Assalamu'alaikum, selamat malam (karena tulisan ini dibuat pada pukul 18.36), pernenalkan nama saya Wahyu Fadhli, seorang penggiat alam bebas alias seseorang yang suka menghamburkan uang dan waktunya untuk di alam bebas. Tapi jangan sekali-kali menyebut saya sebagai seorang Pecinta Alam, karena saya malu dengan sebutan itu. Disamping naik gunung dan berkegiatan alam bebas lainnya, sehari-hari kegiatan saya adalah duduk didalam ruangan disalah satu Perguruan Tinggi yang ada di Jember. Disana saya kuliah dan mengikuti organisasi intra kampus MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam). Saya ingatkan lagi jangan pernah menuduh saya sebagai seorang Pecinta Alam. Baik, akan saya mulai bercerita mengenai sebuah perjalanan mendaki gunung yang menurut saya bisa di bilang berkesan.
Saat itu, pada tanggal 15 Agustus 2016, saya bersama beberapa kawan berkunjung ke Kota Malang. Bersilaturrahmi dengan beberapa kawan yang memiliki hobi serupa disana. Niat awal saya memang hanya sebatas silaturahmi, namun dalam niat tersebut sudah saya selipkan sebuah angan-angan untuk sekedar menghormati hari lahir Negara Indonesia, yaitu dengan cara melakukan upacara bendera di Puncak Gunung Arjuno. Gunung Arjuno memiliki tinggi 3.339 mdpl dan merupakan salah satu gunung dalam deretan Pegunungan Arjuno-Welirang. Pegunungan ini tercatat sebagai salah satu Pegunungan Vulkanik yang masih aktif, dengan adanya sebuah kawah dengan kandungan belerang yang besar yang ada di Puncak Gunung Welirang. Secara administratif Gunung Arjuno terletak antara Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Batu. Gunung ini memiliki puncak yang bernama Puncak Ogal-Agil. Puncak ini berstruktur bebatuan vulkanik yang tertata seperti sebuah kerucut. Ada beberapa titik masuk pendakian Gunung Arjuno; yaitu jalur Pandaan (yang terletak diatas Taman Safari Prigen-Pasuruan), jalur Purwosari (yang terletak diantara kebun teh Purwosari-Pasuruan, jalur Tretes (yang terletak diatas objek wisata pemandian air panas Tretes-Mojokerto), dan jalur Cangar (terletak di kawasan Kota Wisata Batu). Semua jalur pendakian memilik variasi trek yang ada didalamnya, dan dari kesemuanya itu memiliki tujuan yang sama yaitu ke Puncak Ogal-Agil.
Kenapa saya dan kawan-kawan memilih titik kumpul di Kota Malang, karena pada kali ini kami memilih jalur pendakian via Cangar-Batu. Saya memilih jalur ini, sebab dirasa jalur ini memiliki trek yang tidak terlalu panjang, namun konsekuensinya adalah jalur ini memiliki medan yang cukup menanjak. Untuk menghadapi trek yang seperti itu, setelah tiba di Malang, kami memutuskun untuk sekedar beristirahat sehari sebelum memulai pendakian. Waktu sehari itu kami gunakan betul-betul untuk memulihkan kondisi fisik dan membeli beberapa logistik yang diperlukan serta melengkapi peralatan yang dibutuhkan.
Tanggal 16 Agustus 2016, pada pukul 09.30, kami berangkat meninggalkan Kota Malang menuju pos pendakian yang berada di daerah Cangar-Batu. Perjalanan menggunakan sepeda motor ditempuh dengan waktu satu setengah jam. Pada pukul 12.00, kami tiba di pos pendakian dan melakukan pendataan selama kurang lebih satu jam. Setelah segala persiapan sebelum pendakian dirasa cukup, saya beserta kawan-kawan mulai melakukan pendakian. Treak awal, para pendaki disuguhi dengan hamparan perkebunan sayuran milik warga sekitar. Dimulai dengan berjalan santai sembari berbincang dengan beberapa petani yang ada disana. Ada seorang petani yang sedikit berbicara mengenai mitos yang ada di Gunung Arjuno. Saat itu, petani tersebut berkata "Kalau lewat sini, mendakinya harus sabar mas. Jangan mengeluh, apalagi sampai dilontarkan dengan omongan. Jika sampai diomongkan, maka pendaki itu akan merasakan apa yang dikeluhkannya selama pendakian. Jika capek, ya ditahan saja". Kurang lebih seperti itu yang dikatakan oleh petani tersebut.Â
Karena cukup susah mengingat kejadian yang sudah berlangsung dua tahun lalu. Perjalanan dilanjutkan dengan tetap berjalan santai, sampai pada akhirnya kami memasuki batas perkebunan dengan hutan. Tidak terasa dari pos pendakian hingga batas hutan ini memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan santai. Setelah melewati perkebunan, kami melewati hamparan hutan basah yang cukup panjang. Dikalangan para pendaki, hutan ini disebut sebagai Alas Lali Jiwo. Dinamai demikian, karena mitosnya apabila pendaki yang melewati jalur ini dengan melamun atau membayangkan hal-hal negatif, maka mendadak fikirannya akan kacau.Â
Mengingat hal itu, saya kemudian bercerita kepada kawan-kawan, dan seketika itu suasana pendakian menjadi hening. Saya tidak ingat pasti, namun seorang kawan saya sempat membaca beberapa doa ketika melewati Alas Lali Jiwo. Perjalanan menembus Lali Jiwo, dilalui selama 1,5 jam, kemudian pendaki akan tiba di Pos Watu Gede. Pada pos ini, ada peralihan struktur hutan, yang semula hutan basah, menjadi hutan homogen yang dipenuhi dengan tumbuhan rambat beberapa cemara.
Pada pos ini, kami beristirahat sejenak untuk mengistirahatkan kaki dan fikiran setelah tadi dikoyak oleh Alas Lali Jiwo. Meminum beberapa teguk air, memakan beberapa potong coklat, sembari menikmati hembusan angin yang menjadi dingin. Diselingi oleh guyonan khas anak muda yang harus dibatasi oleh tempat yang tidak biasanya. Seorang pendaki harus menjaga mulutnya ketika melakukan pendakian, karena di alam bebas kita semua tidak akan tahu makhluk apa saja yang menjadi penghuninya. Sepuluh menit berlalu, dan kami melanjutkan perjalanan tanpa meninggalkan apapun kecuali jejak. Senja yang indah disuguhkan oleh Tuhan pada pukul 15.30 di jalur pendakian Gunung Arjuno. Kami menikmatinya dengan penuh syukur dan foto selfie tentunya.Â
Dari Pos Watu Gede kita beranjak menuju Pos Watu Tumpuk, dengan suguhan senja beserta luasnya hutan homogen yang harus kami tebas. Saat diperjalanan, ada seorang kawan saya yang tiba-tiba mengeluhkan rasa kantuk yang luar biasa. Mungkin dikarenakan lelah karena harus berjalan dibawah terik, sehingga secara tidak sengaja dia mengeluhkan hal itu kepada kami semua. Serentak, kami kaget, karena ingat dengan sebuah perkataan dari seorang petani di perkebunan tadi. Entah apa yang dikatakan oleh petani tadi hanya sebuah mitos, atau sebuah doa namun saat itu terjadi pada salah satu kawan saya.Â
Selama sisa perjalanan menuju Watu Tumpuk, tak henti-hentinya dia menguap yang menandakan dia sedang menahan kantuk yang luar biasa. Matahari sudah mulai tumbang di kaki barat, namun tak kunjung kami temui Pos Watu Tumpuk, sampai pada akhirnya seorang kawanku yang lainnya duduk karena merasa pergelangan kakinya terkilir. Sejenak kami mengambil keputusan beristirahat sejenak, karena pada situasi seperti ini seorang pendaki dituntut untuk berfikir tenang dengan mementingkan keselamatan bersama. Hawa dingin mulai menyapa, dan kami putuskan melanjutkan perjalanan. Selang sejenak, kami tiba di Pos Watu Tumpuk pada pukul 17.30 dengan ketinggian tanah sudah mencapai 2.300 mdpl.Â
Dua jam yang terasa begitu lama dengan kehati-hatian yang luar biasa. Di Pos ini terdapat persimpangan langsung yang menuju ke Gunung Arjuno dan Gunung Welirang. Melihat waktu dan kondisi beberapa kawan yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, akhirnya kami putuskan untuk camp semalam di Pos Watu Tumpuk. Semua orang sibuk malam itu; mendirikan tenda, memasak, dan mengambil air. Ditemani dengan bulan yang bersinar sempurna, saya seorang diri mengambil air di sumber yang tidak jauh dari lokasi tenda kami.Â
Sewaktu mulai mengadahkan botol pada sebuah pancuran air, saya sempat mendengar sebuah suara lolongan hewan. Tidak dapat dipastikan hewan apakah itu, yang jelas hal tersebut membuat saya lebih bergegas. Tidak ada api unggun dan perbincangan hangat malam itu. Dengan kondisi tubuh yang lelah, kami harus lekas beristirahat untuk melanjutkan perjalanan esok hari.