Praktik Ekonomi-politik-kebudayaan Berbasis Paradigma Antropo-fenomenologis
Catatan Kebangkitan Kita
Untuk maju, kita harus bangkit
Bangkit dari diam untuk bergerak
Bangkit agar kita berdaya
Bangkit karena kita percaya
Cukup sudah kita menunggu
Sekarang saatnya bangkit dalam satu ikatan
Menuju satu tujuan sebagai bangsa pemenang
Indonesia, 20 Mei 2014 – Joko Widodo
DALAM bagian pertama dari tulisan berjudul “Revolusi Mental: Revolusi Paradigmatik” ini, penulis sudah mendedah problem antropologis dalam paradigma pembangunan (developmentalisme). Masalah krusial yang penulis kedepankan dalam tulisan pertama adalah manusia sebagai objek pembangunan. Manusia – khususnya yang menjadi sasaran pembangunan – adalah eksistensi statis dan sebab itu mereka yang diperlakukan sebagai objek pembangunan oleh para penganut paradigma developmentalisme.
Relasi manusia dalam paradigma pembangunan adalah subjek-objek. Yang bertindak sebagai subjek adalah para penganut paradigma developmentalisme. Yang menjadi objek adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai orang miskin menurut subjek tersebut. Subjek berwenang mendefinisikan dan mengategorikan objek sesuai ukuran-ukuran yang dikonstruksikan subjek. Sedangkan objek dikondisikan sedemikian rupa agar menerima saja definisi dan kategori-kategori dari subjek. Dengan demikian, relasi subjek dan objek adalah relasi subordinatif.
Dalam tulisan kedua ini, penulis akan mengusulkan paradigma antropologi fenomenologis sebagai basis praktik ekonomi-politik-kebudayaan. Usulan paradigma ini penulis tempatkan sebagai bagian dari upaya merevolusi mentalitas kita sebagai warga negara-bangsa Indonesia.
Kita: Wujud Konkrit Paradigma Antropo-fenomenologis
Pada peringatan hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2014, Joko Widodo memaklumatkan “Catatan Kebangkitan Kita” yang diwartakan melalui iklan di Harian Kompas, 21 Mei 2014.Dalam harian yang sama, edisi 2 Juni 2014, Jokowi-JK juga mengiklankan pesan, yang dari sisi substansinya, tidak berbeda dengan maklumat tersebut.Melihat dengan mata kita/Mendengar dengan telinga kita/berbicara dengan suara kita. Selain itu, tag line politik Jokowi-JK adalah kita yang dikumandangkan oleh Jokowi-JK dan para pendukungnya selama kampanye pemilu presiden yang lalu, juga senada dengan maklumat dan pesan tersebut.
Dari “Catatan Kebangkitan Kita”, pesan politik melalui iklan, dan tag line politik di atas tampak jelas bahwa Jokowi-JK menempatkan manusia sebagai dasar dan tujuan dari praktik politik-ekonomi-kebudayaan. Dengan menggunakan kata “kita”, Jokowi-JK bermaksud mengatasi paradigma subjek-objek, melampaui “aku-engkau/kamu” atau “kami-mereka”, yang selama ini menjadi dasar dalam setiap praktik politik-ekonomi-kebudayaan baik oleh pemerintah maupun warga negara lainnya. Penekanan pada “kita” juga ditempatkan oleh Jokowi dalam konteks demokrasi. Demokrasi bagi Jokowi adalah usaha mendengarkan rakyat dan melaksanakannya (bdk., Cypri Jehan Paju Dale, “Demokrasi Revolusioner” dalam Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somerpes (ed.), Masa Depan Revolusi Kita: Pemikiran dan Agenda Aksi, 2014, 29). Mendengarkan rakyat dan melaksanakan harapan rakyat, dapat terwujud hanya jika orang (pemimpin) yang mendengarkan dan melaksanakannya tidak berjarak dengan rakyat. Pemimpin mampu mendengarkan dan melaksanakan mandat dan amanat rakyat hanya jika tidak ada jurang tajam dalam yang memisahkan rakyat dan pemimpin. Demokrasi akan terwujud hanya jika pemimpin menempatkan dirinya dan rakyat, sama-sama sebagai subjek dalam setiap praktik ekonomi-politik-kebudayaan. Relasi antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin adalah relasi subjek-subjek bukan relasi subjek-objek yang bersifat subordinatif.
Relasi subjek-subjek – atau “kita” dalam bahasa Jokowi-JK – berakar pada atau bersumber dari paradigma antropo-fenomenologis. Edmund Husserl, melalui filsafat fenomenologinya, mengedepankan salah satu pokok penting dari filsafatnya itu, terkait dengan cara kesadaran manusia merespon sesuatu di hadapannya, yakni epoché. Kesadaran manusia bersifat intensional, terarah pada sesuatu, terbuka pada sesuatu. Kesadaran manusia selalu bekerja dalam skema kesadaran tentang sesuatu. Dengan sifat intensional tersebut, kesadaran manusia melakukan epoché, yakni menunda atau menangguhkan segala pra-anggapan, pra-dugaan, dan pra-sangkaan tentang sesuatu yang ada di hadapannya. Dengan epoché, kesadaran manusia (kita) membiarkan sesuatu hadir dengan keseluruhan realitas (horizon) yang melatari dan mendasarinya (bdk., Ito Prajna-Nugroho, Fenomenologi Politik: Membongkar Politik Menyelami Manusia, 2013, 73-74). Di hadapan sesuatu, manusia (kesadaran) tidak segera/langsung mendefinsikan, mengategorisasikan sesuatu itu berdasarkan konsep-konsep dan ukuran-ukuran yang sudah ada dalam pikiran. Sebaliknya, di hadapan sesuatu, kesadaran memahaminya sejauh sesuatu itu menampakkan keberadaannya dengan seluruh realitas (horizon) yang melatari dan mendasarinya. Kesadaran memahami sesuatu sejauh sesuatu itu memberi dirinya kepada kesadaran kita.
Paradigma antropo-fenomenologis mempunyai konsekuensi etis yang luas terhadap praktik politik-ekonomi-kebudayaan kita sebagai warga negara. Konsekuensi etis dari paradigma tersebut menyangkut relasi antarwarga negara, yakni relasi korelatif. Tentunya, yang dimaksudkan dengan warga negara adalah semua orang yang secara secara hukum dijamin hak dan kewajibannya di Indonesia. Ini berarti baik pemerintah, politikus, maupun warga negara biasa, sama-sama menerima konsekuensi etis dari paradigma antropo-fenomenologis itu.
Dalam bingkai tata politik pemerintahan, relasi yang terjalin antara pemerintah dan rakyat (petani, pedagang, politikus, guru, dosen, pelajar, mahasiswa, dsb.) adalah relasi korelatif. Hubungan antara pemerintah dan rakyat adalah hubungan timbal-balik. Dalam bingkai relasi yang demikian, eksistensi pemerintah dapat kita pahami hanya jika apabila ia berada dalam korelasi dengan rakyat. Kita memahami eksistensi rakyat hanya jika rakyat berada dalam korelasi dengan pemerintah. Dengan kata lain, rakyat adalah korelat dari pemerintah dan pemerintah adalah korelat dari rakyat.
Dalam bingkai relasi korelatif yang demikian, seluruh gugusan praktik ekonomi-politik-kebudayaan berlangsung dalam suatu co-existence (berada bersama). Seluruh gugusan praktik ekonomi-politik-kebudayaan merupakan cara berada bersama. Praktik ekonomi-politik-kebudayaan merupakan momen penyingkapan keberadaan pemerintah dan rakyat. Dengan demikian, setiap warga negara (pemerintah dan rakyat) mempunyai ruang dan kesempatan yang sama untuk terlibat dalam kehidupan bersama: bertanggung jawab atas mati-hidupnya negara, bertanggung jawab atas sejahtera atau tidaknya warga negara, berempati terhadap orang-orang lain yang mempunyai status yang sama sebagai warga negara, bertanggung jawab terhadap baik-buruknya relasi dengan negara-negara lain. Dalam praktik ekonomi-politik-kebudayaan yang demikianlah, setiap warga negara menemukan dan menghayati “kekitaan” yang sangat ditonjolkan oleh Jokowi-JK.
Tentu kita mesti mengajukan pertanyaan kritis lain terhadap paradigma kekitaan tersebut. Apakah individu dan kelompok hilang atau hanyut dalam kebersamaan? Apakah di dalam kekitaan tidak ada keakuan, tidak ada keengkauan, dan tidak ada kekamian/kemerekaan? Jawabannya: keakuan, kengkauan, kekamian, dan kemerekaan tidak hilang. Aku, engkau, kami, mereka tetap ada (eksis) dan tidak hilang. Seperti yang telah dijelaskan di atas relasi korelatif antara rakyat dan pemerintah, relasi yang sama juga berlaku antara aku-engkau/kamu-mereka-kami. “Kita” yang dikedepankan Jokowi-JK merupakan sebuah “rumah besar” yang menaungi keberlangsungan relasi korelatif antara aku-engkau/kamu-mereka-kami. “Aku” dapat kita pahami karena berkorelasi dengan “engkau/kamu”. “Mereka” dapat kita mengerti karena berkorelasi dengan “kami”. Dengan demikian “kita” tidak mengeliminasi “aku-engkau/kamu-kami-mereka”. Sebaliknya “kita” justru menegaskan dan mengakui “aku-engkau/kamu-kami-mereka.”
Indonesia adalah Kita
Indonesia adalah kita. Di dalam Indonesia terjalin relasi korelatif antara suku yang satu dengan suku yang lain, antara agama yang satu dengan agama yang lain. Suku Batak dapat kita mengerti keberadaanya karena ia berkorelasi dengan suku Padang, suku Daya, suku Jawa, suku Flores, dsb.. Demikian juga suku-suku yang lain, kita dapat memahami keberadaannya karena suku-suku itu berkorelasi dengan suku-suku yang lain. Relasi antarsuku adalah relasi korelatif. Relasi antaragama pun demikian. Kita dapat memahami keberadaan Hindu karena ia berkorelasi dengan Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Konghucu, Aliran Kepercayaan, dsb.. Demikian pula sebaliknya dengan agama-agama lain. Dengan kata lain, kita bisa memahami ada suku Batak karena ada suku yang bukan Batak. Kita bisa mengerti ada agama Islam karena ada agama yang bukan Islam. Oleh karena itu, setiap upaya oleh siapapun untuk menyingkirkan agama tertentu atau suku tertentu dari Indonesia – karena agama atau suku itu berbeda – harus kita tolak. Penyingkiran itu bertentangan dengan fakta mengenai pluralitas: budaya, agama, ideologi politik, dsb., dan bertolak belakang dengan rasionalitas yang mampu memahami berbagai fakta tersebut. Bila Indonesia adalah kita, maka Indonesia dan kita adalah pengakuan dan penegasan tentang pluralitas itu.
Dalam bingkai kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah, manakala pemerintah dan rakyat saling berhadapan, baik pemerintah maupun rakyat sama-sama mempraktikkan metode epoché, yakni sama-sama menunda menggunakan seluruh pra-anggapan dan pra-dugaan dalam pra-penilaan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk merespon kebijakan publik. Dalam kerangka epochéinilah, baik pemerintah maupun rakyat memahami secara jernih kebijakan pemerintah dalam bidang politik-ekonomi-kebudayaan. Pemahaman secara jernih di sini bukan berarti menerima begitu saja kebijakan-kebijakan pemerintah. Bukan pula berarti tidak ada sikap kritis. Menerima kebijakan pemerintah sejauh rakyat dan pemerintah sama-sama memahami kebijakan itu dengan seluruh horizon yang melatari kebijakan itu. Hal itu berarti sikap kritis sebagai syarat bagi rakyat untuk mampu menerima kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah. Demikian pula bagi pemerintah, manakala menetapkan kebijakan publik tertentu, hal itu dilakukan berdasarkan pemahamannya atas keberadaan rakyat dengan seluruh horizon yang melatarinya. Hal ini berarti pemerintah harus membuka diri pada rakyat. Dalam keterbukaan itu, pemerintah memahami keberadaan rakyat dengan seluruh cara pandang yang melatarinya, sejauh yang ditampakkan oleh rakyat kepada pemerintah. Atas dasar keterbukaan pemerintah dan penampakkan diri oleh rakyat itulah, pemerintah menetapkan kebijakan publik. Dengan demikian Indonesia adalah relasi korelatif antarwarga negara dalam konteks praktik ekonomi-politik-kebudayaan. Hal itu juga berarti “Indonesia adalah kita” bukan sekedar slogan kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H