Mohon tunggu...
W.Wirawan
W.Wirawan Mohon Tunggu... Sejarawan - Traveler

Alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Aktif menulis di Jakarta Post, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Majalah Tapian, Jurnal Historia Vitae, Jurnal Paramita dll

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Identitas

6 Oktober 2011   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas atau tanda-tanda khas, merupakan hal yang sangat esensial bagi pemiliknya. Masalah timbul ketika identitas dipertanyakan secara horizontal. Apalagi dalam era otonomi daerah di Indonesia yang akhir-akhir ini manjadi trend bahkan suatu keharusan politik. Akibatnya multitafsir dalam mengartikan otonomi daerah tak dapat dihindari. Salah satunya“Beri kami ruang (kawasan otonom), kami adalah kami dengan segala identitas yang kami miliki dan kami berhak menentukan masa depan daerah kami.” Lihat konflik dalam Pilkada di Maluku. Jargon yang demikian memang tidak keliru, tetapi bila seluruh daerah yang ada di Indonesia melakukan hal yang sama, berarti potensi konflik sangat besar terjadi. Karena indonesia memiliki 33 propinsi dan setiap propinsi memiliki adat istiadat yang sangat beragam. Bila sikap primordialisme muncul berarti kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia terancam ? Bukankah demokrasi mengijinkan semua identitas muncul dalam waktu bersamaan ?

Bukanlah hal yang mudah untuk menjawab pertanyaan di atas. Supaya Indonesia hidup terus sebagai suatu negara demokrasi yang efekktifada hal-hal yang harus dilakukan. Pertama, kita sebagai warga negara Indonesia harus secara tulus iklas untuk mengakui bahwa Indonesia memang beragam. Kedua, pemerintah harus mengakomodasi berbagai kepentingan identitas dari seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, pemerintah jangan menyerah pada setiap tuntutan karena menyerah berarti mengakibatkan korban-korban baru. Dan Timor-Timur cukup sebagai contoh dariketakberdayaan (baca menyerah) pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan warganya.

Demokrasi adalah salah satu metodenya. Dalam negara plural adalah penting bagi setiap warga negara merasa aman dalam identitasnya. Karena plural berarti lebih dari satu identitas, demikian kenyataan yang terjadi dahulu, kini dan esok.

Masyarakat juga harus memahami meskipun mereka bangga menjadi orang Jawa, orang Dayak, dan Melayu atau suku yang lain mereka akan aman menjadi Indonesia, karena mereka adalah orang Indonesia.Dengan kata lain identitas Indonesia merekalah yang memberikan kerangka, di mana mereka dapat memenuhi kebutuhan materi, bersaing dan hidup bersamaan para anggota masyarakat yang lebih luas. Tentu semua itu tidak dapat dilepaskan dari berkembangannya institusi demokrasi yang ada di Indonesia dan itu harus kita jaga dan lestarikan.

Kita ambil contoh negara lain dalam mengakomodasi atau melindungi keberagaman yang ada. Di Cina identitas atau 50 bahasa daerah di Cina akan punah dan sekarang pemerintah dengan lembaga kebudayaan sedang melakukan tindakan pencegahan dengan cara membuat data base. Karena tujuan utama Cina memang ekonomi. Di Afrika, dalam menghadapi perpecahan yang dilakukan pemerintah mulai dari memilih memberlakukan satu partai sampai tak berpartai. Tanzania melalui Julius Nyerere memilih sistem satu partai dan ia secara kenegarawanan berhasil mempersatukan suku dan klan dalam satu negara. Tetapi secara ekonomi gagal.Di Uganda Yoweri Museveni memilih tanpa partai. Karena partai dianggap memecah belah tetapi Museveni mengijinkan oposisi individual ketimbang kelompok. Di Barat, partai berasal dari berbagai bagian masyarakat, yang diorganisir diseputar isu untuk memperthankan kepentingan kelas. Sedangkan di India sering demokrasi sebagai tujuan sehingga kesejahteraan rakyat dilupakan. Bahkan Partai Bharatiya Janata yang bercorak Hindu telah belajar bahwa suatu partai dengan aspirasi-aspirasi untuk memerintah India harus menjangkau kelompok-kelompak lain, minotitas.

Di Indonesia saya kira jelas kita menganut sistem multipartai. Ada juga kelompok politik yang didasarkan pada corak agama. Walaupun kadang-kadang dikotomi oleh politisi busuk atau microwave yang berupaya memobilisasi massa untuk berpaling pada suku, agama, daerah. Dan mendorong mereka untuk mendefinisikan diri mereka berdasar garis ini. Itu semua sangat berbahaya.

Indonesia bukan Amerika. Karena Amerika adalah kulai peleburan (melting pot). Indonesia ibarat pilihan makanan yang ada di atas mangkok yang berbeda. Masing-masing memiliki rasa, tidak harus bercampur namun berada dalam satu nampan yang sama dan saling melengkapi. Hendaknya jangan memandang keberagaman sebagai ancaman dan menafsirkan semua hubungan manusia dalam pengertian musuh. Terlalu banyak keragaman di Indonesia ini untuk diberlalukan satu versi realitas. Tidak lupa kita juga memerlukan toleransi sebab dengan toleransi keberagaman jadi mungkin. Dan demokrasi menjamin setiap identitas dari warganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun