Namun, ada tantangan besar lainnya, yaitu keterbatasan jangkauan program vokasional yang ada. Meskipun terdapat hampir 7.000 pusat pelatihan di seluruh negeri, banyak wilayah---terutama daerah pedesaan---masih belum memiliki akses ke pendidikan vokasional berkualitas. Hal ini sangat bermasalah di daerah-daerah yang berpotensi menjadi pusat industri EV, seperti Sulawesi, yang kaya akan cadangan nikel.
Meskipun produksi baterai EV di bagian hulu mungkin sangat padat modal, sektor hilir---terutama dalam hal layanan purna jual dan daur ulang baterai---sangat padat karya dan siap untuk menciptakan banyak lapangan kerja. Pemeliharaan EV, misalnya, merupakan bagian vital dari layanan purna jual yang memerlukan banyak tenaga kerja terampil. Seiring dengan bertambahnya jumlah EV di jalan raya, akan muncul permintaan yang stabil untuk pekerja yang mampu menangani pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian baterai.
Selain itu, segmen hilir dari industri baterai EV, khususnya daur ulang baterai, juga menghadirkan peluang kerja padat karya lainnya. Daur ulang baterai melibatkan proses pembongkaran, pemulihan material, dan penanganan bahan-bahan berharga secara aman, yang menciptakan lapangan kerja yang dapat diakses oleh mereka yang memiliki pelatihan vokasional. Sektor ini juga mendukung upaya Indonesia dalam mengurangi limbah dan menggunakan kembali bahan-bahan berharga seperti litium dan kobalt, yang merupakan komponen penting baterai EV.
Indonesia dapat belajar dari Australia, yang telah berhasil menyelaraskan sistem pelatihan vokasionalnya dengan kebutuhan industri, khususnya di sektor-sektor yang sedang tumbuh seperti energi terbarukan dan kendaraan listrik. Sistem Technical and Further Education (TAFE) Australia bisa menjadi model yang diadopsi oleh Indonesia.
Pusat-pusat TAFE bekerja sama erat dengan industri untuk merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, memastikan lulusan siap bekerja begitu mereka menyelesaikan pendidikan. Australia juga proaktif mendukung sektor EV-nya, baik dalam hal manufaktur maupun layanan purna jual, yang menghasilkan tenaga kerja siap menghadapi tuntutan teknis yang diperlukan dalam pemeliharaan EV, pemasangan stasiun pengisian, dan daur ulang baterai.
Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa, dengan pusat-pusat vokasional yang bermitra dengan industri lokal untuk merancang dan menyelenggarakan program pelatihan yang memenuhi kebutuhan spesifik rantai pasok baterai EV. Dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa tenaga kerjanya siap memanfaatkan peluang pekerjaan yang muncul di sektor yang sedang berkembang ini.
Reformasi vokasional, reskilling, dan upskilling harus menjadi inti dari strategi ini. Jika Indonesia dapat berhasil menyelaraskan sistem pendidikannya dengan kebutuhan industri EV, bukan hanya pengangguran yang dapat ditekan, tetapi juga tercipta ekonomi yang lebih berkelanjutan dan tangguh bagi generasi mendatang. Waktunya bertindak adalah sekarang, dan industri baterai EV bisa menjadi kunci untuk membuka revolusi pekerjaan hijau di Indonesia.
*Ini adalah tulisan refleksi penulis pasca menjadi Selected Fellow for Aus4ASEAN Green Skills in TVET Short Course 2023 Australia Awards Short Term Scholarship
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H