Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Penulis - Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Indonesia, Diam Dikira Pasif, Lantang Dituduh Subversif

5 Februari 2018   10:10 Diperbarui: 6 Februari 2018   16:55 2996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, presiden Jokowi sempat mengalami perlakuan yang bisa dibilang aneh. Ketika bapak presiden sedang menghadiri Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68 di Balairung.

Saat berada dalam forum pertemuan tersebut, presiden Jokowi sedang memberikan sambutan dalam forum tersebut. Ketika presiden sudah berada di atas podium, tiba-tiba Ketua BEM UI berdiri dan mengeluarkan sebuah kartu kuning yang berukuran lumayan besar.

Seketika itu pula, kondisi forum mendadak tidak kondusif sebab ulah dari ketua BEM-UI tersebut dan memicu tindakan yang cukup preventif oleh paspampres yang kemudian menarik Ketua BEM UI untuk keluar ruangan. Kejadian ini beberapa hari yang lalu sempat memicu beberapa opini masyarakat.

Beberapa berpendapat bahwa tindakan ketua BEM UI tersebut dinilai sudah menciderai rasa hormat seorang rakyat kepada presidennya, bahkan yang lebih ekstrem, ada beberapa opini yang menyatakan bahwa perbuatan itu merupakan termasuk perbuatan yang menghina presiden. Dari beberapa opini yang telah ada, saya mencoba juga untuk memberi sedikit pandangan terhadap kejadian tersebut.

Mungkin bisa saya awali dengan melihat bagaimana akhir-akhir ini perjalanan pemerintahan Presiden Jokowi. Yang terjadi beberapa kurun waktu terakhir ini, memang beberapa kemajuan telah dicapai oleh negara berkembang ini.

Namun, di sisi lain, terdapat beberapa sektor yang ternyata luput dari pandangan masyarakat. Beberapa sektor tersebut ternyata malah mengalami kemerosotan yang luar biasa. Seperti yang disebutkan oleh ketua BEM UI, yakni masalah perihal sarana kesehatan di Papua yang dirasa sangat minim.

Bisa jadi, para pimpinan legislatif kampus UI ini merasa bahwa pembangunan yang dilakukan Presiden Jokowi belum merata dan malah melupakan wilayah yang semestinya pembangunannaya digenjot. Sebelumnya mahasiswa UI tercatat beberapa waktu lalu juga sempat melakukan aksi untuk mengkritik hal yang serupa.

Sebenarnya yang menjadi permasalahan di sini bukan merupakan soal pantas atau tidak pantas, layak atau tidak layak seorang mahasiswa me-"kartu kuning" seorang presiden. Namun permasalahannya di sini adalah kenapa setiap perbuatan yang berbau kritis selalu dihalangi. Apakah dalam posisi saat ini seorang lelaki yang bernama Jokowi dan kebetulan menjabat sebagai presiden lantas tidak memiliki kesalahan?

Jika jawabannya memang tidak, maka perlu ada hal untuk menjelaskan kenapa setiap tindakan kritis selalu dituduh anarkis. Pada dasarnya anak-anak muda ini dididik di dalam kampus juga dengan segala permasalahan dan berusaha menyelesaikannya.

Kami para mahasiswa tidak dilarang untuk kritis di dalam kampus, dan itulah yang menjadi latar belakang kami selalu berdiri di belakang pemerintah. Siapa pun orangnya, dari lapisan masyarakat mana pun bisa menjadi tukang kritik apabila diperlukan untuk mengawasi sebuah pemerintahan.

Ketika ada suatu permasalahan dalam pemerintahan dan terlihat mahasiswa hanya diam, pasti akan muncul pembicaraaan yang membandingkan mahasiswa angkatan milenial ini terlalu banyak diam di rumah atau kos-kosan dengan angkatan 65 atau 98 yang pergerakannya dinilai sangat progresif. Ketika terjadi hal seperti itu, mahasiswa bisa selalu dijadikan sasaran karena dinilai pasif, oportunis, dan apatis.

Namun ketika terjadi gejolak antara pemerintahan dan rakyat, kemudian mahasiswa turut andil sebagai penyampai lidah rakyat untuk pemerintah, di saat itulah serangan-serangan lain muncul dengan menuduh mahasiswa sekarang ini terlampau agresif dan dinilai sangat subversif. Terlalu ikut campur masalah yang terjadi dalam pemerintahan tanpa tahu sebab dan alasannya.

Dari kedua pandangan terhadap mahasiswa tersebut, sudah bisa terlihat ketika mereka (orang-orang pemerintahan) membuat sebuah aturan atau titah, mereka ingin disanjung dan dipuja. Namun, ketika aturan yang mereka buat justru menimbulkan chaos dalam masyarakat, di saat itulah mereka tidak akan menerima kritik dan mencari sesuatu untuk disalahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun