Mohon tunggu...
Waidjie S.
Waidjie S. Mohon Tunggu... -

Mengarang cerita fiksi di setitiktintawaidjie.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Doremi

3 Oktober 2014   17:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1. Kolektor Unyu

Di atas pintu bertengger papan nama.

Kelas X IPS 3.

Bukan anak-anak SD yang boleh main barter-barteran peralatan tulis yang keren, unyu bin ajaib untuk dipamerin ke temannya. Sebut saja si Ervin, kedatangan barang superb ajaib. Ballpoint-nya itu lho kalau tulis gak kelihatan, kok bisa? Tapi…

“Jadi kalau baca gimana dong?” tanya Mia.

“Saat pakai,” bocor Ervin, sang pemilik ballpoint, “lampu di ujung nyala.”

“Wah bisa dong buat nyontek uijan.”

“Impianmu keleuss.”

Dony menyanggah, “Gak bisa juga dong. Kalau mau baca lampunya nyala. Otomatis ketahuan guru.”

“Iya, benar. Kecuali aku yang ciptain sendiri deh. Modif…” ujar Ervin.

“Huuuu…”

Di sudut kiri kelas numpuk sekelompok murid. Mereka ngebahas idola mereka. Diam-diam mereka barteran mini pin up atau poster artis lokal maupun non lokal yang mereka gak punya. Barangkali kelewatan gak terbeli majalah ibukota, majalahnya anak gaul.

Sebelah ruang kelas X IPS 3, tiba-tiba hiruk pikuk dengan suara riuh, cemoohan. Seorang cowok berkacamata bingkai hitam, tangkainya berwarna putih susu. Iya, dia memang norak dan suka keadaan itu dalam dirinya. Tak puas bergaya di antara teman-teman sekelasnya. Dia lari ke kelas X IPS 3. Beberapa pasang mata anak-anak menatap sekilas lalu balik muka ke konsentrasi semula atau alihkan pandangan serta merta ke tempat lain. Pura-pura tak melihat wajahnya dan tak hiraukan dia.

“Hai, bro!” Ony melambai-lambaikan tangan ke atas kepala. Tangan kanannya bawa sebuah gadget. celana panjang abu-abunya dipotong model pipa, mengecil ke bawah. “Nih, coba lihat meme picture-ku, gimana?”

Yang ditanya gak beri tanggapan.

“Lucu kan?”

Barulah Dony angguk pelan. Bersandar di tepi meja paling depan. “Nih, ada lagi ini,” tunjuknya.

“Lho Ony, plastiknya masih nempel,” timpal Doni.

“Iya barusan tadi malam aku beli. Keluaran baru. Ayahku isi game di sini banyak.”

Semua murid gak menyukai dirinya. Dia memang kaya. Kaya dari ortunya.

Anak-anak perempuan yang ngumpul pada bubaran ketika Ony menyampiri, “Eh…” Dan mereka berpencar kemana-mana.

“Heh!” panggilannya tak ada yang menanggapi. Dengan bersungut Ony menutupi aplikasinya di monitor smartphone. Sadar akan dirinya dicuekin. Dan daripada diam mematung di wiliyah orang. Dia beranjakkan kaki dari situ.

“Doni, kau kok mau tanggapin dia?” semprit Mia setelah wajah Ony tak ada di ruangan itu.

Susi menyela, “Biarin aja dia.”

“Cuekin aja dia. Sok-sokan dia itu. Barang baru pasti ke sini. Pamer-pamer. Bikin bete pagi-pagi!” tambah seorang teman mereka.

“Sok banget sih dia. Kita saja ada anak orang kaya. Gak segitu keluees…” Miranda berkata kepada Rara, “Iya kan, Ra. Di sebelahmu nyantai aja tuh.”

Rara  milih diam. Dia tahu orang di sebelahnya. Duduki bangku sambil ayun-ayunkan kaki bangku ke belakang. Sikut tangannya menopang meja belakangnya. “Ra!” sahutnya.

Rara berpaling muka. Rambutnya sebahu. Berponi tipis sampai di atas alis. Rambutnya hari ini gak diikat. Ujung helai rambutnya dia kibas pelan. Gak seperti orang-orang  iklan di TV. Tak mau berlebihan. Disengaja. Apalagi di depan Re. Anti.

“Aku bisa begitu. Kalau aku mau.”

“Lagakmu, Re!”

Teet, tettt…

Pelajaran pertama dimulai.

***

“Cari apa, Ra?” sidik Miranda di sebelahnya. Rara kasak kusuk di meja tempat dia belajar sebentar lagi. “Setipku hilang.”

“Nih.”

Rara terus menyelidiki macam mencari jejaknya.

“Ini kupinjami.”

“Bukan masalah itu sekarang, Mi. Aku gak butuh.”

“Lalu?”

“Setipku hilang.”

“Kau sudah ngomong tadi,” agak dikit kesel Miranda. Dia berusaha menenangkan temanya. “Oh… Mungkin ketinggalan di rumah.”

“Tadi malam aku siapin taruh di kotak pensilku kok.”

“Woi, kau kenapa sih?”

“Setipku hilang.”

Rara mendongak ke arah Re, “Kau ada pinjam setipku?”

“Gak ada.”

“Coba kau pikir-pikir. Siapa tahu kau minjam lupa kembalikan?”

“Sorry yah!”

“Setip hilang aja kok ribut.”

Rara meletakkan tangannya ke meja, melengus pada Re. “Itu barang kesukaanku. Aku baru beli kemarin di koperasi.”

“Yah udah, selamat mencari!”

“Dasar.”

“Apa mungkin jatuh di lantai, Ra?”

“Mudahan.”

“Nanti sajalah tunggu pelajaran usia.”

***

Semua murid girang tak sabar menunggu tanda akhir itu. Emma menyisir rambutnya dan mengaca di cermin sebelum keluar dari pintu. Rara tanpa benahin diri langsung selonyor keluar.

“Rara!” panggil Revi di belakang Rara. Dia membalikkan badan.

“Ada gak yang ketinggalan?”

“Apaan sih, Re?”

“Benda.”

“Udah ah.” Rara melanjut jalan ke luar gerbang. Panas mentari sudah begini terik. Revi pula mau ajak mau tebak-tebakan.

“Ra, kau gak nyesel.”

Apa coba! Dia menoleh. “Kau, Re!!!”

Re menjepit setip di jari telunjuk dan ibu jarinya.

“Balikin kagak!” ancam Rara.

“Tadi cuekin.”

“Kembalikan, Re.”

Rara mengejar Re sampai di depan gerbang sekolah. “Awas kau, Re.” Revi sudah keduluan masuk ke dalam mobil antar jemput supir keluarganya.

Rara manyun. Tatap tajam menusuk dilontar kepada Revi.

Di dalam mobil.

“Unyu, seunyu orang yang mengkoleksimu,” ujar Re.

Rara di bangku angkot terbangun dari lamunan kehilangan setipnya. Tak hanya orang terkasih yang mendapat tempat di hati tetapi di alam bawah sadar pun mereka hadir menenmani kita. Terkadang barang yang amat disukai dapat terbawa juga dalam mimpi.

Heran, ucap pada dirinya sendiri. Sebegitu berharganyakah setip itu bagi Rara. Hanya Rara memahami. Dan yang tak dia pahami mengapa mesti dia menjadi orang yang masuk ke dalam mimpi singkatnya itu.

Anak itu memang sering jadi kambing hitam oleh Rara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun