Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini berarti bahwa kita sebagai warga Negara Indonesia juga ikut berperan dalam menjalankan tata kepemerintahan Demokrasi juga menjadi sarana penyampaian aspirasi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya dan diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Namun pada kenyataannya, kehidupan politik Indonesia sangat jauh dari landasan dasar negara kita yaitu Pancasila. Posisi pemerintahan seharunya di isi oleh orang-orang yang berkualitas, berintegritas, dan mementingkan kehidupan rakyat banyak.Â
Namun kebanyakan posisi pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang berkuasa, berduit, mempunyai pangkat tertentu, Hanya untuk kekuasaan keluarga dan mengerti mengenai ilmu perpolitikan. Salah satu fenomena yang terjadi adalah Budaya Politik dinasti, dimana Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan sebab akan mewariskan kekuasaan secara turun temurun agar tetap bisa mendominasi dalam pemerintahan. Salah satu bentuk nyata dinasti politik yang terjadi dan merusak di sekitar kita adalah dinasti politik Mantan Bupati OI Mawardi Yahya dan Mantan Bupati Banyuasin Amiruddin inoed.
Mawardi Yahya, mantan Bupati OI ini rela melepaskan jabatannya dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir demi melenggangkan anaknya AW Noviandi Mawardi untuk melanjutkan tahta di Ogan Ilir. Kehendak untuk mencalonkan diri juga sudah di sampaikan sang anak saat masih menjadi anggota DPRD dan Niat itu tentu didukung oleh Mawardi. Mawardi secara terang-terangan mengungkapkan alasan pengunduran diri tersebut demi langkah politik sang anak Upaya untuk kembali menguasai Ogan Ilir dan seisinya. Namun dinasti yang telah dibangun oleh Mawardi seakan runtuh dengan tertangkapnya sang anak karena kasus narkoba setelah satu bulan menjabat Bupati OI melanjutkan tahta sang ayah.Â
Sebelumnya budaya ini juga telah di lakukan oleh Amirrudin inoed ( mantan Bupati Banyuasin 2 periode ) ke anaknya Yan Anton Ferdian. Pilkada Banyuasin yang dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 2013 dengan menampilkan 6 pasang calon bukan menjadi halangan untuk Amiruddin inoed untuk membangun dinasti nya. Meski pada awalnya di goyang dengan kasus suap Akil Mochtar yang melibatkan hasil pilkada, namun jabatan Bupati tetap jatuh ke tangan Yan Anton Ferdian. Â Setelah berjalan 3 tahun, kejutan pun terjadi. Dinasti ini juga seakan runtuh dengan OTT oleh KPK yang terjadi pada tanggal 4 September yang lalu. Bupati Banyuasin ini di tangkap dalam kasus suap izin lahan di Banyuasin.
Kedua contoh dinasti politik ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kita. Lantas, apakah budaya ini terus di biarkan? Tentu saja tidak. Kasus yang menerpa Bupati OI akibat narkoba dan Bupati Banyuasin karena suap Izin lahan, Â seakan menjadi cerminan bahwa dinasti politik ini bukan didasari atas keinginan rakyat, demi kesejahteraan rakyat, kemajuan daerah, namun hanya jadi alat untuk mencapai ambisi pribadi menguasai daerah. Mereka tak mempedulikan etika dan moral. Mereka membagi-bagi kue kekuasaan dan menganggapnya wajarbelaka. Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan.Â
Dalam penegakan hukum di Indonesia, sering tergagap ketika terbentur kepentingan politik atau perkara yang ditanganinya bersentuhan langsung dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa meski pada kondisi tertentu penegak hukum cukup tegas menghadapi penguasa, namun secara umum tidak demikian dan bahkan terkesan alergi penguasa.Politik dinasti juga berpeluang menyalahgunakan wewenang dengan menggunakan fasilitas negara dan menggunakan pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh bagian dari dinasti guna melancarkan kelanjutan dinastinya. Ini merupakan kegagalan partai dalam sistem rekrutmen kepala daerah, bukannya jadi media menjaring pemimpin yang amanah, malah menjadi ajang mengumpulkan pengaruh kekuasaan, memperkaya diri maupun keluarga dan hanya berambisi utk diri sendiri. lemahnya peraturan undang-undang juga menjadi celah untuk para kepala daerah membangun dinasti mereka.Â
Sudah sepantasnya ini harus di hilangkan. Perlu adanya keseriusan partai sebagai kendaraan menuju kekuasaan untuk memperhatikan mekanisme yang benar demi menjaring pemimpin yang berintegritas, berkualitas, berakhlak mulia dan mementingkan kemajuan rakyat dan daerahnya. Selain itu juga perlu adanya pendidikan politik yang lebih banyak ke masyarakat terutama masyarakat desa atau kelas bawah, karena kebanyakan masyarakat di perdaya dengan memberikan janji-janji palsu, popularitas dari pengusungnya, politik uang dan sebagainya. Masyarakat dapat menjadi pengawal maupun pengawas dalam pemerintahan yang sedang di jalankan.Â
Dari sisi hukum juga, perlu adanya ketegasan hukum dalam undang-undang yang adil agar menutup celah bagi kepala daerah untuk membangun dinasti sehingga dapat mencegah budaya ini berkembang di daerah. Kembali lagi perlu adanya kesadaran dari pemegang amanah untuk melaksanakan tugasnya semoga baik, tidak korupsi, tidak ciptakan dinasti politik, tidak berkuasa demi kekayaan pribadi, popularitas pribadi, tapi untuk kesejahteraan rakyat, karena setiap amanah yang di jalankan akan di pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan yang maha kuasa.
Referensi :Â
https://bawaslu-babelprov.go.id/index.php/artikel/item/1631-kekuasan-dinasti-politik