Mohon tunggu...
W.Wirawan
W.Wirawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Traveler

Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Aktif menulis di Jakarta Post, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Majalah Tapian, Jurnal Historia Vitae, Jurnal Paramita dll

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Economist with Guns..

12 Oktober 2011   04:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:03 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AMERIKA SERIKAT DAN SIKAP OTORITER PEMERINTAHAN SUHARTO. Peran pemerintah Amerika Serikat dalam berbagai aksi-aksi politik maupun ekonomi di Indonesia sudah bukan rahasia umum lagi. Aksi-aksi yang didanai oleh Washington seolah sudah jamak terjadi. Misalnya pengucuran dana untuk Masyumi yang menggunakan strategi “complete write-off” atau tanpa pertanggungjawaban. Sedangkan dalam bidang politik Washingon juga menyokong “soldiers of fortunes” tentara bayaran pada peristiwa PPRI. Bahkan baru-baru ini lewat mentri luar negerinya Condoliza Rice mengeluarkan statement bahwa Indonesia tahun 2050 sudah dipastikan akan terhapus dari peta dunia.

Menarik memang meninjau kembali hubungan Indonesia dengan Amerika. Apalagi kalau hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat juga mendorong perkembangan sikap autoritarian pada masa pemerintahan Suharto. Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat yang seharusnya bisa meningkatkan sikap demokratis di kalangan rakyat Indonesia tidak terjadi tetapi sebaliknya sikap pemerintah yang cenderung fasis berkembang dengan pesatnya bahkan sikap itu juga didukung oleh Amerika Serikat. Aneh memang Amerika Serikat sebagai negara demokrasi mendukung negara Indonesia pada masa pemerintahan Suharto mengambil sikap otoriter. Buku karya Bradley R. Simpson “Economist with Guns. Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968” sangat menarik dan akan memperkaya pembaca dengan informasi yang agak mencengangkan memang. Belum membaca saja pembaca sudah disuguhi dengan cover buku yang unik (baca di Indonesia belum ada) yaitu Suharto dan Bu Tien yang sedang memegang senjata dan ditengahnya berdiri Tomy kecil dengan menutup telinga. Buku ini didukung dengan dokumen primer yang diperoleh dari perpustakaan kepresidenan Lyndon B. Johnson, John F. Kennedy, Arsip Nasional Amerika Serikat, dan banyak lagi.

Menurut Simpson, "Washington’s consitent support for authoritarianism in Indonesia and its reliance on the armed forces as the guarantor of economic and political stability, a policy that would guide its relations with Jakarta for the next thirty yaers and substantively affect the course of Indonesian history.” Fakta ini sungguh membuka tabir walaupun Amerika Serikat mengaku sebagai negara demokrasi dan menjunjung HAM (Hak Asasi Manusi) namun juga mendorong suatu negara untuk bertindak keji bahkan kepada rakyatnya sendiri demi menjamin kepentingan ekonomi dan politik negara Amerika Serikat di Indonesia. Bahkan tak jarang Amerika Serikat juga membiarkan suatu negara dalam keadaan pecah hingga akirnya Amerika Serikat dapat masuk dan mengamankan kepentingannya dan memainkan perannya.

Hubungan Indonesia dengan Amerika memang tidak berjalan mulus tetapi juga retak dan bergelombang. Namun hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat sangat erat sekali pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Periksa saja pada masa pemerintahan Sukarno hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat bergelombang walau sesekali mulus. Tetapi kondisi sebaliknya dapat ditemui pada masa pemerintahan Sukarno Indonesia tidak memihak Blok Barat Kapitalis, Amerika Serikat dan sekutunya maupun Blok Komunis, Soviet Uni dan porosnya. Semua itu dalam kerangka Perang Dingin. Bahkan tak jarang Indonesia di bawah Sukarno berani dengan lantang menolak bantuan Amerika Serikat dengan slogan yang sangat terkenal “Go to hell with your aid!”

Sikap pemerintah Indonesia dalam hubungan dengan luar negeri mulai berubah dan jelas mengarah ke Blok Barat yang Kapitalis. Bagaimana tidak posisi penting Indonesia semakin menguntungkan Amerika Serikat bahkan dalam bab I bukunya Simpson mengutip pendapat Max Milikan “The only prophet without a significant Indonesian following is probably Adam Smith.” Selain itu juga ditandai dengan pemberangusan unsur-unsur kerakyatan seperti PKI dan ormasnya. Karena PKI merupakan partai yang paling modern dan militan ungkap Neil Sheehan. Agenda ini sesuai dengan agenda yang di buat oleh Amerika Serikatyang memang menjadikan Indonesia sebagai ladang perebutan dengan Soviet Uni. Posisi Indonesia yang diniali strategis dalam menentukan perkembangan politik di Asia Tenggara. Kemengan Amerika Serikat memang tampak dengan dilengserkannya Sukarno dari mimbar kekuasaan yang digantikan oleh Suharto yang sangat pro-Barat. Kalau modal asing pada masa Sukarno susah masuk maka dalam era kepemimpinan Suharto bak air bah semua mengalir dengan mudah. Maka penanaman modal asing di Indonesia pun berjalan lancar.

Ada fenomena menarik ternyata kemajuan Indonesia menurut Washington harus dibawah kendali militer. Mereka percaya bahwa Indonesia akan menjadi negara modern dan maju dibawah kendali militer. Maka kerjasama dengan militer Amerika Serikat juga digalang seperti Amerika Serikat menerima beberapa perwira dari Indonesia yang dilatih di West Point. Kekuatan militer Indonesia juga meningkat pesat, bahkan senjata dipasok dari Amerika Serikat dan juga pesawat tempur.

Dalam bidang pendidikan juga digalakkan, antara lain pemberian beasiswa bagi warga negara Indonesia bagi yang ingin belajar ekonomi maka mereka dikirim ke Universitas Barkley. Pemberian dana ini diskong juga oleh lembaga pemberi beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockefeller. Dengan penelitian-penelitian yang dilakukan maka Indonesia bagai perawan yang telanjang dan siap dieksploitasi. Dalam bidang ekonomi para sarjana lulusan Universitas Barkley menjadi broker bagi kepentingan Amerika Serikat. Mereka ini yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkley.” Mulai juga masuk lembaga moneter internasional sebut saja IMF, World Bank dan Asian Development Bank (ADB) yang dengan mudahnya mengucurkan dana atau tepatnya menjerat Indonesia dengan hutang sehingga kebijakan pemerintah Indonesia dapat dikendalikan bahkn distir oleh Amerika. Misalnya pemberian konsesi untuk pengelolaan tambang tembaga, emas dan perak pada Freeport McMoran, minyak Exxon Mobil, Chevron, Texaco, Caltex, Stanvac belum lagi tambang lainnya.

Militer dalam hal ini memang yang dipercaya oleh Washington untuk mengendalikan Indonesia di bawah Suharto. Bahkan CIA, NSA, mendapatkan dukungan yang kuat dari Pentagon, Capitol Hill, Wallstreet sebagai penentu kebijakan Amerika Serikat dalam melakukan operasinya di Indonesia.

Mengkaji kembali hubungan Amerika Serikat dan Indonesia sangat penting dan kontekstual. Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dibawah Kendali Suharto seperti yang diungkapkan oleh Simpson berjalan dengan mulus bila dibandingkan dengan hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia di bawah Sukarno. Bila di bawah Sukarno Indonesia dianggap sejajar maka dibawah Suharto maka Indonesia tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah pelayan bagi kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.

Demi menjaga kepentingannya itu maka Amerika Serikat menyuplai senajata yang diantaranya digunakan oleh militer dalam melakukan pelanggaran HAM dalam Pembunuhan massal 1965. Di mana dalam peristiwa ini Amerika Serikat cenderung menutup mata bahkan tak mau tau asal kepentingan ekonomi dan politiknya di jaga maka kebusukan Suharto dan kroninya juga dilindungi. Tentunya dengan berlindung di bawah nama anti komunisme maka militer muncul sebagai kekuatan penyetabil dan pahlawan. Bahkan Departemen Pertahananmelalui Jendral Jusuf menerima uang $500 million, ungkap Simpson. Maka editorial yang dimuat The Economist 19 Agustus 1967 sangat tepat “Washington Embraces the New Order-Capitalists come back!” begitu juga sikap otoriter pemerintahan Suharto.

(resensi bukunya: Bradley R. Simpson.2008. Economist with Guns. Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968. California: Stanford University Press)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun