Beberapa waktu lalu terdengar kabar bahwa bangunan MTSN 19 Pondok Labu dan merenggut 3 korban meninggal dunia dari kalangan siswa. Kejadian nahas itu disebabkan curah hujan yang deras mengakibatkan adanya luapan air dan mendorong bangunan madrasah. Debit air tersebut tak mampu ditahan dan mengakibatkan bangunan roboh.
Berita ini tentu membawa duka mendalam bagi dunia pendidikan Indonesia. Satuan pendidikan yang harusnya berfungsi sebagai rumah kedua yang menciptakan rasa aman dan nyaman dalam proses belajar, nyatanya berubah menjadi momok yang menakutkan dan wujud malaikat pencabut nyawa.
Terlepas bencana alam yang menyebabkan kejadian itu, ada campur tangan manusia dibelakang layar yang berperan dalam membangun gedung belajar. Terkadang, proses pembangunan sekolah, dimana pun itu, terkesan dipaksanakan dan diada-adakan. Kalimat "yang penting jadi" menjadi wujud tidak seriusnya stakeholder yang membidangi pengerjaan proyek tersebut.
Masih teringat postingan Gubernur Jawa Tengah yang menendang bangunan sekolah yang baru saja selesai, namun nyatanya tak kuat dengan tendangan itu. Ini menandakan kualitas bangunan sekolah di Indonesia masih perlu dikaji ulang keamanannya, baik dari sisi konstruksi bangunan maupun standarisasi nasional.
Banyak bangunan sekolah yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, namun dikarenakan satu dan lain hal, proses verifikasi tersebut dipermudah atau sekadar dilewatkan saja. Akibatnya, nyawa siswa menjadi taruhan, sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya.
Peristiwa pandemi yang berkepanjangan sejak 2020 silam sebenarnya telah mengajarkan banyak hal pada sistem pendidikan di Indonesia. Transformasi belajar dari era konvensional menjadi digital adalah salah satu upaya yang perlu dikaji dan dipertimbangankan penggunaannya di masa yang akan datang.
Anggaran yang besar untuk pendidikan dan pembangunan sekolah di perkotaan bisa dialihfungsikan ke desa-desa yang jauh panggang daripada api, baik dari sisi bangunan maupun fasilitas penunjang lainnya. Sebagai langkah konkritnya, sekolah-sekolah di perkotaan dapat menggunakan sistem pembelajaran hybrid.
Pembelajaran online di era pandemi sebelumnya memberikan isyaroh atau tanda bahwa pada masanya pembelajaran di Indonesia harus beralih model, siap ataupun tidak. Karena zaman telah menuntut perkembangan semacam itu.
Sehingga ke depannya, kelas-kelas konvensional akan diminimalisir dan dialihkan pada kelas maya, yang tentu tidak membutuhkan lahan dan bangunan. Cukup dengan koneksi internet dan perangkatnya, sebuah proses pembelajaran telah terjadi.
Satu atau dua tahun ke depan tentu masyarakat masih canggung dengan keberadaan model pembelajaran hybrid, yakni memadukan model pembelajaran daring dan luring. Mungkin 5 hingga 8 tahun juga demikian.
Tetapi jika berbicara jangka panjang, maka langkah ini perlu diterapkan dari sekarang. Karena zaman menuntut manusia untuk berpikir kreatif dan bertindak digital. Sehingga digitalisasi pendidikan harus benar-benar dilaksanakan dan diimplementasikan segera.