Mohon tunggu...
Wahyu Sastra
Wahyu Sastra Mohon Tunggu... -

.... Sebagai MANUSIA, aku merasa begitu SEMPURNA! Kekuranganku hanya satu, yaitu: "Ternyata AKU TIDAK PUNYA KELEBIHAN APA-APA!" He.. he.. he..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Traffic Light

13 Januari 2011   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:38 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merah

Semua kehidupan di rimba raya terhenti. Kecepatan dikurangi. Bus-bus bertingkat berhenti. Sepeda-sepeda motor mengurangi putaran mesin. Rem ditekan sempurna. Puluhan muka berpeluh, tak melirik satu sama lain. Acuh. Masing-masing sibuk dengan pikiran-pikiran sendiri-sendiri. Beberapa orang mengeluh, menyumpahi lajunya waktu yang begitu lambat.

Tik.. tok.. tik.. tok..

Putaran jarum jam di tugu Sudirman terasa diperlambat, entah oleh siapa, seolah tersenyum sinis pada muka-muka durjana pengendara yang diperdaya waktu. Semua serba buru-buru. Beberapa detik lagi…

***

Mati gue! Bisik perempuan muda di balik kemudi Jazz. Arisan sudah dimuali 15 menit lalu. Itu artinya aku akan terlambat untuk memperlihatkan kalung berlianku pada suz Neny. Traffic light brengsek! Umpatnya dalam hati.

Memangnya kau saja, umpat pria tambun di belakang Limosin, beberapa jengkal dari Jazz. Tangannya sibuk membuka-tutup key pad ponsel layar gesernya. Sesekali bersendawa. Dia pikir betapa marah istrinya kalau tahu hari ini dia tak benar-benar pergi meeting seperti yang dikatakannya lewat telepon tadi pagi. Tapi dia tak perduli, service plus-plus perempuan muda di hotel barusan membuatnya sangat senang, dan itu lebih dari cukup untuk menawar omelan si nyonya besar berbadan lebar, istrinya, nanti di rumah.

Tit! Tit!

Klakson bersahut-sahutan tak sabaran. Peluh berhamburan. Masing-masing mengumpat dalam hati. Emisi membuat napas sesak. Ada lima orang di sudut angkot yang mengibas-ngibaskan tangan di depan muka, berharap sedikit sejuk mau singgah menyapa peluh. Tak mungkin. Tarif jauh-dekat 2000 rupiah tak memungkinkan angkot reot seperti itu memasang air conditioner. Kenapa tak naik bus saja?

***

Didalam bus.
Seorang laki-laki muda tersenyum, seperti senyuman perempuan muda di depannya. Mulutnya mengunyah permen karet. Tapi ia rasa perempuan itu tertarik padanya; berambut hitam panjang, dengan pakaian kemeja kancing semi terbuka leher jenis V, rias wajah minimalis dan sehelai salt yang melingkar, melambai-lambai ditiup angin dari sisi jendela bus yang terbuka sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun