Pengangguran di Indonesia terus menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Pada Februari 2024, angka pengangguran tercatat mencapai 7,2 juta jiwa, atau 4,87% dari total angkatan kerja sebesar 147,71 juta orang. Namun, jika kita menggali lebih dalam, masalah utama bukan hanya soal jumlah, tetapi kualitas tenaga kerja yang seringkali tidak memiliki keterampilan memadai untuk berpindah ke industri-industri baru yang sedang tumbuh.
Munculnya industri baterai kendaraan listrik (EV) memberikan secercah harapan. Baik dalam sektor manufaktur maupun layanan purna jual, industri ini bisa menjadi solusi penting bagi masalah pengangguran di Indonesia. Namun, untuk meraih peluang tersebut, Indonesia harus segera mengedepankan reformasi pendidikan vokasional serta memperkuat reskilling dan upskilling, sehingga pendidikan dapat selaras dengan kebutuhan pasar kerja hijau yang semakin berkembang.
Pekerjaan hijau yang berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan semakin penting seiring dengan peralihan Indonesia menuju ekonomi yang lebih bersih. Industri EV, terutama dalam hal manufaktur dan pemeliharaan baterai EV, menjadi sektor strategis dalam transisi ini. Berdasarkan studi kami, sektor purna jual EV saja akan membutuhkan 1,6 juta tenaga kerja untuk pemeliharaan pada tahun 2025.
Ketika memperhitungkan keseluruhan rantai pasok baterai EV---mulai dari penambangan, manufaktur, daur ulang, hingga pengembangan infrastruktur---angka ini melonjak menjadi 3 hingga 4 juta tenaga kerja. Angka ini memberikan gambaran permintaan tenaga kerja yang signifikan, yang dapat menyerap sebagian besar pengangguran di Indonesia.
Namun, masalah tidak selesai di situ. Kesenjangan keterampilan antara apa yang dibutuhkan oleh industri seperti produksi baterai EV dengan apa yang ditawarkan oleh tenaga kerja saat ini sangat besar. Indonesia harus fokus pada persiapan tenaga kerja untuk pekerjaan hijau, atau green collar jobs, yang tidak hanya mendorong praktik berkelanjutan tetapi juga memberikan pekerjaan yang stabil dan layak.
Sistem pendidikan vokasional di Indonesia saat ini memainkan peran penting dalam mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk ekonomi hijau. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 292 Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah, 2.908 pusat pelatihan swasta, 3.757 BLK berbasis masyarakat, dan 79 BLK luar negeri.
Totalnya, pusat-pusat pelatihan ini memiliki kapasitas untuk melatih 5,77 juta orang per tahun dan mensertifikasi 8,87 juta orang. Namun, meskipun angka ini tampak menjanjikan, partisipasi dalam pelatihan vokasional masih rendah, dan kualitas pelatihan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Tantangannya terletak pada memastikan bahwa pusat-pusat pelatihan tersebut memiliki fasilitas dan kurikulum yang memadai untuk memberikan pengetahuan khusus yang diperlukan bagi pekerjaan hijau yang sedang berkembang. Saat ini, banyak program vokasional masih berfokus pada sektor-sektor tradisional, dengan keterbatasan koordinasi antara lembaga vokasional dan industri-industri baru seperti energi terbarukan dan manufaktur EV. Ketidaksesuaian keterampilan ini terutama terlihat di daerah-daerah terpencil di luar kota-kota besar.
Seiring Indonesia berupaya memposisikan diri sebagai pemimpin dalam rantai pasokan baterai EV global, kebutuhan untuk reskilling dan upskilling menjadi semakin mendesak. Reskilling berarti memberikan pelatihan ulang kepada tenaga kerja dengan keterampilan yang benar-benar baru agar dapat memenuhi permintaan di ekonomi hijau, sedangkan upskilling berfokus pada peningkatan keterampilan pekerja yang sudah ada di industri terkait.
Dalam konteks industri baterai EV, reskilling dapat melibatkan pelatihan mekanik otomotif untuk menangani kendaraan listrik, sedangkan upskilling dapat berfokus pada pelatihan pekerja yang ada untuk memasang dan memelihara stasiun pengisian EV atau mendaur ulang baterai bekas. Dengan berfokus pada area-area ini, Indonesia dapat mengurangi pengangguran sembari membangun ekonomi yang lebih berkelanjutan.