McKinsey Global Institute (September 2012) pernah menyatakan bahwa sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke-16 di dunia, Indonesia berpotensi menempati peringkat ekonomi terbesar ketujuh pada 2030. Perekonomian Indonesia jauh lebih stabil. Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam pengelolaan makroekonomi.
Inflasi turun dari dua digit menjadi satu digit, dan utang pemerintah sebagai bagian dari PDB lebih rendah jika dibandingkan dengan utang sebagian besar negara ekonomi maju. Indonesia juga memiliki mayoritas penduduk berusia muda dan sedang dalam proses urbanisasi, yang akan mendorong pertumbuhan penghasilan. Sampai dengan tahun 2030, Indonesia akan menjadi tempat tinggal bagi sekitar 90 juta konsumen tambahan dengan daya beli yang cukup besar.
Namun, perekonomian Indonesia dihadapkan pada tiga tantangan utama hingga tahun 2030. Pertama, Indonesia menghadapi tuntutan produktivitas. Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan produktivitasnya sebesar 60 persen dari angka yang dicapai antara 2000-2010 agar perekonomian dapat mencapai target pertumbuhan PDB tahunan pemerintah sebesar 7 persen.
Kedua, distribusi pertumbuhan tidak merata di wilayah Indonesia dan peningkatan kesenjangan menjadi isu penting. Indonesia perlu memikirkan cara untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi sedapat mungkin mencakup semua golongan masyarakat. Dan ketiga, bagaimana agar Indonesia tidak mengalami kendala infrastruktur dan sumber daya saat kelas konsumennya mendorong pertumbuhan dan permintaan akan sumber daya yang akan menciptakan potensi pasar baru yang menguntungkan.
Ketiga tantangan tersebut sampai saat ini belum banyak perubahan, kecuali sektor infrastruktur. Pertumbuhan PDB masih di bawah 7 persen, distribusi pertumbuhan belum merata, dan produktivitas tenaga kerja juga tidak mengalami kenaikan lebih dari 60 persen.
Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per tenaga kerja dalam periode waktu tertentu. Faktor tenaga kerja sangat menentukkan pertumbuhan produktifitas dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi. Data BPS menunjukkan bahwa selama tahun 201-2015 produktifitas tenaga kerja menunjukkan pertumbuhan meskipun pertumbuhannya fluktuatif dan cenderung turun.
Kondisi Indonesia di tengah situasi revolusi industri keempat dan persaingan global belum pada posisi yang menggembirakan. Berdasarkan pada The Global Competitiveness Index (GCI) -- ranking situasi kompetitif ekonomi satu negara dengan negara lain---pada tahun 2016-2017 Indonesia menduduki posisi ke 41 dari 138 negara. Posisi ini turun 4 dari posisi sebelumnya (2015-2016) yang ada di ranking 37 karena disusul oleh beberapa negara.
Salah satu indikator yang mempengaruhi adalah terkait efisiensi dimana Indonesia menduduki posisi ke 49 atau skor 4.38, jauh dibawah Thailand untuk indeks efisiensi menduduki 37 (4.56) atau Malaysia posisi ke 24 (4.96) apalagi dengan Singapura posisi ke 2 (5.73).
Indonesia juga menempati urutan ke-10 untuk ukuran pasar, 30 di pilar lingkungan ekonomi makro dan 31 untuk inovasi. Indonesia juga berkinerja baik dalam hal pengembangan keuangan (urut 42, naik tujuh). Namun Indonesia berada di peringkat 100 yang rendah dalam pilar kesehatan dan pendidikan dasar (turun 20), urutan ke-108 di pilar efisiensi pasar tenaga kerja (naik tujuh), dan tingkat partisipasi angkatan kerja rendah perempuan (ke-115).
Indonesia juga menempati peringkat 91 yang rendah dalam pilar kesiapan teknologi (turun enam) karena penetrasi teknologi informasi yang tetap rendah - hanya seperlima dari populasi yang menggunakan Internet dan hanya ada satu koneksi broadband untuk setiap 100 orang.
Berbagai penilaian yang turut mempengaruhi adalah terkait kondisi dasar terkait pendidikan dan ketrampilan, ketrampilan dan kondisi angkatan kerja saat ini serta ketrampilan dan kondisi angkatan kerja di masa depan. Secara keseluruhan dinamikanya stagnan atau tidak berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan tidak mengalami perkembangan dari tahun-tahun sebelumnya.