Dalam beberapa hari ini kita disuguhkan berita viral mengenai "pernyataan lucu" Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiga Uno soal pejalan kaki yang jadi faktor penyebab macet kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dalam pernyataannya yang dikutip sejumlah media massa, Sandiaga mengatakan, pejalan kaki menempati urutan kedua penyebab semrawutnya kawasan Tanah Abang. Hal tersebut dia ungkapkan setelah melihat gambaran kawasan Tanah Abang yang diambil menggunakan kamera drone.Â
"Temuannya ternyata (penyebab) kesemrawutan (Tanah Abang) itu adalah satu pembangunan jalan, nomor dua tumpahnya pejalan kaki yang keluar dari Stasiun Tanah Abang, dan ketiga banyak angkot yang parkir liar atau ngetem," ujar Sandiaga seperti dikutip Kompas.com.
Menurutnya para pedagang kaki lima (PKL) memang memiliki dampak pada kesemrawutan kawasan Tanah Abang, namun dampaknya tidak signifikan karena jumlah pedagangnya cuma sedikit. "Cuma di bawah 300, jadi kalau misalnya (PKL) ditata, enggak sesuatu hal yang luar biasa," kata Sandiaga.
Menanggapi hal itu, Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus pun langsung bereaksi. Menurutnya memang para pejalan kaki yang keluar dari Statsiun Tanah Abang membuat macet karena berhamburan ke jalan saat mereka keluar dari statsiun, tapi masalahnya para pejalan itu berhamburan di jalan karena tidak berfungsi trotoar di Tanah Abang. "Jadi yang mau kami perjelas dan tanyakan sebenarnya trotoar di Tanah Abang itu menurut Gubernur yang sekarang fungsinya untuk apa?" ujar Alfred.
Tak cuma Alfred, sejumlah nitizen pun langsung mengolok-olok statmen sang wakil gubernur di dunia maya. Olok-olok ini mungkin merupakan sebuah gambaran para warganet terkaitan pernyataan-pernyataan aneh yang dikeluarkan sang wagub soal pejalan kaki ini.
Kalau melihat protes yang dilontarkan Koalisi Pejalan Kaki dan para nitizen, memang sudah jelas bahwa apa yang dilontarkan oleh Sang Wagub tampaknya tidak didasari oleh sebuah logika berpikir yang wajar, kalau tidak mau dibilang absurd. Mengapa saya katakan absurd, karena justru salah satu penyebab para pejalan kaki turun ke jalan adalah kehadiran para pedagang kaki lima (PKL) itu. Mereka beramai-ramai memakan badan trotoar untuk berdagang sehingga mengganggu para pejalan kaki yang hendak melintas.
Andai saja trotoar untuk para pejalan kaki tidak diganggu oleh PKL dan ojek pangkalan, pastilah para pejalan kaki ini lebih memilih untuk tetap berada di trotoar karena itu adalah jalur yang aman dan dilindungi oleh UU bagi mereka.
Kalau saja Pak Wagub DKI yang baru ini mau lebih dahulu membaca peraturan sebelum mengeluarkan statmennya, pernyataan konyol seperti itu tampaknya tidak perlu keluar dari statmen seorang pejabat public seperti dirinya. Sebab kalau kita lihat Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999 yang dimaksud dengan trotoar adalah bagian dari jalan raya yang khusus disediakan untuk pejalan kaki agar mereka aman.
Sementara dalam UU LLAJ, khususnya pasal 25 ayat (1) huruf h, sudah dikatakan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, di mana trotoar juga merupakan salah satu fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas.
Dan kalau mau menilik pada pasal 28 ayat (2) UU LLAJ, disana juga dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan (termasuk trotoar). Jadi harusnya Pak Wagub menjanjikan kepada para penguna pejalan kaki untuk menertibkan pedagang PKL seperti yang diatur dalam UU LLAJ daripada menuding para pejalan kaki sebagai pembuat macet kawasan Tanah Abang.