Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengukur Potensi Kebangkitan Islamis pada Pesta Demokrasi 2019, Realistiskah?

4 September 2018   16:07 Diperbarui: 4 September 2018   18:19 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertarungan peta politik selalu melibatkan kalangan sekuler-liberal dan kelompok agama. Jika kelompok pertama membawa spirit seklularisme dan prinsip-prinsip demokrasi-liberal maka kelompok kedua meyakini agama dan negara adalah satu-kesatuan yang utuh (inseparability).

Arena pertarungan politik dalam perebutan kekuasaan dan konstruksi cita-cita mewujudkan  ideologi (agama vis a vis sekuler) ini sebagai konsekuensi logis dari konsep  negara-bangsa (nation-state).

Begitu pula dengan Indonesia, nuansa tensi pertarungan antara dua kubu (sekularis-islamis) selalu bersitegang baik dalam tingkat lokal dan nasional. Bukan sebatas itu saja, petarungan intelektual pun tak terbantahkan, yang mengaku diri haluan kanan-mewakili agama dan haluan kiri yang bebas dan liberal.

Menariknya, meski Indonesia secara sosio-kultural didominasi oleh agama, pertarungan taraf intelektual dan politik selalu didominasi dan dimenangkan oleh kalangan sekuler.

Dominasi kalangan sekuler dalam kontestasi politik nasional bisa diukur dari hasil pemilu serentak kepala daerah beberapa waktu lalu. Hasilnya, partai sekuler menang telak jauh mengungguli partai yang bercorak agama. Ini sekaligus menandai masih minimnya kepercayaan publik terhadap kelompok islamis yang mewakili elemen agama.

Citra minim kelompok islamis dalam kontes politik karena beberapa alasan, Pertama, mesin politik berupa media. Media adalah medium utama dalam menggiring opini dan citra positif yang mampu menarik perhatian dari beragam segmen masyarakat. Meski dalam beberapa hal, terdapat media-media yang bercorak agama, namun gagal bersanding dengan media meanstream.

Kedua, ada suatu titik dimana masyarakat berfikir pragmatis, yakin bahwa kalangan sekuler memberikan harapan pasti dalam pembangunan sosial-ekonomi meski keyakinan itu masih samar-samar.

Berbagai strategi di tempuh untuk mendongkrak elektabilitas dalam memperebutkan kursi kekuasaan, dari strategi aliansi-bergabung dengan kalangan sekuler hingga menawarkan jargon "nasionalis-religius", namun tetap saja tidak berdampak signifikan. Tapi meski demikian, kegagalan kalangan islamis adalah strategi politik yang semakin matang.

Dari menawarkan fundamentalisme sebagai pondasi negara, hingga nasionalis-religius-berbalut nasionalis dengan visi agama pun adalah sederet komposisi yang telah dicoba. Apakah ini sekaligus menjadi tanda makin terpuruknya gerakan islamis dalam arena politik Indonesia?

Melihat jejak langkah gerakan islamis dalam pentas politik satu dekade terakhir menunjukkan ada proses pematangan strategi gerakan seperti halnya gerakan politik yang terjadi di negara-negara Arab. Bagaimanapun harus diakui, ideologi kalangan islamis di Indonesia bercorong pada gerakan politik di negara-negara Arab seperti Maroko, Libya, Tunisia dan Mesir.

Di Tunisia terdapat gerakan al-Nahdhah (Kebangkitan), di Mesir al-Ikhwan al-Muslimin dan gerakan Salafi. Meski gerakan islamis mengalami pengekangan akhirnya menjadi pemenang pada proses demokratisasi 2011-2013. Nampaknya, potensi ini sedang terjadi dalam pentas politik kita saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun