Dinda, seorang mahasiswi jurusan architecture di sebuah universitas ternama di Indonesia. Dinda adalah typical orang yang kalem, manis, pintar, so pasti baik attitude nya. Selama hidupnya, dia belum pernah yang namanya ‘pacaran’ seperti khalayak muda pada umumnya. Namun kini dia tlah memendam rasa dengan seorang pria yang beda jurusan dengannya. Mereka bertemu pertama kali saat menjadi anggota baru suatu organisasi di kampus.
Sore itu, langit gelap dan jutaan air berjatuhan. Dua sosok mahasiswa semester 1 saling berkenalan, dan salah satu dari jantung mereka berdegup sangat kencang. Ya, orang itu tak lain ialah Dinda. Sejak saat itu, Dinda memendam rasa yang mendalam dengan sosok pria itu. Suatu hari ketika Dinda hendak membeli makanan, tiba-tiba jantungnya serasa mau copot. Ternyata, tak lama kemudian sosok itu muncul dan tersenyum padanya. “Oh Tuhan, inikah anugerah-Mu?”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan hubungan mereka semakin dekat. Ya, mereka bersahabat. Kejadian ‘jantung copot’ selalu berulang ketika mereka bertemu. Dinda pun tak tahu apa arti dari semua ini. Menurut kebanyakan orang, pria itu shalih, tampan, baik, kalem, pintar, dan masih banyak lagi kriteria baik lainnya. Rasanya hampir setiap orang mau dikenalkan dengannya. Namun Dinda, memendam rasa dengan tanpa alasan. Dinda yakin, dan optimis akan rasa itu. Ia berharap suatu saat kisah mereka kan berakhir bahagia dan mereka bisa bersama dalam ikatan yang direstui Tuhan.
Tahun tlah berganti tahun, dan rasa itu masih tetap sama, malah semakin berkembang. Cobaan silih berganti menerpa Dinda. Mulai dari sesosok perempuan yang mendekati sang pangeran, sampai mbak-mbak angkatan atas yang mengejar-ngejar sang pangeran. Namun semua itu tak membuat rasa dalam hati Dinda sirna begitu saja. Tak ada kata cinta diantara mereka, tak ada ikatan apa-apa diantara mereka, dan sesungguhnya, Dinda ingin suatu kepastian. Namun apalah daya, Dinda hanya bisa memendam rasa indah itu dalam hatinya, dan hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.
Tibalah tahun ke-empat Dinda memendam rasa, dan Dinda tlah lulus dari kuliahnya. Ia pernah berjanji pada hatinya, bila lulus nanti, ia akan mengatakan perasaannya padanya. Entah apapun tanggapannya, Dinda tak mau menjadi orang yang menyesal seumur hidup. Menurut beberapa motivator, “lebih baik diutarakan cinta itu daripada kita menyesal”. Bulat sudah tekad dalam hati, saatnya eksekusi!
Di siang yang sangat panas, Dinda merenung, dan menyapa si dia di suatu media sosial. Nihil. Tak ada balasan. Ya, tentu saja resah gelisah melanda. Namun positive thinking selalu ada pada Dinda. Empat jam kemudian, “pyaaarrrr..!” Gelas yang ada ditangan Dinda jatuh seketika. Tangannya gemetaran, jantung berdegup kencang, dan tak sepatah kata pun keluar dari mulut kecil Dinda. Diraihnya laptop, perlahan dia membaca kata demi kata yang hadir dalam pemberitahuan pesan.
Tak lain lagi, itu pesan dari account milik sang pangeran.
Mbak, mohon maaf sebelumnya, mbak itu siapa? Ini saya Angel pacarnya yang punya account ini. Salam kenal.
Air mata tak mampu keluar, hati terasa beku, dan dunia serasa berhenti berputar. Lima belas menit kemudian disamping Dinda ada sesosok makhluk, tak lain lagi adalah sahabatnya, Lina. “Dinda, kamu udah sadar? Alhamdulillah, ini minum dulu Din!” Diteguknya segelas air putih yang disodorkan oleh Lina. “Memangnya aku tadi pingsan, Lin?” Lina menjawab iya, dan bertanya-tanya mengapa Dinda bisa sampai tak sadarkan diri. Namun Dinda hanya tersenyum getir, diam seribu bahasa, dan masih tak percaya akan ini semua.
Setelah dirasa kuat untuk berdiri, Dinda bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah wajib shalat. Selesai shalat, miliaran air mata Dinda jatuh, tak tertahan, dan ia tak mampu berkata apa-apa. Dalam hati Dinda berkata, “terimakasih Tuhan, Engkau tlah menunjukkan kejelasan dan kepastian yang selama ini aku inginkan. Aku sangat berterimakasih pada-Mu yaa Rabb. Aku belum terlanjur mengatakan rasaku, dan semua ini sudah jelas. Aku mencintainya tanpa alasan melainkan karena-Mu, dan aku ikhlaskan dia menjadi milik orang lain, semua ini hanya karena-Mu Tuhan.”
Dinda sosok yang sangat tegar. Masalah-masalah yang selama ini muncul tlah menyulapnya sebagai sosok yang tangguh. Dinda sangat bersyukur kepada Tuhan. Mulai sekarang, Dinda harus bangkit dan terus melanjutkan hidup. Tanpa cinta, tanpa kasih, tanpa kebahagiaan dari seorang pangeran. Selama ini Dinda menyebutnya sebagai Pangeran Impian, dan berharap kan jadi kenyataan suatu saat nanti. Namun impian hanyalah impian ketika Tuhan tak menghendakinya. Manusia hanya bisa merencanakan, namun sejatinya Tuhan lah yang Maha Adil, yang menentukan semuanya sesuai porsinya.
Inilah cuplikan surat Dinda untuk Sang Pangeran Impiannya, yang ia tulis di dalam buku diary nya.
Semestinya, air mata mengalir sederas-derasnya, hati ini patah sepatah-patahnya, dan rasa ini kecewa sekecewa-kecewanya. Yaa,, ini 3 September 2014. Hari Rabu. Hari dimana aku mengetahui apa yang sebenarnya. Hari ini adalah hari lahirku, dan mungkin inilah kado terindah dari Tuhan untukku. Hadiah yang tak kan pernah ku lupa. Rasa yang kusimpan selama kurang lebih empat tahun, yang belum sempat aku nyatakan, kini tlah sirna. Sirna bersama hembusan angin, bersama terbenamnya matahari. Seseorang yang shalih, baik, kalem, ngga neko-neko itu telah menjadi milik orang lain.
Walaupun kita tak ada yang tahu apakah mereka akan sampai ke jenjang pernikahan, namun kemungkinannya untukku hampir tiada. Mungkin hanya nol koma sekian persen. Atas kuasa Tuhan, aku kuat, aku tegar, dan aku mampu menghadapi dan melewati ini semua. Aku yakin, takdir Tuhan selalu indah, seindah ciptaan-Nya. Beliau pasti kan berikan yang terbaik untukku, aamiin. Selamat untuk mu wahai pangeran impian. Namamu tlah cukup menemaniku hingga empat tahun terakhir ini, yang semula kukira tak akan tergantikan oleh siapapun, namun ternyata takdir berkata lain.
Yaa,,mungkin kau bukan pangeranku, mungkin kau bukan takdir ku, dan semoga kau kan slalu jadi sahabatku, sampai kapanpun. Aku sudah bersyukur kepada Tuhan, karna tlah memperkenalkanku padamu, memberiku kesempatan tuk bersahabat denganmu. Itu semua sangat wajib aku syukuri. Alhamdulillah yaa Allah. Selamat tinggal dari hatiku, selamat jalan dengan hidupmu dan kebahagiaanmu. Selamat, selamat, kuucapkan selamat untukmu saudaraku ku.
Memang, wajar saja kita sebagai manusia merasakan jatuh cinta, dan sekaligus patah hati. Namun hendaknya kita menyikapinya dengan wajar, dan hidup masih terus berlanjut. The show must go on. Let us move on and move away! Tanpa kekasihpun, kita masih bisa mengenal cinta. Cinta kepada Sang Khalik, orangtua kita tercinta, sahabat-sahabat yang menyayangi kita, dan saudara-saudara kita seiman. Cinta memang bukanlah segalanya, namun segalanya akan terasa indah bila dilakukan dengan cinta. Cintailah cinta, dan cintailah yang memberi anugerah akan cinta, Dialah Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta, dimana kita sellau mengadu dan memohon kepada-Nya. Mari lakukan yang terbaik untuk-Nya, berprasangka baik pada-Nya, dan Dia akan menyayangi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H