Mohon tunggu...
Alexander Aur
Alexander Aur Mohon Tunggu... -

Menekuni filsafat, mengajar, dan menulis hal-hal yang layak dan harus ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Selamat Jalan Tahun Lama, Selamat Datang Tahun Baru

1 Januari 2015   04:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

·Ataukah tentang Kemewaktuan Manusia?

PUKUL 00 pada awal dan akhir tahun merupakan penanda peralihan tahun. Pukul 00 merupakan titik perhentian tahun lama dan titik berangkat tahun baru. Pukul 00 adalah akhir dari tahun lama dan awal dari tahun baru. Yang lama dan yang baru bertemu pada pukul 00. Pada pukul itu, waktu terakhir tahun lama berhenti dan waktu awal tahun baru mulai. Oleh karenanya, pukul 00 merupakan momen istimewa, yakni momen pertemuan dua selamat yang selalu diucapkan dan dirayakan dengan penuh semangat: “selamat jalan” dan “selamat datang.” Keistimewaan pukul 00 ditandai dengan berbagai ekspresi yang ditunjukkan oleh manusia: meluncurkan kembang api ke langit, meniup trompet, mengucapkan selamat kepada sesama manusia, berdoa, pesta makan dan minum, dan sebagainya.

Apakah merayakan peralihan tahun dari tahun lama ke tahun baru semata-mata sebagai sebuah tradisi yang dirayakan kembali pada setiap akhir dan awal tahun? Apakah hanya sekedar momen untuk bergembira bersama karena sudah melewati sebuah masa usia hidup dan ungkapan kesiap-sediaan untuk memasuki masa usia baru (pertambahan usia)? Ataukah merayakan peralihan tahun merupakan bentuk konkrit dari dimensi kemewaktuan manusia?

♣♣♣

Tahun lama dan tahun baru merupakan penanda tentang waktu. Pertanyaan selanjutnya adalah apa itu waktu? Manakala pertanyaan diajukan, banyak orang segera menjawabnya dengan merujuk pada benda-benda atau alat-alat untuk mengukur waktu seperti jam tangan, stopwatch, jam dinding, kalender, tanggal, hari, dan tahun. Dengan alat-alat itu, manusia berusaha “menjinakkan” atau “menaklukkan” waktu (F. Budi Hardiman, 2003, 98). Meski demikian, alih-alih menjinakkan atau menaklukkan waktu dengan alat-alat atau benda-benda yang diciptakannya, manusia justru tetap “terperangkap” dalam waktu. Misalnya, ketika jalan raya dipadati oleh kendaraan dan menimbulkan kemacetan, orang sering takut terlambat tiba di kantor. “Takut terlambat” merupakan wujud konkrit dari waktu yang tak dapat dijinakkan atau ditaklukkan oleh manusia. Hal itu juga menunjukkan bahwa waktu merupakan hal yang berada di luar manusia dan menguasai manusia. Waktu menjadi sesuatu yang asing bagi manusia.

Lalu, dalam arti apa pukul 00 – yang adalah momen akhir dan momen awal tahun – dapat menjadi ungkapan tentang kemewaktuan diri manusia? Dapatkan momen akhir dan awal tahun menjadi momen manusia menemukan dirinya sebagai makhluk yang mewaktu. Mungkinkah ucapan “selamat jalan tahun baru dan selamat datang tahun baru” menjadi ucapan yang mewahyukan atau menyingkapkan status ontologis manusia, yakni mewaktu sebagai modus atau cara berada manusia?

♣♣♣

F. Budi Hardiman dalam pembacaannya terhadap proyek filosofis Martin Heidegger Sein und Zeit, menerangkan bahwa waktu merupakan hal yang fundamental dalam pemahaman akan Ada. “Waktu merupakan horizon pemahaman akan Ada. Segala pergumulan dengan “Ada” (Sein) sebenarnya sudah mengandung ‘waktu’ (Zeit) di dalamnya. Berangkatlah dari skema umum keterlemparan, keseharian, dan kematian, maka struktur waktu sudah terbayang di dalamnya, sekurang-kurangnya dalam bentuk kasar (vulgar), yaitu lalu, kini, dan nanti” (F. Budi Hardiman/FBH, 2003, 95). Apabila struktur waktu merupakan hal fundamental dalam diri manusia, maka seluruh situasi hidup manusia – sedih, duka, gembira, kecemasan, dan harapan – yang dialami manusia dalam hidupnya, merupakan ungkapan dari kemewaktuan diri manusia. Hal itu juga berarti semua situasi hidup yang dialami manusia pada tahun lama dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dialami oleh manusia pada tahun yang baru, merupakan modus dari kemewaktuan manusia.

Dalam bingkai refleksi fenomenologi eksistensial, Heidegger – seperti yang dibaca oleh F. Budi Hardiman – mengajak kita untuk merefleksikan kemewaktuan manusia. Refleksi tentang kemewaktuan manusia mesti didahului dengan pembedaan terhadap dua macam waktu, yakni Innerzeitgkeit dan Zeitlichkeit. Innerzeitgkeit dapat diartikan sebagai “ke-ada-di-dalam-waktu-an.” Dalam skema Innerzeitgkeit ini, waktu dihayati oleh manusia “sebagai sekuensi titik-titik waktu yang muncul satu setelah yang lain. Titik yang lewat kita sebut masa lalu; titik tempat kita berada kita sebut masa kini; dan titik yang belum datang kita sebut masa depan” (FBH,2003, 103). Tetapi Heidegger mengingatkan bahwa keberadaan manusia tidak dapat diskemakan hanya dalam Innerzeitgkeit karena manusia tidak hanya sekedar “berada di dalam waktu” melainkan “menjadi bersama waktu atau mewaktu.” Innerzeitgkeit tepat untuk hal-hal yang bukan manusia, seperti benda-benda dan binatang.Benda-benda, binatang, dan alat-alat yang diciptakan oleh manusia berada dalam sekuensi titik-titik waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Keberadaan sebuah benda yang ada pada masa kini, merupakan kelanjutan saja dari keberadaannya pada masa lalu. Keberadaannya pada masa depan juga merupakan kelanjuan dari masa kini. Ada-nya benda itu dalam sekuen titik-titik waktu itu dan tidak terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, tidak mengandung kemenjadian. Benda itu hanya berada dalam sekuan titik-titik waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Benda itu tidak menjadi atau tidak mungkin dalam titik-titik sekuen waktu tersebut. Oleh karena itu Innerzeitgkeit tidak tepat untuk manusia (Dasein) karena dalam Innerzeitgkeit tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan bagi kemenjadian manusia (Dasein).

Waktu yang cocok untuk Dasein, menurut Heidegger adalah Zeitlichkeit. Zeitlichkeit artinya ‘sementara’ dan ‘menyangkut waktu’ atau ‘temporal’. Zeitlichkeit berarti kemewaktuan (FBH, 2003, 103, 104). Dalam Zeitlichkeit manusia (Dasein) tidak sekedar ada di dalam waktu, tidak sekedar dalam cakupan Innerzeitgkeit, melainkan aktif atau mewaktu (Zeitlichkeit). Manusia memang hidup dalam horizon sekuensi titik-titik waktu. Artinya hidup manusia tidak bisa lepas secara total dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tetapi manusia tidak sekedar menunggu begitu saja pergantian waktu dari masa lalu ke masa kini, dan masa kini ke masa depan, melainkan manusia adalah Zeitlichkeit, manusia adalah mewaktu. Manusia berada bersama pergantian waktu sekaligus memberi makna pada ada bersama pergantian waktu. Zeitlichkeit atau kemewaktuan manusia menyingkapkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada manusia bersama dengan waktu. Zeitlichkeit merupakan waktu eksistensial manusia, yang bersamanya manusia mengalami kemenjadiannya.

Pukul 00 sebagai momen akhir dan awal tahun bukan saja menjadi momen yang ditunggu manusia. Melainkan lebih dari itu, pukul 00 adalah kemewaktuan atau kemenjadian manusia. Peralihan tahun lama ke tahun baru merupakan kemenjadian atau kemewaktuan manusia. Bersama peralihan tahun, manusia membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan baru yang akan terjadi bersama waktu. Bersama tahun lama manusia menjadi dan bersama tahun baru manusia pun terus menjadi. Bersama tahun lama manusia aktif dan bersama tahun baru manusia pun terus aktif. Itu artinya, selamat tinggal tahun lama dan selamat datang tahun baru merupakan pewahyuan atau penyingkapan tentang kemewaktuan diri manusia. Selamat jalan tahun lama, selamat datang tahun baru, selamat melanjutkan kemewaktuan dan kemenjadian diri. Dalam bingkai inilah tepatlah pepatah Latin “Vita pulcra est – Hidup itu indah.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun