Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Penulis - Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Virus di Ladang Tebu

29 Juni 2020   23:32 Diperbarui: 29 Juni 2020   23:38 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tebu menjadi salah satu komoditi ekspor dan impor yang dari zaman Marcopolo berlayar hingga Marcopolo jadi nama salah satu produk rokok masih bertahan dan memiliki daya jual yang tidak sedikit.

Bukan berupa tebu yang masih utuh yang dijual hingga ke luar negeri, melainkan hasil olahan dari batang yang memiliki kadar air yang memiliki rasa manis, yang ketika di olah berubah nama menjadi gula.

Tidak mengherankan jika gula menjadi salah satu produk yang memiliki peminat tinggi di dunia, karena hampir seluruh olahan makanan membutuhkan pemanis alami tersebut. Kebutuhan gula yang bersar tersebut, membuat negara agraris seperti Indonesia, gencar menggalangkan proyek di bidang perkebunan tebu, hingga mayoritas kebun di tanah air dikelola dan dilindungi oleh PT. Perkebunan Nusantara X.

Diharapkan dari sektor penjualan gula ini, menjadi salah satu titik penyuplai kas negara. Perkebunan tebu di Indonesia, terkonsentrasikan di Pulau Jawa, terutama di Provinsi Jawa Timur. Beratus-ratus hektare kebun tebu tersebar di hampir seluruh wilayah Jawa Timur, terutama disekitar Kabupaten Jombang dan Kediri.

Dua wilayah ini tercatat memiliki luas kebun tebun paling fantastis dibanding dengan kabupaten dan kota lainnya. Di Jombang sendiri terdapat sebuah pabrik pengolahan tebu yang terletak di Kecamatan Cukir yang begitu legendaris, sempat menjadi sektor menarik yang diperebutkan oleh Belanda dan Jepang pada saat perang dunia II berkecamuk, pabrik itu eksistensinya masih bertahan hingga saat ini.

Pada tulisan ini sebenarnya bukan soal tebu yang akan dibahas, melainkan sesuatu yang terjadi saat pandemi telah menginjak fase new normal. Sepenggal kisah kehidupan baru yang digadang-gadang harus dilaksanakan setiap prosedurnya oleh seluruh warga negara.

Sepenggal kisah yang terjadi di Kabupaten Jombang yang menyangkut dengan instansi kesehatan dan segala prosedurnya. Kisah ini dimulai dari awal perjalanan saya menuju Jombang beberapa waktu yang lalu, untuk ziarah karena sebelumnya saya mendengar kabar bahwa guru saya meninggal dunia.

Setelah beberapa waktu sebelumnya saya mendengar kabar bahwa pemerintah akan menerapkan new normal dan dibukanya kembali fasilitas transportasi antar kota, saya memutuskan untuk pergi dengan menggunakan moda transportasi kereta api.

Dalam pelaksanaannya PT. KAI menerapkan beberapa prosedur perjalanan yang harus dipenuhi oleh calon penumpang, salah satunya adalah menyiapkan surat keterangan sehat dari instansi kesehatan apabila di daerahnya tidak memiliki fasilitas untuk melakukan rapid test. Hal itu menjadi angin segar bagi saya karena hampir seluruh warga negara merasa tidak sanggup untuk melakukan rapid test.

Bukan soal takut atau tidaknya masyarakat untuk dites rapid, melainkan lebih kepada mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kali rapid test yang suratnya hanya berlaku selama 3 hari.

Di beberapa instansi kesehatan mematok harga sekitar 250-400 ribu rupiah untuk sekali tes. Dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh PT. KAI tersebut, beberapa masyarakat yang terpaksa bepergian bisa sedikit bernafas lega dengan tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih mahal dari harga tiket kereta itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun