelas jadi kosong dikarenakan anak-anak takut di suntik dan para orang tua takut jika anaknya tambah sakit, pemahaman akan kesehatan sangat kurang hingga penyakit yang di derita pada umumnya gatal-gatal atau scabies misalnya kurang menjaga kebersihan tangan ketika hendak makan.

baju yang kurang seragam tak menyulutkan semangat mereka untuk belajar, keluguan mereka menyiratkan banyak hal bahwa kami ada untuk belajar hidup. Keterbatasan tidak menghalangi semangat untuk belajar. Dari kehidupan mereka kami banyak belajar.

Usai pun, kemudian kami melakukan perjalanan lagi kurang lebih sejauh 1 ½ kilo perjalanan kami menuju rumah bapak Mardan, rupanya istri beliau telah menyiapkan jagung rebus yang baru dipetik dari pohonnya ditemani lauk sambal ikan, wah yammmiieee, Alhamdulillah. Hehehe….

Setelah lama berbincang-bincang dengan bahasa yang kurang kami mengerti, mereka pahami keberadaan kami, mata yang dimanjakan suasana pegunungan, hari ini benar membuat kami paham indahnya hidup dengan rukun tanpa memandang suku, bahasa, agama dan lain-lain. Perjalanan singkat ini tetap menjadi bekal kami menata baik kehidupan yang akan datang, mendaki gunung mengajarkan kami kesabaran, makan dan minum seadanya mengajarkan kami arti kebersamaan, menyatu dengan bahasa yang kurang dimengerti mengajarkan kami arti persatuan, serta wajah lugu adik-adik mengajarkan kami tentang kejujuran. Alhamdulillah syukur kami panjatkan untuk-MU, mensyukuri nikmat sekecil apa pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun