Oleh WAHYU SUDRAJAT
Sudjito (Kompas, 02/03/2012) menyatakan ada empat tipe Hakim. Hakim “pedagang”, hakim “budak” majikan, hakim sosiologis kultural serta hakim spiritual-religius.
Terhadap semua tipe tersebut, Kekuasaan Pemerintahan Negara dibawah rezim SBY tampaknya lebih mendorong lahirnya hakim tipe pertama dan kedua tetapi tidak untuk selebihnya.
Diantara tiga kekuasaan utama Negara, Alexander Hamilton menyatakan : It proves incontestably, that the judiciary is beyond comparison the weakest of the three departments of power. Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang paling lemah. Salah satu pijakan Hamilton adalah pernyataan Montesquieu yang menyatakan : Of the three powers above mentioned, the judiciary is in some measure next to nothing.
Hukum Tata Negara Darurat
Namun hal itu sebenarnya tergantung dari sudut pandang mana perhitungan tersebut dilakukan.
Jika seorang Presiden berhalangan secara permanen dengan alasan apapun, maka Wakil Presiden akan segera menjalankan jabatan Presiden. Jika dalam saat bersamaan Presiden dan Wakil Presiden berhalangan secara permanen maka jabatan Presiden akan dijalankan oleh tiga menteri utama yang disebut triumpirat yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan. Artinya skenerio darurat telah tersedia.
Demikian juga dengan DPR. Jika saja seluruh anggota DPR berhalangan tetap secara bersamaan maka KPU dengan mudah akan dapat menetapkan para penggantinya. Para calon anggota DPR yang jumlah suara pemilihnya berada dibawah para anggota DPR terpilih dengan sukahati dilantik sebagai anggota DPR yang baru.
Berbeda dengan kedua Kekuasaan Negara tersebut. Jika secara bersamaan seluruh hakim pada semua badan peradilan dari tingkat pertama sampai tingkat tertinggi tiba-tiba berhalangan baik tetap maupun tidak maka dalam waktu yang tidak akan singkat kekuasaan kehakiman akan mengalami kekosongan.
Tidak mudah untuk menetapkan pengganti hakim. Tidak semua sarjana hukum dapat begitu saja ditunjuk sebagai hakim. Tidak pula para advokat, jaksa atau bahkan para profesor ahli hukum sekalipun jika secara terpaksa dengan alasan darurat Negara harus menunjuk mereka sebagai hakim. Tidak hanya pengetahuan hukum, pengalaman praktek sangat menentukan bagaimana tugas hakim dijalankan dengan benar. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk menyiapkan orang agar dapat menjalankan profesi tersebut.
Oleh karenanya jika tiba-tiba seluruh hakim di Indonesia menyatakan mogok sementara atau permanen maka Negara harus menerima konsekuensi terjadinya kekacauan.
Kenapa demikian? Karena kosongnya jabatan hakim akan berdampak pada banyak hal. Bukan sekedar tidak ada sidang di ruang-ruang pengadilan, efek domino yang akan membahayakan kehidupan bernegara dapat terjadi. Ribuan perkara perdata, pidana, tata usaha dan militer akan terbengkalai, ribuan perkara yang telah ada di tingkat kepolisian dan kejaksaan tidak dapat diteruskan ke pengadilan, ribuan tahanan di seluruh pelosok negeri yang masa tahanannya tidak diperpanjang karena ketiadaan hakim harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Oleh karenanya, lemahnya Kekuasaan Kehakiman dibanding kekuasaan Negara yang lain tidak mutlak. Dalam hal tertentu Kekuasaan Kehakiman bisa menjelma menjadi kekuasaan yang sangat menentukan bagi Negara.
Kekuasaan Hakim bersifat atributif langsung dari konstitusi. Hakim adalah pelaksana nyata kekuasaan kehakiman. Tanpa hakim maka semua badan peradilan hanyalah lembaga abstak. In konkreto kekuasaan kehakiman ada dalam diri para hakim.
Perlakuan kekuasaan pemerintahan terhadap Hakim
Pada akhir masa orde baru, presiden Soeharto membuat keputusan bersejarah dengan menaikan gaji hakim dua kali lebih besar dari gaji PNS. Tapi keadaannya menjadi terbalik pada pemerintahan SBY. SBY mentelantarkan gaji hakim selama empat tahun berturut-turut dikala Pemerintah pada saat yang sama menaikan gaji PNS secara terus menerus. Bahkan tunjangan hakim selama 11 tahun tidak pernah berubah. Walhasil dengan keluarnya PP nomor 15 tahun 2012 untuk pertama kalinya dalam sejarah besaran gaji hakim tersalip oleh gaji PNS. PNS pangkat golongan III/a masa kerja 0 tahun bergaji lebih besar Rp.87.500,- dibanding hakim dengan pangkat golongan dan masa kerja yang sama.
Sungguh sebuah Ironi. Jabatan Negara dengan segudang beban dengan beresiko tinggi dihargai lebih rendah dari pegawai. Inilah salah satu paradoks di era reformasi yang telah diciptakan oleh rezim SBY.
Pada tahun 2007 di gedung Mahkamah Agung Presiden SBY berjanji akan meningkatkan kesejahteraan hakim sebagai salah upaya pemberantasan korupsi. Tapi sang panglima besar pemberantasan korupsi itu tampaknya telah lupa akan janjinya. Kesejahteraan Hakim diabaikan. Hal ini adalah pelecehan terhadap Kekuasaan Kehakiman. Kesejahteraan hakim adalah salah satu kunci kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang diamanatkan konstitusi.
Ancaman mogok sidang
Keadaan yang makin memprihatinkan di tengah tekanan ekonomi yang makin menghimpit telah membuat hakim-hakim terutama di daerah mulai kembali bersuara. Melalui akun di sebuah jejaring sosial hakim-hakim mulai menggalang kekuatan untuk melakukan aksi mogok sidang. Sesuatu yang juga pernah dilakukan para hakim pada awal kemerdekaan ketika penguasa orde lama merendahkan derajat mereka.
Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang saat itu baru dibentuk menjadi motor aksi tersebut. Tetapi karena tidak direstui oleh para petinggi Mahkamah Agung waktu itu yang sangat pro pemerintah dan kondisi politik yang tidak menguntungkan membuat aksi mogok sidang tersebut menjadi berhenti di tengah jalan.
Roda sejarah tampaknya telah memberi kesempatan aksi tersebut terulang. Penggalangan aksi mogok sidang yang digalang hakim-hakim mulai menggeliat kembali. Apalagi momentumnya ada pada jalur yang tepat.. Ketua Mahkamah Agung saat ini yaitu H.M. Hatta Ali adalah juga Ketua Ikahi. Hakim-Hakim di seluruh Indonesia sangat berharap Ketua Mahkamah Agung sebagai sang Primus Inter Pares (yang Ter-utama diantara sejawat) mampu menyadari momentum ini Oleh karenanya, bola gerakan sebenarnya ada di tangan sang Primus Inter Pares. Apakah ia akan memilih menggelindingkannya sesuai dengan aspirasi dari hakim-hakim atau tidak.
Presiden SBY tampaknya belum berhitung dengan benar terhadap kekuatan Kekuasaan Kehakiman. Seandainya sang Primus Inter Pares mau unjuk kekuatan terhadap presiden. Keadaannya terhadap medan politik Presiden SBY bisa sangat runyam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H