Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pensil Warna Abay: Sebuah Ide

24 September 2022   10:08 Diperbarui: 24 September 2022   10:12 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Denting pensil patah terdengar ditelinga. Jatuh ke tanah, menyentuh rerumputan hijau, mulai menguning bersamaan dengan waktu yang terus berputar. Kesiur angin dari Barat mulai menyapa wajah ku, seakan-akan meredakan api amarah yang kian memuncak hingga ubun-ubun.

Rupiah demi rupiah yang aku kumpulkan ternyata harus ditarik lagi oleh sekolah. Aku tidak pernah menyangka bahwa infaq akan menjadi program rutin sekolah. Bagaimana bisa itu terjadi. Konsep infaq yang bersifat sukarela sepertinya tidak berlaku disini, di sekolah bertingkat dua ini.

"Dengar anak-anak. Infaq ini untuk kebaikan kita semua. Lihat ruang serba guna kita yang sering digunakan untuk program keagamaan dan OSIS, panas, pengap dan sesak. Dana infaq itulah nanti akan digunakan untuk kesejahteraan ruang itu. Kita semua akan menikmatinya."

Ucapan Pembina Osis itu sangat miris. Tidak mencerminkan wujud dari demokrasi di Indonesia. Minimal harus ada penjelasan logis dan ilmiah untuk meyakinkan kami para siswa agar uang yang ditarik benar-benar untuk kemaslahatan ruangan.

"Bukankah sudah ada uang gedung yang ditarik dari setiap pendaftaran siswa baru, pak? Jumlahnya besar, loh. Dikalikan dengan angkatan tahun ini yang masuk sudah ....." belum selesai aku bicara, pembina OSIS itu memotong.

"Uang gedung itu sekarang sedang dialihkan untuk pembangunan kampus dua dan tiga di daerah kecamatan sebelah. Lagi pula kamu kan belum lunas bayarannya, kok sudah mengungkit uang gedung."

Ucapan lelaki paruh baya itu benar-benar menghujam hatiku. Mulut ini terasa dikunci, mata terbelalak, telinga seakan-akan ingin aku lepaskan dari kepala. Kalimat yang keluar dari Pak Mansur, begitu kami menyebutnya, sangat mengiris hatiku. Bagaimana mungkin seorang kandidat magister pendidikan di universitas terkemuka berbicara seperti itu, mempermalukan siswanya sendiri dihadapan banyak orang.

Aku sudah tidak tahan rasanya. Ingin sekali aku pergi ke ladang ubur-ubur, berburu berbagai hewan disana bersama teman paling bodoh sedunia, daripada harus terpaku di sekolah ini.

Aku memang miskin, makan saja sehari sekali. Itu pun harus berbagi bersama ayah. Kalian mungkin tidak akan percaya masih ada keluarga miskin seperti kami di era sekarang. Tapi faktanya, kemiskinan itu nyata.

Persetan orang yang berdebat soal pergantian Pancasila sebagai ideologi negara. Toh, kami sendiri tidak pernah merasakan kehadiran Pancasila di kehidupan masyarakat. Tidak ada keadilan untuk kami rakyat kecil. Sekali kecil, selamanya kecil. Suara kami kecil, tak didengar hingga istana. Tangan dan kaki kami kerdil, untuk berjuang mencari keadilan. Tak ada yang peduli, bahkan kepala sekolah yang dermawan pun tak mau melihat kondisi kami.

Aku hanya ingin pensil warna. Tentu saja barang itu bukan untuk mencuri uang negara, atau membakar lahan gambut di tanah Kalimantan, atau mengurangi takaran minyak di stasiun pengisian bahan bakar. Aku hanya ingin mewarnai gambar yang sudah dibuat oleh goresan pensil 2B. Hanya itu saja. Mengapa selalu dipersulit dengan dalih infaq?

Pagi itu, tepat hari Kamis, dimana hujan mengguyur bumi selebat-lebatnya. Matahari tidak tampak sedari aku berkemas peralatan sekolah. Sepertinya ia sedang sedih, hingga tak mau berdinas menerangi bumi hari ini. Burung-burung tak lagi bernyanyi, ayam jantan pun demikian, lebih memilih berselimut di dalam kandang. Cuaca hari ini sangat dingin. Aku menunda keberangkatan ke sekolah. Hujan deras seperti ini tentu saja akan membasahi buku gambarku. Tentu saja aku tidak peduli dengan buku-buku lainnya, atau bahkan tubuh mungilku. Aku hanya menyayangi karya seniku. Tak rela basah diserang oleh hujan.

Sembari menunggu hujan, aku buka lembaran-lembaran yang penuh gambar itu. Kulihat satu persatu, semuanya hitam dan putih. Entah sampai kapan gambar indah ini harus menunggu untuk diwarnai. Teringat pula bagaimana sekolah merampas paksa uang saku hanya dengan dalih infaq. Aku harus menunggu lebih lama lagi untuk membeli pensil warna.

Semakin aku mengingatnya, semakin aku membencinya.

Hingga muncul sebuah ide yang membuatku bersemangat lagi. Sebuah ide tentang pensil warna, yang bukan hanya sekadar mewarnai buku gambarku, tetapi juga perjalanan hidup seorang anak seni. 

Aku harus berangkat sekolah, sekarang.

Bersambung.

(Jangan lupa baca bagian satu: Pensil Warna Abay)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun