Mohon tunggu...
Wahyu Wiji Astuti
Wahyu Wiji Astuti Mohon Tunggu... -

Wahyu Wiji Astuti, lahir di Medan 8 November 1988. Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan, stambuk 2007 ini bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dan UKM Pers Mahasiswa Kreatif UNIMED. Karyanya memenangkan Festival Cerpen Sumatera Utara. sayembara cipta cerpen HMJ BSI se-Sumatera Utara, lomba cipta cerpen pada HUT Harian Global dan sebagainya. Karya-karyanya termaktub dalam antologi cerpen Artefak Cerita Pendek Indonesia, Cermin, antologi puisi Suara Peri dan Mimpi, dan antologi feature berjudul Pencari. Selain itu karya-karyanya terbit di media massa dan majalah Kreatif Unimed. Alamat: Aspol B. Selamat, Jln. Kapten M Jamil Lubis Blok BB no. 15 Medan 20223.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SEPISAU MATA MIMPIMU

13 Maret 2011   14:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sepisau Mata Mimpimu

Oleh: Wahyu Wiji Astuti

Kularut beribu sepi pada arus airmatamu

Sepisau mata mimpimu telah punah, aku tak kan cegah kau melangkah

Mundur atau maju adalah sebuah jalan, pun diam, yang kau sebut pilihan

Dulu!

Maaf, kupenjara engkau dalam tunggu yang tak berpintu

Maaf, kurantai langkahmu agar tak pergi

Maaf, kukerangkeng harapanmu agar tak mati

Aku hanya ingin kau ada meski sebatas rindu yang tak berpenghuni

Biarlah kita jaga malam-malam dari mimpi tentang masa depan yang belum tiba agar tak meracuni hati yang perlu ditata

Kelak kuharap kau sadar, pada bola matamu yang selalu binar, aku kan selalu ada.

Di bahumu yang kekar, candaan kita tetap berkelakar

Tapi itu bukanlah seperti mimpi-mimpi yang kau ranumkan, melainkan masa yang seharusnya kita jadikan pahlawan perang

Maaf sayang, berkali-kali rasa itu tiba dan selalu kubunuh dengan logika

Semoga kau paham, ada yang tak bisa aku katakan

Maka biarlah kau rasakan apa yang aku lakukan, tentang pengorbanan dan kerelaan

Sebab bagiku kebahagiaanmu adalah kebahagiaan

Lantas apalagi, kalau semua telah kuberikan?

Masih perlukah satu kata itu kuucapkan? Kata yang kau tunggu setengah abad berlalu. Kata yang bagiku hanya dongeng masa lalu.

Jika kau perlu kata itu maka akan kutasbihkan padamu, sekarang juga! Sekarang.

Namun jangan pernah mengikatku serupa burung di sangkar neraka

Dan hanya kata. Sekali lagi hanya kata yang tak perlu kuhadiahi rasa. Maukah?

Pilihlah!

Serambi KOMPAK,

Lubukpakam, September 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun