Polemik apakah pemeriksaan Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI dalam kasus e-KTP perlu izin Presiden Jokowi terkuak sudah. Secara tersirat, Presiden sudah menyatakan pemeriksaan terhadap tersangka kasus korupsi E-KTP yang merugikan Negara Rp 2,3 triliun itu sudah dapat dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa perlu persetujuan darinya.
Sinyal kuat bahwa Jokowi merestui pemeriksaan Setya Novanto tanpa persetujuan dirinya terlihat dalam siaran pers resmi yang dikeluarkan Istana, Rabu (15/11/2017) ini. Dalam siaran per situ, Joko Widodo secara khusus merespons alasan Ketua DPR Setya Novanto menolak memenuhi panggilan KPK dalam kasus dugaan korupsi e-KTP karena belum ada izin darinya dengan jawaban yang singkat.
Jokowi menyatakan dirinya menyerahkan segala proses hukum tersebut berdasarkan tata acara yang berlaku. "Buka undang-undangnya semua. Aturan mainnya seperti apa, itu yang harus diikuti," ujar Jokowi.
Sebelumnya Setya Novanto menyatakan tidak akan memenuhi panggilan KPK karena didasarkan dasar hukum yakni Pasal 1 (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah Negara Hukum, Pasal 20A huruf (3) UUD 1945: selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan serta hak imunitas, dalam Pasal 80 UU No 17 Tahun 2014 hak anggota dewan huruf (h) imunitas, UU No 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7,Ketentuan UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya Pasal 224 ayat (5) mengenai Hak Imunitas DPR, Pasal 245 ayat (1), Pasal 224 ayat (5), serta Pasal 245 ayat (1) dan  Putusan MK RI No 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2017.
Poin penting dari penjabaran pasal-pasal yang diungkapkan Novanto tersebut adalah perlunya "persetujuan tertulis" dari Presiden.berdasarkan Pasal 80 huruf (h) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Anggota Dewan.
Tapi dengan jawaban Jokowi tadi, secara tersirat Jokowi ingin menyatakan bahwa KPK bisa melihat semua aturan hukum yang menyangkut status Ketua DPR RI ini, KPK juga bisa melihat Pasal 245 UU MD3 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi :
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Berkaitan dengan Pasal 245 ayat 3 inilah,yang menunjukkan bahwa sebenarnya Jokowi selaku Presiden RI telah memberi "sinyal" kepada KPK Â untuk dapat menerapkan pemeriksaan terhadap Setya Novanto sebagai tersangka kasus skandal E-KTP tanpa perlu meminta izin dari presiden lagi. Karena tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus.
Dengan adanya sinyal yang diberikan ini, kita tinggal menunggu apakah KPK berani melakukan pemanggilan paksa terhadap petinggi Partai Beringin ini? Sebab sudah tidak ada alasan lagi bagi Novanto untuk menghindari pemeriksaan dengan alas an belum adanya izin dari presiden. Biarlah kita tunggu langkah-langkah KPK dalam menjerat sang senator.()