Oleh Wahyu Sudrajat[1]
Pendahuluan
Hakim adalah Pelaku dan Pelaksana nyata serta terdepan di dalam melakukan kekuasaan Kehakiman. Tanpa Hakim, maka Mahkamah Agung, Badan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama dan militer ataupun Mahkamah Konstitusi hanya akan menjadi Badan Negara yang Abstrak sehingga secara In konkreto, Personifikasi kekuasaan Kehakiman berada didalam diri Para Hakim. Demikian kesimpulan pendapat Almarhum Prof. Dr. H.M. Koesnoe, S.H. yang dapat penulis tangkap dalam buku beliau yang berjudul “Kedudukan dan Tugas Hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945”[2].
Gambaran Prof. Koesnoe yang mendudukan hakim sebagai pelaksana salah satu pilar Negara yaitu Kekuasaan Kehakiman jika dimaknai lebih jauh akan berarti sebagai berikut “Tanpa hakim maka tidak ada kekuasaan Kehakiman dan karena Kekuasaan Kehakiman adalah salah satu pilar Negara, ketiadaannya akan menyebabkan rusaknya tatanan bernegara.”
Oleh karena hal tersebut, maka Prof. Koesnoe berpendapat Hakim adalah Pejabat Negara yang tugasnya bukan hanya semata-mata melakukan peradilan dengan menegakkan UU dan peraturan lainnya, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai Pelaku nyata Kekuasaan Kehakiman[3];
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Jimly Asshidiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga Mantan Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi dalam website pribadinya ketika menjawab pertanyaan penulis, menyatakan Hakim adalah pejabat negara yg berhormat, maka kedudukannya sama di hadapan hukum. Atasannya hanya Tuhan, meskipun secara administratif tetap harus tunduk kepada prosedur administrasi negara, seperti soal anggaran dan sebagainya[4].
Setelah menyimak beberapa paragraph diatas, muncul sebuah pertanyaan, sudah sedemikiankah kedudukan Hakim di Negeri kita tercinta ini?
Fakta Empiris
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah, sejak mula berdirinya NKRI sampai dengan masa berlakunya Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999, secara empiris, di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, Hakim bukanlah termasuk dalam kategori Pejabat Negara. Hakim hanyalah salah satu jabatan diantara sekian banyak jabatan yang masuk dalam kategori Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai PNS, Hakim hanyalah pegawai yang bekerja kepada Negara dan Negara memberinya tugas semata-mata melakukan peradilan dengan menegakkan UU dan peraturan lainnya. Tentu saja hal tersebut secara drastis sangat berbeda dengan yang dimaksud Hakim sebagaimana gambaran Prof. Koesnoe diatas;
Sehingga tidak mengherankan, pada zaman orde lama dan orde baru, banyak pihak yang menuduh Hakim hanyalah sebagai alat dari kekuasaan semata atau yang lebih merendahkan lagi, Hakim hanyalah stempel untuk mengesahkan kebijakan penguasa. Hal tersebut wajar terjadi, jika mengingat status Hakim sebagai Pegawai negeri Sipil (PNS).
Pegawai Negeri tugasnya ialah menyelesaikan persoalan yang dihadapi yang ada dan termasuk dalam lingkungan birokrasi yang menjadi tanggung jawab badan eksekutif. Dalam memberikan penyelesaian itu, pegawai negeri tunduk kepada suatu instruksi yang hierarchies. Bagi Pegawai negeri berlaku prinsip yaitu bawahan harus menerimadan menjalankan instruksi dari atasannya. Baginya tidak dibenarkan menyalahi instruksi atasan[5]. sedang atasan berhak dan berkewajiban memberi instruksi tentang bagaimana melakukan tugas-kewajiban pegawai bawahan dalam lingkungan jabatannya[6].Artinya Hakim sebagai PNS sudah merupakan kewajiban baginya menjalankan perintah yang dikeluarkan oleh Atasannya dalam struktur PNS.
Pasca Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999
Ketika kekuasaan Orde Baru tumbang oleh gerakan Reformasi, perubahan pada atmosfer kekuasaan tersebut telahberdampak pada beberapa lini kehidupan bernegara Bangsa Indonesia termasuk salah satunya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Lahirnya Undang-Undang tersebut membawa perubahan salah satunya pada kedudukan status Hakim.
Pasal 1 Angka 4, Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890) adalah peraturan pertama yang mendudukan Hakim dalam sistem kepegawaian Negara dalam statusnya sebagai Pejabat Negara.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang tersebut dinyatakan salah satu kategori Pejabat Negara adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan.
Pernyataan Hakim sebagai Pejabat Negara dalam Undang-Undang Nomor 43 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian merupakan sebuah langkah sejarah yang membuka fajar harapan bagi penempatan status Hakim pada kedudukan yang seharusnya. Tapi alangkah disayangkan Undang-Undang tersebut tidak memberikan perubahan berarti pada keadaaan Hakim senyatanya di lapangan. Tidak ada tindak lanjut yang dapat dicatat berkait dengan perubahan status tersebut yang memberi hikmah perjuangan Hakim untuk mendapat pengakuan yang layak sesuai konstitusi belum berakhir dan harus dilanjutkan.
Hakim sebagai Pejabat Negara, hanya berlaku secara Signifikan terhadap Asuransi Kesehatan (ASKES) yaitu Hakim yang masih golongan III disamakan dengan Hakim golongan IV sehingga dimasukan pada Askes bagi golongan IV secara otomatis dan mendapat pelayanan “kelas I” . Hal tersebut menjadikan Pasal 11 UU No. 43 Tahun 1999 bagaikan Macan kertas yang tanpa taji dan tanpa gigi. Yang lebih parah lagi, pasca penerapan Undang-Undang tersebut, Hakim bagaikan Jabatan yang berkelamin ganda. Di satu sisi dia adalah PNS tetapi di sisi yang lain dia adalah Pejabat Negara. Dampak buruknya adalah pada tahun 2009 sampai 2012 ketika PNS mendapatkan kenaikan gaji, ternyata Gaji Hakim tidak berubah dengan alasan Hakim penggajiannya tersendiri sebagai Pejabat Negara. Akan tetapi ketika Para Pejabat Negara mendapat berbagai macam Fasilitas, Hakim hanya bisa gigit jari dikarenakan satu alasan, Hakim adalah Pegawai Negeri Sipil.
Meskipun demikian, isu tentang Hakim sebagai Pejabat Negara di kalangan para Hakim, tidak pernah reda, ia menghilang hanya laksana pergantian musim, datang bagaikan angin surga dan pergi seperti hujan yang telah berhenti, terus datang silih berganti. Ada yang tetap berharap dan ada juga yang kehilangan asa sehingga menyandarkan diri kepada takdir yang sepertinya telah berakhir.
Angin Surga itu datang kembali pada tahun 2009 dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 19 Undang-Undang tersebut dinyatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang” dan kemudian pernyataan Pasal 19 tersebut makin dikukuhkan dengan Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan "Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung." Sebuah catatan sejarah kembali terukir dan bahkan sepertinya akan semakin indah ketika pada waktu yang tidak berjarak terlalu jauh yaitu pada akhir tahun 2009 dan awal 2010 berhembus isu reformasi birokrasi yang salah satunya adalah reformasi penataan pejabat Negara yang akan ditindak lanjuti dengan perbaikan penghasilan pejabat Negara melalui Tunjangan Kinerja Pejabat Negara. Harapan-pun makin membuncah di dada para Hakim.
Namun ketika hari berganti hari, para hakim mendapati suatu kenyataan, semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut ternyata hanya macan kertas. Tidak ada tindak lanjut pemerintah atas kebijakan undang-undang tersebut. Hak-hak Hakim sebagai pejabat Negara diabaikan sama sekali oleh pemerintah. Yang lebih memilukan, dengan keluarnya PP nomor 15 tahun 2012 untuk pertama kalinya dalam sejarah besaran gaji hakim tersalip oleh gaji PNS. PNS pangkat golongan III/a masa kerja 0 tahun bergaji lebih besar Rp.87.500,- dibanding hakim dengan pangkat golongan dan masa kerja yang sama. Kebijakan ini secara tidak langsung menunjukan Hakim dalam pandangan pemerintah lebih rendah derajatnya daripada PNS. Ironis.
PENUTUP
Seorang rekan penulis sesama hakim dalam sebuah tulisannya menyatakan, “… kami, khususnya saya sebagai Hakim Pengadilan Negeri tidak sedikitpun terpercik keinginan dan mengiba-iba untuk memperoleh status sebagai “pejabat negara” .. sama sekali tidak, saya yakin Hakim di seluruh Indonesia sudah sangat berat dengan status, tanggung jawab yang diamanahkan sebagai seorang HAKIM .. tanpa embel-embel Pejabat Negara.” Sejalan dan bersepakat dengan hal tersebut, tulisan ini bertujuan sebagai sebuah wacana agar tatanan kenegaraan bangsa ini menjadi lebih tertata.
Dalam tanya jawab di website pribadinya, Prof.Jimly Asshidiqie member jawaban atas pertanyaan yang diajukan penulis dengan menyatakan “Saya sendiri setuju dan memang begitulah pendapat saya, yaitu bahwa hakim itu seluruhnya adalah pejabat negara, tapi sekarang kita masih terbentur dengan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan status hakim sebagai PNS yang diangkat menjadi hakim. Sistem kepegawaian hakim masih dirumuskan sebagai bagian dari pengertian PNS. Ini harus diubah dulu baru kita bisa memperbaiki seluruhnya[7]” dan atas pertanyaan yang lain, beliau menyampaikan “iya, tapi sampai sekarang yang berlaku adalah hakim diangkat sebagai PNS. Inilah yang mesti diubah dengan sekaligus menegaskan status hakim sebagai pejabat negara dan bukan lagi PNS, sehingga semua hakim benar-benar diperlakukan sebagai pejabat negara dengan segala hak-haknya seperti tunjangan pejabat negara dan sebagainya. Penegasan demikian harus dengan PP berdasarkan dengan UU yang ada, jika tidak maka hakim akan tetap seperti sekarang. Yang diperlakukan sebagai pejabat negara sekarang hanya hakim agung dan hakim konstitusi saja, sedangkan hakim di tingkat pertama & kedua, tidak dianggap sebagai pejabat negara. Secara yuridis, penyebutan sebagai pejabat negara itu berkaitan dengan hak-hak administratifnya dengan konsekwensi tunjangan dan sebagainya. Untuk semua ini diperlukan penegasan dalam peraturan pelaksana UU No. 48/2009 yang saudara sebut diatas, termasuk juga dalam proses pengangkatan hakim, dan sistem kepangkatannya jangan lagi mengikuti PNS, misalnya dengan menggunakan sistem penggolongan yaitu Golongan III A, B, C, D, dan Golongan IV A, B, C, D, dan E. Sistem penggolongan ini yang menentukan hak-hak dan kewajiban para hakim dalam sistem administrasi negara[8].”
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan “Kedudukan Protokol Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan Presiden”. Tetapi sampai lebih dari 20 tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan dalam lembaran Negara dan bahkan sampai Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang yang baru, Keputusan Presiden yang diamanatkan Undang-Undang tersebut tidak pernah keluar. Ketika UU Keprotokolan disahkan pada tahun 2011 protokol Hakim tingkat pertama dan tingkat banding diabaikan sama sekali padahal dalam UU tersebut protokol kepala desa saja diatur. secara politis berdasarkan UU Keprotokolan dapat dipandang Eksekutif dan Legislatif memang memandang rendah jabatan hakim dan mendudukannya lebih rendah dari PNS dan Kepala Desa. Akankah status Hakim sebagai Pejabat Negara yang tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bernasib sama dengan ketentuan Protokol Hakim? Sang Waktu yang akan menjawabnya.
[1] tulisan ini pernah dimuat di akun facebook penulis dengan judul "Qua Vadis Status Hakim" (menjelang pembahasan RUU Keprotokolan pada awal tahun 2011 dan dimuat kembali dengan beberapa penyeseuaian dengan kekinian.
[2] Koesnoe, “Kedudukan dan Tugas Hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945”, (Surabaya:Ubhara Press ,1998).
[3] Ibid
[4] http://www.jimly.com/tanyajawab
[5] Koesnoe, Op.cit. hal 66
[6] Ibid
[7] http://www.jimly.com/tanyajawab
[8] Ibid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H