Mendedah Problem Antropologis dalam Paradigma Developementalisme
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
DINAMIKA ekonomi-politik-kebudayaan Indonesia lima tahun ke depan bertumpu pada gagasan revolusi mental yang disodorkan oleh Joko Widodo (selanjutnya ditulis Jokowi). Ide dasar revolusi mental bukanlah ide baru. Dalam tulisannya berjudul “Revolusi Mental” (dalam Kompas, 9 Mei 2014 dan dalam Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somerpes, Masa Depan Revolusi Kita: Pemikiran dan Agenda Aksi, 2014, 20), Jokowi mengatakan bahwa revolusi mental berpijak pada gagasan Soekarno tentang trisakti: Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian sosial-budaya.
Jika bukan hal yang baru, mengapa revolusi mental menjadi semacam gairah dan energi baru bagi Indonesia untuk bangun dari keterpurukan selama 16 tahun masa reformasi? Mengapa revolusi mental menjadi semacam “ideologi” baru yang membetot perhatian rakyat Indonesia, baik bagi orang yang mengkritik maupun orang yang mendukung? Jawabannya sederhana saja: Revolusi mental adalah revolusi paradigmatik yang sasarannya adalah perubahan cara berpikir dan cara bertindak. Sebagai sebuah paradigma, revolusi mental merupakan sebuah pembongkaran terhadap asumsi ontologis (status berada dan cara berada), epistemologis, etika, dan metodologis dari praktik-praktik dalam bidang ekonomi-politik-kebudayaan yang berlangsung selama ini (bdk. Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Meteteori Pemikiran, 2002, 11). Sebagai revolusi paradigmatik, revolusi mental merpakan upaya membongkar paradigma lama dan mengenakan-mempraktikkan paradigma baru dalam praktik politik-ekonomi-kebudayaan. Revolusi mental paradigmatik Jokowi merupakan interupsi terhadap pendekatan subjek-objek dan transaksional yang terkandung dalam paradigma pembangunan (developmentalisme), yang selama ini menjadi dasar untuk praktik ekonomi-politik-politik Indonesia sejak Orde Baru sampai sampai sekarang. Tulisan pertama ini akan dimulai dengan mendedah paradigma developmentalisme, dengan fokus utama pada problem antropologisnya.
Paradigma Pembagunan (Developmentalisme)
Selama 30 tahun lebih dinamika ekonomi-politik-kebudayaan Indonesia berlangsung dalam rezim Orde Baru yang menganut paradigma pembangunan (develompentalisme). Tindakan konkrit sebagai perwujudan paradigma itu adalah Repelita I-V (Bdk., R.E. Elson, Soeharto – Sebuah Biografi Politik, 2005,322-329). Bahkan Soeharto pun dinobatkan oleh aparatus Orde Baru sebagai Bapak Pembangunan.
Berpijak pada paradigma pembangunan (developmentalisme) dan dengan idiom “pembangunan untuk memanusiawikan manusia”, Orde Baru dengan seluruh aparatus kekuasaannya mengendalikan secara sepihak segala potensi dan aktus ekonomi-politik-kebudayaan Indonesia. Melalui segala daya upaya, Orde Baru melangsungkan pembangunan ekonomi-politik-kebudayaan yang berwatak eksploitatif, dominatif, dan diskriminatif. Rakyak – yang dalam demokrasi adalah pemilik sesungguhnya kekuasaan ekonomi-politik-kebudayaan – hanyalah objek dari segala kebijakan dan praksis pembangunan rezim Orde Baru.
Rakyat adalah objek dari paradigma developmentalisme. Keberadaan rakyat (manusia) dalam paradigma ini adalah kumpulan sosok yang menderita karena mengidap “penyakit” under-developmentalism. Rakyat adalah kumpulan orang yang digolongkan sebagai yang terbelakang, yang primitif, yang miskin, yang tertinggal, dan yang tidak modern.“Obat” mujarab untuk menyembuhkan “penyakit” tersebut adalah developmentalism (pembangunan). Tukang obatnya adalah para cukong (kapitalis) dan rezim politik yang mengamankannya dengan berbagai kebijakan ekonomi-politik-kebudayaan. Di bawah paradigma itulah seluruh gagasan tentang kemiskinan dan pembangunan dikonstruksikan dan dipraktikkan secara sistematis oleh rezim yang berkuasa. Maka sering kali kita dengan istilah-istilah dalam politik pembangunan, antara lain subsitusi barang impor, perluasan pasar dalam negeri, dan industrialisasi penuh. Istilah-istilah itu dikampanyekan dan dipraktikkan oleh rezim penguasa (Gustavo Gutiérres dan Richard Shaull, Liberation and Change, 1983, 44-45 dan Gustavo Gutiérres, A Theology of Liberation, 1977, 76).
Segera saja menjadi hal yang terang-benderang bagi kita, rakyat (manusia) yang berada di bawah rezim penganut paradigma developmentalsime adalah kumpulan orang yang harus dibentuk dan dibangun sesuai kehendak pada penganut paradigma tersebut. Meminjam istilah psikologi, rakyat adalah “kertas kosong” – yang disiap ditulis oleh dan sesuai kehendak juru tulisnya. Rakyat hanyalah “bidak catur” yang dikendalikan sepenuhnya oleh pemain catur (penguasa politik dan para cukong penganut paradigma developmentalisme). Itulah konstruksi antropologis di balik paradigma developmentalisme.
Terdapat dua problem antropologis yang sangat serius di balik konstruksi antropologis yang dibangun oleh para penganut paradigma developmentalisme. Dia problem berikut ini merupakan konsekuensi logis dari pendekatan “rakyat sebagai objek pembangunan.” Pertama, rakyat bukan eksistensi dinamis yang berkehendak bebas. Rakyat adalah eksistensi statis. Rakyat ibarat batang-batang kayu di yang kapan saja dan di mana saja diubah menurut kemauan dan kehendak tukang kayu. Tukang kayu itu adalah para penganut paradigma developmentalisme yang berkuasa mengubah batang-batang kayu (rakyat). Kedua, tindakan dan perlakuan terhadap rakyat sebagai eksistensi statis merupakan sebuah modus destruksi yang paling radikal terhadap kemanusiaan rakyat. Implikasi lebih jauh dari destruksi ini adalah bahwa setiap usaha rakyat untuk menunjukkan kodrat dirinya sebagai eksistensi dinamis dan berkehendak bebas, akan ditanggapi oleh rezim developmentalisme melalui cara manipulasi psikologis berupa teror dan intimidasi, serta pembunuhan fisik.
Oleh karena itu, alih-alih memanusiawikan rakyat melalui pembangunan, yang terjadi justru sebaliknya: rakyat dimiskinkan secara struktural sekaligus kultural dan eksistensi dinamis dan berkehendak bebas direduksi menjadi eksistensi statis (bdk., Gustavo Gutiérres, The Power of the Poor in History, 1983, 44-45). Padahal, rakyat sebagai eksistensi hidup dan berkehendak bebas memiliki gugusan kekayaan berupa tata nilai dan praktik hidup berdasarkan tata nilai yang mereka anut. Seluruh praktik hidup dalam bidang politik-ekonomi-kebudayaan berlangsung di atas tata nilai yang mereka anut. Tetapi gugusan kekayaan itu dicaplok oleh para penganut paradigma developmentalisme. Rakyat dimiskinkan secara kultural dan struktural melalui proyek-proyek pembangunan.
Mimesis Paradigma Pembangunan
Rezim Orde Baru ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat non-militer pada tahun 1998. Kran-kran demokrasi yang selama Orde Baru ditutup rapat secara intimidatif, semuanya terbuka pascakeruntuhan rezim ini. Meski demikian Indonesia belum masuk dalam demokrasi yang sesungguhnya. Kran-kran demokrasi seperti kebebasan pers, pemilu langsung, kebebasan berorganisasi, dsb., terbuka tetapi kran-kran itu tidak mengalirkan air demokrasi yang sesungguhnya. Praktik demokrasi – dalam bidang ekonomi-politik-kebudayaan – yang berlangsung hanyalah praktik peniruan (mimesis) atas paradigma pembangunan yang ditanamkan oleh Orde Baru selama 30 tahun lebih kepada rakyat Indonesia, khususnya para politisi dan penentu kebijakan-kebijakan publik.
Dimanika ekonomi-politik-kebudayaan Indonesia berlangsung dalam bingkai untung-rugi ekonomi. Semangat dan tindakan ekonomi-politik-kebudayaan berlangsung dengan mengandalkan kekuasaan uang. Aktor-aktor ekonomi-politik-kebudayaan menghambakan dirinya pada uang. Praktik ekonomi yang semata-mata berorientasi pada pemburuan rente dan penumpukkan laba. Praktik politik pun demikian. Praktik kebudayaan setali tiga uang dengan praktik ekonomi dan politik. Uang adalah dasar yang menggerakkan dan tujuan dari praktik-praktik itu. Tidak saja pada tataran praktik-praktik riil ekonomi-politik-kebudayaan, uang menjadi dasar praktik-praktik itu, melainkan juga sudah menjadi sebuah skema mental manusia. Uang menjadi skema mental untuk memahami, mengartikan, dan menggerakkan berbagai interaksi sosial dewasa ini. Uang menjadi nilai (value) dominan dalam pandangan dunia (worldview) ekonomi-politik-kebudayaan (B. Herry-Priyono, “Tata Bahasa Uang” dalam Tony D. Widiastono (ed.), Pendidikan Manusia Indonesia, 2004, 173).
Sorotan terhadap uang sebagi pandangan dunia dan dasar praktik ekonomi-politik-kebudayaan, bukan berarti pada dirinya uang itu buruk dan oleh karenanya peran fungsional pun buruk. Bukan demikian yang dimaksud dengan sorotan ini. Uang pada dirinya dan peran funsionalnya bukan hal yang buruk. Bukan pula sebagai bentuk dari sikap naif dan munafik: tidak butuh uang. Sekali lagi bukan itu maksudnya. Maksud yang sesungguhnya dari sorotan ini adalah bahwa seluruh praktik ekonomi-politik-kebudayaan semata-mata diukur dan dinilai dengan kategori untung-rugi atau berdasarkan uang. Uang bukan lagi sarana mencapai nilai kesejahteraan tetapi tetapi tujuan. Pada titik inilah, kita berhadapan dengan sebuah reduksi sistematik terhadap manusia sebagai makhluk multidimensi. Artinya, reduksi semacam itu merupakan problem antropologis. Manusia dikerdilkan menjadi semata-mata sosok yang melulu memburu rente (uang). Manusia adalah makhluk satu dimensi yakni makhluk yang haus akan uang dan kehauasannya tidak pernah terpenuhi secara final. Seluruh operasi hidupnya berlangsung di bawah perintah “haus akan uang” yang adalah dimensi tunggal diri manusia yang bersifat mekanistik (Valentinus Saeng, CP, Herbert Marcuse: Perang Melawan Kapitalisme Global, 2012, 265).
Uang sebagai pandangan dunia dan dasar praktik ekonomi-politik-kebudayaan, merupakan hasil dari peniruan (mimesis) atas paradigma pembangunan. Konsekuensi lebih jauh dari mimesis ini adalah terjadi atomisasi kedirian manusia menjadi monad-monad (individu-individu ekstrim). Sehingga setiap orang saling memandang dan memperlakukan orang lain sejauh orang lain itu mendatangkan keuntungan baginya. Yang sosial (the social) diakui dalam diri manusia sejauh itu bisa mendatangkan keuntungan.
Mari kita amati kenyataan yang adalah bentuk konkrit dari konsekuensi mimesis paradigma pembangunan tersebut. Bila kita sejenak memandang secara jernih beberapa iklan televisi bantuan sosial yang digalang oleh sebuah perusahaan bisnis tertentu. “Anda membeli satu produk kami, Anda sudah menyumbang dua persen dari harga jual produk, untuk korban bencana alam,” kira-kira demikian iklan televisi. Memberi bantuan sosial bagi korban bencana alam bukan lagi menjadi bantuan sosial sesungguhnya yang tidak memperhitungkan keuntungan apapun bagi si pemberi bantuan. Iklan itu menunjukkan kepada kita deviasi (penyimpangan) makna bantuan sosial. Di balik iklan itu, sebetulnya kita dikondisikan untuk menganut paradigma “tidak ada makan siang gratis” atau “Anda membeli maka Anda membantu.” Tidak ada bantuan sosial gratis atau cuma-cuma dalam relasi sosial kita sehari-hari.
Dalam praktik politik pun demikian. Pemilihan umum (pemilu) – baik pemilu legislatif maupun pilpres – bukan lagi menjadi salah satu momen bagi rakyat (manusia) menunjukkan dimensi kewargaan sosial (dimensi publik diri manusia), melainkan momen membarter kepublikan diri manusia dengan dengan uang. Para politisi sibuk mengumpulkan uang dengan berbagai cara dan menukarkannya dengan hak suara rakyat pada saat pemilu. Berapa banyak “gizi” politik yang dibawa seorang calon legislatif saat kampanye, akan sangat berpengaruh terhadap peluang calon legislatif tersebut menduduki kursi kekuasaan di parlemen.
Problem antropologis di balik mimesis paradigma developmentalisme ini tidak berbeda secara signifikan dengan problem antropologis di balik paradigma developmentalisme yang sudah saya uraikan di atas. Perbedaannya antara keduanya hanya terletak pada modus operandinya. Tetapi pendasaran dari modus itu sama yakni rakyat adalah eksistensi statis, yang keberadaanya hanya bisa ada dan diakui berdasarkan kepentingan dan kehendak para penganut developmentalisme. Dengan kata lain, relasi antarmanusia dalam paradigma developmentalisme adalah relasi subjek-objek yang paling radikal. Hanya rezim penguasalah eksistensi dinamis, sedangkan rakyat bereksistensi statis.
Paradigma developmentalisme dengan seluruh problem antropologis di dalamnya mesti diterobos melalui revolusi mental. Basis revolusi mental adalah paradigma fenomenologis. Revolusi mental berparadigma fenomenologis akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan kedua berjudul “Revolusi Mental: Praktik Ekonomi-politik-kebudayaan Berbasis Paradigma Fenomenologis.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H