Per 1 Desember 2021 hingga 31 Oktober 2022, sorot mata dunia internasional mengarah ke Indonesia. Menjadi sebuah kehormatan bagi bangsa kita untuk menyandang presidensi G-20. Tentu, itu bukanlah posisi yang sepele, karena mewakili lebih dari 60 persen populasi dunia dengan 80% produk domestik bruto (PDB) berkelindan di antaranya.Â
Singkat cerita, G-20 adalah platform strategis untuk mengusung agenda global, yakni pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Indonesia sendiri mengusung tema besar Recover Together, Recover Stronger yang kemudian dijabarkan ke dalam tiga agenda besar. Memperkuat arsitektur kesehatan global, memajukan transformasi digital yang inklusif, dan transisi energi.
Apabila ditinjau dari kacamata positivisme, keberadaan panggung presidensi G-20 di tanah air sangat sejalan dengan kepentingan nasional. Namun, akan penuh tantangan dalam realisasinya sepanjang ekonomi ekstraktif masih mengakar di Indonesia. Bagaimanapun, ekonomi ekstraktif adalah antitesis dari pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Saya lantas teringat dengan pemikiran John Madeley dalam buku Big Business, Poor Peoples. Bagaimana ekonomi ekstraktif yang digawangi oleh perusahaan transnasional memiskinkan sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam.
Apabila kita sabar menelusuri sejarah ekonomi politik Nusantara, kita akan menemukan pembelajaran penting dari Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Suka ataupun tidak, VOC adalah The Godfather-nya ekstraktivisme di Nusantara. Sebuah badan usaha milik Kerajaan Belanda yang disebut-sebut sebagai pionir korporasi transnasional.Â
Menguasai bumi Nusantara selama 196 tahun lamanya (1602-1798), VOC adalah cetak biru ekonomi ekstraktif. Mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemudian mengekspornya. Karakter eksploitatif ini disokong oleh jejaring kuasa politik dan sistem koruptif.
Tahun 1799, VOC resmi runtuh. Lantas, apakah ekonomi ekstraktif turut runtuh? Nyatanya tidak! Cetak biru ekstraktivisme itu terus hidup dan berevolusi sampai hari ini. Apabila menilik fakta lapangan, porsi ekonomi ekstraktif di Indonesia masih besar. Ambil contoh tahun 2019, ekspor komoditas primer Indonesia mencapai 39%, jauh lebih besar ketimbang Vietnam yang tidak sampai 3%.Â
Lebih jauh, KPK menyibak gurita penguasaan sistem dan struktur kuasa yang dikendalikan oleh segelintir orang. Mereka mampu meraup ragam keuntungan ekonomi dan politik dengan cara yang sistematis. Hal ini terjadi pada sektor kehutanan, perkebunan sawit, tambang, dan perikanan. Merunut data tahun 2017, kontribusinya mencapai 1.480,04 triliun rupiah atau 10.98 persen dari PDB Indonesia.Â
Namun, sumbangannya pada penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak tidak sampai 100 triliun rupiah. Sungguh rasio pajak yang amat rendah, hanya 3.87 persen. Sebagai tambahan, data rasio gini penguasaan lahan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 ada pada 0,68. Satu persen penduduk Indonesia menguasai 68 persen lahan!
Demikianlah wajah ekonomi ekstraktif kita yang akan menjadi bagian dari panggung presidensi G-20. Sebuah tantangan untuk banting setir dan lebih mengedepankan agenda pembangunan berkelanjutan dan melebarkan sayap inklusivitas di semua lini. Atau, presidensi G-20 Indonesia hanya menjadi platform seremonial, meminjam istilah FX Laksana, untuk melanggengkan sihir 400 tahun ekstraktivisme VOC di Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H