Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Suara Guru: Dark Business, Sekolah dan Cerita Anak Bangsa

11 Oktober 2024   08:00 Diperbarui: 11 Oktober 2024   08:04 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apakah kalian tahu bahwa di sekolah ada sebuah sistem yang mengatur lalu lintas dark business?

Bisnis gelap di sekolah sudah tertata rapi, bahkan sejak dulu pada zaman kompeni. Semua pernah melihatnya, walau tidak semua berkesempatan untuk merasakan hasilnya.

Sebut saja secara gamblang, bahwa penjualan buku di sekolah itu hanya bisnis saja. Apakah di sekolah kalian mengadakan kajian ilmiah untuk menelaah isi buku dari penerbit yang submit sampel bukunya? Jika ada, selamat! Kalian termasuk orang yang beruntung berada di sekolah yang tepat. Jika tidak, selamat juga. Kalian benar-benar berada di Indonesia.

Para pemangku kebijakan, pejabat tinggi di lingkungan sekolah, hampir semuanya tidak pernah melakukan telaah atas buku yang akan dibeli. Minimal, melihat isi buku secara gamblang, apakah relevan dengan kurikulum operasional sekolah, atau budaya belajar di sekolah.

Pertimbangan pemangku kebijakan, pejabat tinggi di lingkungan sekolah adalah besarnya fee yang didapat dari penjulan buku. Tidak peduli buku itu bermanfaat atau tidak, dipakai atau tidak, selaras dengan pembelajaran atau tidak. Yang penting untung besar, bisa jalan-jalan dan dapat gift dari penerbit.

Permainan semacam ini sudah lama terjadi dan masih banyak dipraktekkan di sekolah-sekolah. Jika pimpinan sekolahnya bijak, keuntungan itu akan dibagikan ke semua stakeholder di sekolah. Berbuat baik katanya, padahal hanya untuk menambah durasi bisnis di sana. Coba ketika mereka tidak kebagian fee, wah, bisa-bisa  para guru berkoar-koar, saling sindir di media sosial.

Tapi tulisan ini lahir bukan karena ketiadaan fee buku, melainkan keresahan yang telah lama membeku. Para pejabat tinggi di sekolah tidak memikirkan anak bangsa yang memiliki cita-cita yang luhur. Orang tua mereka bersusah payah membayar buku dengan harga mahal dengan menyampingkan pengembangan bakat minat anak.

Karena membayar buku yang jutaan itu, anak-anak tidak bisa ikut kelas melukis, memasak atau menulis. Cita-cita itu kian tergerus dengan keserakahan para pejabat tinggi. Entah kapan praktek tersebut akan berlangsung, tetapi yang jelas, selama mereka masih memungut fee, maka tidak akan pernah ada kualitas belajar di sekolah.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun