Mohon tunggu...
Wahyu Setyo Budhi
Wahyu Setyo Budhi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a chemist, an activist, adventurer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ceracau tentang Waktu: Perjalanan Tahun Keempat

4 September 2012   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:55 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa lalu, bisakah kita sekedar bertemu kembali dengan utuh? Apakah semuanya (memang) tidak akan pernah kembali (lagi)? Atau apakah teori yang menyebutkan bahwa sejarah akan kembali terulang itu benar adanya? atau apakah Tuhan (memang) tidak sudi mengembalikan waktu terdahulu untuk membuat semua orang berpikir tentang sebuah kesyukuran dan tahu bagaimana caranya bersyukur?

Dua hari menjalani hidup sebagai Mahasiswa tahun keempat, dan kemudian mendapati sebuah kenyataan bahwa dirinya (ternyata) belum cukup siap untuk menerima kenyataan bahwa dirinya sudah tak “muda” lagi. Time flies so fast, and he grows older. Tatapan keceriaan Mahasiswa angkatan 2012 yang mendapati dirinya telah menjadi seorang Maha-siswa, ternyata berbanding lurus dengan tatapan nanar para Mahasiswa “tua” yang merindukan “masa muda” nya dulu. Terlalu banyak hal yang tak dilakukan di masa lalu, mungkin menjadikan sebuah penyesalan tersendiri bagi sebagian Mahasiswa yang (setidaknya mungkin) mau berpikir.

Dua hari yang (memang) tidak nyaman, dua hari yang entah mengapa menjadi dua hari paling membosankan ketika berstatus sebagai seorang Mahasiswa. Lahir menjadi seorang Mahasiswa baru di tahun 2009, menjalani hidup sebagai seorang (yang katanya) aktivis kampus, (mencoba) hidup di lingkungan yang heterogen diluar sana sebagai Liaison Officer dan Volunteer dalam berbagai kesempatan, bertukar pikiran dan tenaga di proyek penelitian, bergulat dengan ­e-mail dan berbagai aplikasi-aplikasi yang berkaitan dengan youth empowerment, menjadi program director dalam sebuah proyek besar dari salah satu badan PBB, dan mencoba berjejaring dengan pemuda-pemuda tangguh diluar sana yang selalu memberikannya inspirasi-inspirasi segar. Kemudian (pada akhirnya), tibalah hari ini, hari kedua, hari kedua yang membuatnya sadar bahwa apa yang dilakukannya di masa lalu belumlah cukup untuk sekedar menguatkan dirinya dihari ini.

Usia yang akan menginjak 21 tahun dalam beberapa hari kedepan, membuatnya semakin berpikir bahwa dia (sepertinya) belum melakukan apa-apa. Manusia memang tidak pernah puas, namun dia yakin bahwa rasa syukur itu harus tetap ada. Dirinya memang tidak terbiasa tidak melakukan “apa-apa” selama tiga tahun belakangan, ada saja yang membuatnya harus pergi jam 7 pagi, dan baru pulang ke kamarnya jam 9 malam, terjadi hampir setiap hari, dan terjadi dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Dia sadar bahwa dirinya merindukan itu semua, sadar bahwa itu semua, semua yang telah dia lakukan di masa lalunya itu (akan) berdampak positif terhadap dirinya kelak. Tidak ada sedikitpun penyesalan dalam dirinya atas apa yang telah dia “ambil” dan lakukan.

Hari ini, dia belajar akan satu hal tentang sebuah kesyukuran, dirinya belajar untuk bersyukur bahwa dirinya yang terdahulu, diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bisa merasakan kesibukan yang kini dirinya amat rindukan, bersyukur dengan pengalaman-pengalaman yang cukup berharga yang bisa diceritakan nanti ke anak dan cucunya kelak, dirinya bersyukur telah diberkati Tuhan dengan segala tantangan yang dihadapinya saat tahun-tahun terdahulu.

Sebuah doa yang ia bisikkan dalam kesantunan hubungannya dengan Tuhan, salah satunya adalah agar beliau, sang maha pemilik hidup itu tetap sudi memberkatinya hingga dirinya bisa mendapatkan gelar sarjana, dirinya berdoa dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan akan mengiringi langkah-langkahnya dan menjadikan segala kebosanan ini menjadi sebuah pelajaran-pelajaran tentang bagaimana caranya lebih bersyukur, dirinya yakin bahwa Tuhan setidaknya sudi menjaganya ketika dirinya tak lagi berada dalam kesibukkan itu, dirinya yakin bahwa setidaknya Tuhan akan mendengar setiap harapan yang diucapkannya dengan lirih. Everything happens for a reason dan dirinya (masih tetap) yakin akan hal itu.

Dirinya yakin, tak ada gunanya untuk terus mengutuki diri sendiri, tak ada gunanya menyesal, dan tak ada gunanya bertanya mengapa hal ini (ternyata) terjadi. Tuhan telah menggariskan ini semua, dan apa yang dia harus lakukan setidaknya adalah berbuat yang terbaik, sejauh yang dia bisa lakukan, dan semaksimal mungkin dari jatah kekuatan Tuhan yang beliau berikan. Hidup adalah hanya soal memilih pilihan-pilihan, dan dibalik pilihan itu, dirinya pun yakin bahwa Tuhan (akan) menyematkan berbagai pelajaran.

“Tahun keempat, tahun dimana titik kulminasi itu terbentang sejauh bagaimana kita mau berpikir”

WAHYU SETYO BUDHI

Dalam sebuah renungan tentang menyulam masa depan

Yogyakarta, 4September 2012

23.18 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun