Mohon tunggu...
Wahyu Noliim Lestari Siregar
Wahyu Noliim Lestari Siregar Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Jangan Takut Bermimpi, dan Lukiskanlah itu dalam Kanvas Dunia mu yang Nyata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teologi Tuhan Mati Menurut F W Nietzshe

1 Juli 2016   07:25 Diperbarui: 2 Juli 2016   20:22 2263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Kita telah mengikuti bagaimana kepercayaan dan kekuatan rasio manusia dalam rasionalisme dan empirisme berangsur-angsur memuncak pada zaman pencerahan dan juga sesudahnya dihadapi dengan sikap kritis. Dari hal ini kelihatan apa yang digempur oleh para filsuf modern, yakni alam pikir tradisional sebagaimana tampil dalam bentuk agama, takhayul-takhayul dan metafisika tradisional. Mereka berusaha memahami kenyataan dengan kekuatan-kekuatan kodrati manusia, yaitu rasionya. Pertanyaan-pertanyaan lahir kepada agama yakni pertanyaan kepada Dia yang berkuasa dan yang menjadi titik ajaran dalam agama. Keberadaan dan kesiapaan Allah dipertanyakan. Apakah Allah itu benar-benar ada?

II.    Latar belakang historis teologi “Tuhan Mati” menurut F. W. Nietzsche

Pada abad ke-19 dan ke-20, gereja-gereja di Eropa mendapat banyak dukungan dan penghormatan dari pihak pemerintah di mana gereja Eropa merupakan gereja-mayoritas yang selalu mendapat dukungan baik itu dalam dana maupun jabatan. Akan tetapi, gereja juga mendapat tantangan dari pihak masyarakat di mana berkembangnya filsafat dan sosialisme. Tantangan dari sudut sosialisme, yaitu pertumbuhan teknologi yang menjadikan manusia menjadi manusia yang individualis dan dari dunia filsafat, yakni lahirnya para filsuf kritis yang mengupas dogma gereja dengan memperbandingkan atau membahasnya dalam sudut filsafat serta rasio. Dalam sudut filsafat ini, penulis mengambil satu dari sekian banyak tokoh filsafat abad ke-19 dimana dia memiliki ciri khusus dalam berfilsafat terutama mengenai teologi “Tuhan Mati”. Tokoh itu adalah F.W. Nietzsche. Untuk dapat memahami pemikiran filsafatnya, maka kita perlu pertama sekali mengikuti riwayat hidup Nietzsche.

2.1 Riwayat hidup Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900)

Mereka yang hanya tahu karya-karyanya tanpa mengetahui riwayat hidupnya akan terkejut, sebab filsuf yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Röcken di wilayah Sachsen ini adalah seorang anak laki-laki berperangai halus dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh. Ayahnya, Karl Ludwig adalah seorang pastor Lutheran dan ibunya, Franziska seorang yang berkemauan keras berharap agar kelak putra sulungnya itu menjadi seorang pendeta. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 5 tahun. Ia tinggal di lingkungan keluarga ibunya yang kebanyakan perempuan. Teman-teman sekolahnya menjulukinya “si pendeta kecil”. Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, setelah itu ia masuk di Universitas Bonn dan Leipzig. Disana ia belajar mengagumi semangat Yunani, belajar bahasa Latin dan bahasa Yunani. Di Bornn bersama-sama dengan temannya Pforta yang kemudian termasyhur sebagai pemikir dan filsuf, Paul Deussen. Pada tahun 1865, di Leipzig dia belajar Filologi dibawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota inilah secara kebetulan di tukang loak dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung (Dunia sebagai kehendak dan Idea). Dia membaca dan merenungkan isi buku tersebut dan pada akhirnya ia meninggalkan agamanya. Tidak ada seorang pun ahli yang benar-benar dapat mengungkap agama yang dipercayai oleh Nietzsche, namun banyak ahli berpendapat bahwa pada akhirnya Nietzsche menjadi seorang yang Ateis, bukan Ateis murni.

Pada tahun 1867 studinya terputus ketika dia diminta untuk menunaikan wajib militer di bagian artileri di sebuah barak di Naumburg. Karena terjatuh dari kudanya dan terluka, dia kembali ke Leipzig dan kembali belajar. Dari situ ia banyak bergaul dengan Richard Wagner, komponis termasyhur yang waktu itu sangat dikaguminya. Persahabatannya dengan Wagner itu mempengaruhi tulisannya pada periode pertama riwayat intelektualnya, Die Geburt der Tragödie aus dem Geiste der Musik (Asal-usul Tragedi dari Semangat Musik). Atas rekomendasi profesornya, meskipun belum berumur 25 tahun dan belum mencapai doktorat, ia diangkat menjadi profesor di Basel, Swiss. Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan empat buah esai dengan satu judul umum Unzeitgemässe Betrachtungen (Kontemplasi-kontemplasi Tak Aktual). Pada tahun 1876, dia menerbitkan esai keempat yang berjudul Richard Wagner in Bayreuth dan pada saat ini hubungannya dengan Wagner retak. Nietzsche merasa diperalat dan salah sangka, bahwa musik Wagner merupakan kelahiran kembali seni Yunani kuno, sebab ternyata akhirnya Wagner lompat ke iman Kristen.

Pada tahun 1878-1879 merupakan periode positivistis yang ditandai dengan karyanya Menchliches, Allzumenschliches (Manusia, Terlalu Manusia). Kesehatannya memburuk dan ia menjadi sakit-sakitan serta merasa kesepian oleh karena banyak orang tidak memahami pikiran-pikirannya. Sejak itu ia mengembara mulai dari Jerman, ke Italia, ke Swiss, dan sementara itu menghasilkan karya-karyanya yang paling besar, seperti Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra), Jenseits von Gut und Böse (Di Seberang yang Baik dan yang Jahat), Zur Genealogie der Moral (Tentang Asal usul Moralitas), Der Anti-christ (Sang Antikristus) dan Ecce Homo (Itulah Manusia). Dua buku terakhir itu tidak hanya dipenuhi sanjungan-sanjungan diri, tapi juga ditulis untuk menghancurkan moralitas dan agama Kristen yang menurutnya mengisap darah manusia yang hidup.

Tahun 1889 ia jatuh sakit jiwa dan tidak dapat sembuh lagi. Sebelum kewarasannya hilang ia masih sempat menuliskan surat-surat ganjil kepada teman-temannya. Misalnya, dia memperkenalkan dirinya sebagai Ferdinad de Lesseps, atau sebagai “Yang Tersalib”, dan bahkan sebagai Allah sendiri.Nietzsche di bawa ke Sachsen dan dirawat oleh saudarinya, Elizabeth yang dengan setia merawatnya sampai dia meninggal dunia di Weimar pada 25 Agustus 1900 karena pneumonia.

2.2 Latar belakang lahirnya teologi “Tuhan Mati”

Wacana spiritualitas menjadi topik utama yang melanda dunia mulai dari masa pencerahan sampai dengan zaman modern yang kian ringkih dan gemetaran berdiri di atas kakinya sendiri. Bumi yang telah merindukan kuburnya ini, bahkan untuk bernafas pun ia telah tersengal-sengal akibat jutaan polusi nuklir dan zat kimiawi lainnya, menjadi bumerang bagi temuan-temuan teknologis manusia yang menegasi fitrahnya sebagai homo religious. Ketika Tuhan menciptakan manusia dalam citra-Nya, sebenarnya Ia sedang menciptakan sebuah ukuran. Persepsi manusia terhadap dunia berpasangan dengan kehendak kreatif Tuhan. Namun oleh karena arogansi manusia dalam penegasian bagian-bagian empiris dari perwujudan kehendak Ilahi maka matilah nilai sakral dan misterius secara psikologis dan fisis. Matinya nilai mistis tersebut menjadikan manusia di dunia sekuler seperti seonggok mesin yang hanya bekerja untuk kepuasan dan kejayaannya sendiri. Oleh karena dorongan inilah maka posisi Tuhan dalam diri manusia dimundurkan jauh-jauh dan bahkan mungkin telah musnah dari dalam diri manusia. Tuhan yang menjadi tidak penting dalam hidup manusia menimbulkan pertumbuhan perbudakan, kekerasan, penindasan dan imperialisme. Majunya ilmu pengetahuan menjadikan manusia mencari keberadaan Allah dalam dunia ide.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun