Mohon tunggu...
W.Wirawan
W.Wirawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Traveler

Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Aktif menulis di Jakarta Post, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Majalah Tapian, Jurnal Historia Vitae, Jurnal Paramita dll

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mentaliteit Mumpung

10 Oktober 2011   03:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:08 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mentaliteit mumpung atau mentalitas mumpung yang akhir-akhir ini berkembang merupakan gejala umum di dalam masyarakat. Gejela ini bukan hanya tumbuh di kalangan pejabat negera kita yang tercinta Indonesia, tetapi juga di kalangan rakyat. Mentalitas ini terus berkembang mulai dari era Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan mentaliteit atau mentalitas (Susi Moeimam dan Hein Steinhauer. 2005:628) "mumpung"? Mentalitas mumpung merupakan cara berpikir secara mumpung sama artinya dengan selagi ada kesempatan. Maka ada Jargon "Mumpung jadi Presiden Republik Indonesia","Anggota DPR.RI / DPRD", "Menteri", "Jaksa", "Gubernur", "Camat", "Lurah", "Kepala Sekolah" harus memperkaya diri. Mumpung "aku" masih menjabat kalau tidak kapan lagi." Itu mentalitas mumpung di kalangan pejabat. Berpikir mumpung akhirnya juga berkembang di masyarakat. "Mumpung ada bencana, kapan lagi dapat bantuan. Mumpung ada pemilu, kapan lagi nyoblos atau nyentang dibayar." Banyak lagi mentalitas mumpung lainnya. Ini tidak sehat!

Berdasar sejarahnya republik mentaliteit mumpung berkembang dari suatu metaliteit yang bertitik tolak pada anggapan bahwa kemerdekaan yang kita peroleh sebagai hasil revolusi bersenjata adalah tujuan terakhir dari perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga saat tercapainya kemerdekaan itu disalah tafsirkan sebagai terbukannya kesempatan dan keleluasaan untuk menuntut balas jasa serta menjamin secepat-cepatnya kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan masing-masing. Baik sebagai perseorangan, golongan, partai, suku maupun sebgai daerah, tanpa memperdulikan kepentingan umum yakni kepentingan bangsa, negara, masyarakat dan kebudayaan sebagai keseluruhan, keutuhan dan kesatuan. Tanpa pula memperdulikan halal tidaknya atau jahat tidaknya cara-cara yang digunakannya untuk mencapai maksud tersebut (Moh. Said. 1959: 36).

Mentalitas mumpung ini terus berkembang sehingga dengan berpegang aji mumpung maka nafsu untuk menguasai kekayaan yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat menjadi konsumsi pribadi atau kelompok selagi mereka berkuasa. Berkembang juga nafsu untuk memperebutkan kursi (baca jabatan), uang, kekuasaan, dan wanita. Yang terjadi di antara sesama anak bangsa, baik antara orang seorang, antar partai dan golongan. Mentaliteit mumpung menyebabkan terjadinya korupsi di segala bidang, pelacur intelektual, diskriminasi, eksploitasi dan tindak kesewenang-wenangan terhadap manusia lainnya.

Ironisnya mentalitas mumpung tidak hanya menjangkiti kaum oportunis, penjilat, petualang, dan mereka yang menyebut dirinya nasionalis setelah Indonesia merdeka, dan tokoh yang menyebut dirinya reformis setelah bergulirnya reformasi. Tetapi juga merebak di kalangan orang yang dulunya dianggap mampu memberikan teladan kepada rakyat, berkorban demi rakyat, dan kesediaan diri untuk mengabdi kepada kepentingan umum. Tragisnya mentaliteit ini menjangkiti kaum yang menganggap dirinya kaum intellectueel negeri ini. Tak sedikit dari mereka yang menjadi "pelacur intektual." Padahal mereka harapan bagi rakyat untuk dapat membawa bangsa ini menuju ke kehidupan yang lebih baik.

Sialnya, kenyataan ini mempermudah berkembangnya mentalitas mumpung. Apalagi bila dilakukan oleh pemimpin dan kaum cerdik pandai yang seharuanya menjadi teladan. Akibatnya rakyat juga mulai terjangkiti mentaliteit ini, mereka meniru saja. Di lain pihak menimbulkan rasa sinis, kecewa, dan tak jarang apatis. Karena mereka memandang tak ada lagi pemimpin yang dianggap mampu memenuhi harapan.

Akhirnya keutuhan masyarakat mulai terganggu, persatuan dan kesatuan nasional mulai retak. Karena prasangka dan egoisme pribadi, kepartaian, kedaerahan akan menghambat terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Sehingga secara umum yang menikmati kesejahteraan hanya lapisan kecil dalam masyarakat, sedangkan mereka yang tidak menikmati tetap hidup miskin. Intinya mentalitas mumpung inilah yang menimbulkan keadaan Indonesia tidak sehat. Bukan hanya itu mentaliteit mumpung akan membawa kehancuran material dan moril bagi bangsa Indonesia.

Menjelang pemilu 2014, mulai sekarang kita hendaknya sudah berangsur mengikis mentalitas mumpung, beserta segala keputusasaan dan keapatisan. Kehidupan masyarakat harus dibersihkan dari unsur yang tidak sehat. Masyarakat harus bersatu kembali.

Usaha perbaikan harus dipelori dan diteladani oleh pejabat negara, tokoh masyarakat, kaum intellectueel, dan guru. Karena sudah seharusnya mereka menjalankan fungsinya dengan memberikan teladan dan koreksi terhadap perkembangan bangsa Indonesia, agar cita-cita bersama segera tercapai yaitu masyarakat sejahtera dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Teladan ini semestinya dilakukan secara jujur dan iklas bukan untuk "pamer","pamrih" sehingga ditertawakan. Rakyat cukup dewasa untuk membedakan mana yang sungguh-sungguh dan palsu. Usaha pembinaan harus dilakukan atas dasar kesadaran nasional bahwa nation Indonesia bukan milik pribadi atau golongan. Tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Maka sepatutnya kita tidak merusak namun menjaga, memelihara dan sadar bahwa kepentingan umum harus diutamakan dari pada kepentingan pribadi, golongan dan kelompok.

Tanpa mentaliteit positif maka pemilu 2014 tak akan ada gunanya. Karena yang terpilih secara umum hanya akan menggunakan aji mumpung yang berdasar "mentalitas mumpung." Bukankah hakekatnya pemilihan umum hanya alat belaka. Oleh karena itu, sudah waktunya rakyat Indonesia secara berasama-sama memberantas penyakit "metaliteit mumpung" dan membina suatu mentalitas positif yang mendukung terciptanya Indonesia yang aman, sejahtera dan berkeadilan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun