Mohon tunggu...
Sri Wahyuti
Sri Wahyuti Mohon Tunggu... -

Seorang guru Taman Kanak-Kanak yang ingin belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

BANGAU YANG SERAKAH

23 April 2011   13:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:29 3819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13035657751554699551

BANGAU YANG SERAKAH



Di tepian sebuah danau hiduplah seekor burung bangau. Dengan keahlian dan kelincahannya berburu membuat burung bangau itu tidak kekurangan makanan.

Namun sekarang ini kehidupan Bangau sedang susah. Keadaannya memprihatinkan. Usia tua telah menggerogotinya. Hingga ia tidak selincah dulu lagi dalam mencari makanan. Lama-kelamaan tubuh Bangau menjadi kurus.

“Lama-lama aku bisa mati,” pikir Bangau. “Aku harus mencari akal. Bagaimana caranya aku bisa tetap makan tanpa bersusah payah.”

Lalu Bangau pun mulai berpikir dengan keras. Dan terbetiklah sebuah ide di kepalanya. Ide itu melintas ketika dilihatnya sebuah mesin pemompa air yang digunakan petani untuk mengairi sawah.

“Aku tahu!” katanya. Lalu Bangau mulai menjalankan rencana jahatnya.

Hari ini Bangau sengaja menampilkan wajah sedih. Seharian ia hanya termenung saja. Ikan dan katak yang lewat dibiarkannya berlalu. Hal ini tentu mengundang perhatian seluruh penghuni danau.

“Burung Bangau, kenapa kau hanya termenung saja?” tanya seekor Ketam.

“Oh Ketam, aku sangat sedih,” Bangau mulai menjalankan aksinya.

“Apa yang membuatmu sedih, Bangau?” tanya Ketam. “Katakan padaku. Mungkin aku bisa membantumu.”

“Aku bukan sedih karena memikirkan diriku. Aku sedih karena memikirkan nasib kalian semua,” kilah Bangau.

Percakapan Bangau dan Ketam mengundang perhatian ikan-ikan di sekitar mereka. Mereka kemudian berkumpul untuk mendengarkan percakapan Bangau dan Ketam.

“Kalian lihat mesin penyedot air itu?” tanya Bangau seraya menunjuk sebuah mesin pompa air yang diletakkan orang di tepi danau. Mesin itu sedang digunakan petani untuk mengairi sawah.

“Ada apa dengan mesin itu, Bangau?” tanya ikan-ikan.

“Itulah yang membuatku sedih,” kata Bangau. “Aku mendengar para petani itu bercakap-cakap kalau mereka akan menggunakan mesin itu untuk mengeringkan danau ini.”

“Benarkah itu Bangau?” tanya ikan-ikan.

“Coba kalian perhatikan sendiri. Air di danau ini semakin berkurang. Dan mesin itu terus saja bekerja menyedot air. Lama-lama danau ini akan kering,” kata Bangau.

“Lalu bagaimana dengan nasib kami kalau danau ini dikeringkan?” ikan-ikan menjadi sedih. Tanpa air mereka tidak akan dapat hidup.

“Tenang. Tenang semua,” kata Bango. “Aku punya jalan keluar untuk kita semua.”

“Coba katakan kepada kami.”

“Tak jauh dari danau ini ada sebuah danau lain yang lebih besar. Danau itu sangat bagus. Dan airnya juga jernih. Aku telah terbang kesana untuk melihatnya. Kalian bisa pindah kesana kalau kalian mau,” kata Bangau.

“Tapi bagaimana caranya kami dapat pindah?”

“Itu pun sudah aku pikirkan. Aku bersedia memindahkan kalian semua ke danau yang baru,” kata Bangau.

“Terima kasih Bangau,” kata Ikan-ikan serempak. Mereka sangat gembira menerima usulan Bangau.

“Tapi aku tidak bisa memindahkan kalian semua sekaligus,” kata Bangau tersenyum.

“Tak apa. kamiakan sabar menunggu giliran,” kata Ikan-ikan.

Maka sejak hari itu sibuklah Bangau memindahkan ikan-ikan itu ke danau baru yang dijanjikan. Tiap hari Bangau membawa terbang ikan-ikan itu ke tempat yang jauh.

Adapun sebenarnya burung Bangau tidak memindahkan ikan-ikan ke danau yang baru. Tetapi ia membawa ikan-ikan itu ke suatu tempat untuk kemudian dimakannya sendiri.

Kini semua ikan telah habis dimakannya. Tinggallah seekor ketam yang belum lagi dipindahkan. Dia yang paling akhir yang akan dipindahkan.

“Bagaimana aku membawamu wahai Ketam. Tubuhmu sangat keras. Aku tidak mungkin membawamu dengan paruhku,” kata Bangau.

“Tak apa, biarkan aku berpegangan pada lehermu, Bangau,” kata Ketam.

Ia kemudian berpegangan pada leher Bangau dengan capitnya. Tanpa rasa curiga Bangau membawa ketam terbang jauh. Namun sekian lama mereka terbang, danau itu belum juga kelihatan.

“Di mana danau itu, Bangau?” tanya Ketam.

“Sebentar lagi,” sahut Bangau. Ketam mencoba bersabar. Walau capitnya telah lelah berpegangan pada leher Bangau.

Dari kejauhan dapatlah ia melihat duri-duri ikan berserakan. Tahulah ia kalau selama ini Bangau telah menipu mereka.

“Bangau, aku membatalkan keinginanku untuk pindah ke tempat yang baru,” kata Ketam.

“Lalu bagaimana?” tanya Bango.

“Aku ingin kembali ke tempatku.”

“Kenapa?”

“Kau telah berbohong, bukan? Kau tidak memindahkan ikan-ikan itu ke tempat yang baru. Tapi kau memakan mereka semua. Betul atau tidak?”

Bango tertawa. “Kamu sungguh cerdik, Ketam.”

“Kembalikan aku ke dalam danau! Kalau tidak aku akan menjepit lehermu sanpai putus!” kata Ketam mengancam.

Bango ketakutan dan mengembalikan Ketam ke danau semula. Ketika telah sampai Ketam tidak mau melepaskan leher Bangau. Ia justru mencepitnya erat-erat. Hingga akhirnya Bangau itu mati.

Sepeninggal Bangau semua binatang yang masih tertinggal dalam danau hidup dengan tenang.

***

Sumber Gambar: http://www.supercheapcards.com/cliparts_thumbs/1bird132-med.jpg


Penulis: Sri Wahyuti (No. 157)

NB :  UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA PARADOKS YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI AKUN Dongeng Anak Nusantara di Kompasiana sbb :Dongeng Anak Nusantara.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun