Manusia itu makhluk sempurna, dibekalkan banyak nikmat dari Sang Pencipta. Sejak lahir, manusia diberikan pendengaran, penglihatan dan hati. Dari sana bermula tugas awal kehidupan, yakni bersyukur atas kenikmatan yang didapat.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan manusia dari masa ke masa menunjukkan kehebatan Sang Kuasa. Ada manusia yang diberikan kemampuan berpikir bijak, kritis dan akurat, yang sekarang dikenal dengan sebutan kaum intelektual. Mereka senantiasa menggunakan akal sehat dalam berpikir lurus serta mengambil kebijakan penting untuk kehidupan yang lebih baik.
Tetapi ada satu hal penting yang terselip di dalam dada. Satu hal yang penting itu menjadi sumber dan modal kehidupan berkelanjutan. Hal tersebut disebut iman, yang menjadi amanah Tuhan dalam diri manusia. Iman menjadi wujud kebaikan di dunia ini. Tidak ada kebaikan yang hadir, kecuali karena keimanan yang memenuhi hatinya. Begitupun sebaliknya, tidak ada kejahatan yang terjadi di dunia, kecuali kekafiran telah memenuhi rongga dada.
Keimanan dan kekafiran hidup berdampingan dalam hati manusia. Setiap manusia pasti memilikinya, bermula dari awal diciptakan hingga hari berakhirnya kehidupan. Semua aspek di dunia ini berdasarkan kondisi hatinya. Dominasi antara keduanya didukung dari landasan intelektual, yakni hadiah akal dari Tuhan. Sehingga kebaikan dan keburukan itu dapat diterima secara logika, bisa diwujudkan dalam bentuk yang lain, atau sekadar visualisasi secara zahir.
Berangkat dari kehidupan kontekstual sekarang, nyatanya banyak ditemukan kesenjangan antara teori dan fakta di lapangan. Iman yang seharusnya dapat membawa manusia ke jalan yang terang benderang, ternyata menggiring opini manusia ke jalan buntu nan gelap. Banyak orang-orang yang bersurban, yang menjadi refleksi keimanan, yang menjadi lubang kebaikan dunia, ternyata berlaku sebaliknya, menjadi arogan, amoral, atau bahkan pembuat rusuh dan keributan di jagat dunia.
Akal yang menjadi landasan berpikir kaum intelektual, wujud dari logika yang sehat, atau visualisasi hal yang bersifat zahir, diredam dan dimatikan pada aspek yang salah dan keliru. Ketika dihadapkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, akal dan iman adalah kuncinya. Jika dalam posisi itu akal dan iman disingkirkan, justru kedzoliman, kemungkaran dan segala hal yang bersifat durjana akan merajalela di muka dunia.
Pemimpin-pemimpin dunia adalah orang yang menjadi panutan dan pengambil kebijakan. Segala bentuk keputusan negeri adalah hasil persetujuan pemimpin. Sehingga hal-hal yang bersinggungan dengan kemanusiaan, perlu dilihat dari berbagai aspek dan perspektif. Lingkaran diskusi harus diperluas agar mendapatkan banyak sudut pandang.
Adanya diskusi di meja-meja bundar, atau di forum-forum kecil, tujuannya agar mendapatkan banyak pandangan. Isi kepala setiap orang berbeda-beda, karenanya berkumpul satu majelis bermaksud memvisualkan isi kepala itu supaya dapat dilihat oleh orang banyak.Â
Nyatanya berkumpul di satu meja hanya mendengar celotehan pimpinan yang merasa bijak, atau argumen titipan dari atasan semata. Tidak ada ruang diskusi yang terbuka. Tidak ada pula termin bertanya antar anggota. Hanya mendengarkan dan mengisi daftar hadir, seolah-olah seluruh peserta setuju dengan hal yang dibicarakan.
Padalah setiap keputusan harus dikomentari, dikritik dan dikonfirmasi kebenarannya. Sebab, kebaikan yang muncul bukan hanya karena niat yang baik, tetapi cara dan perbuatan yang turut berada dalam lingkaran kebaikan. Jika niat diwujudkan dengan carayang salah dan melanggar hukum, baik dalam hidup bernegara maupun beragama, sama saja hal tersebut menjadi sumber keburukan.Â
Setelah nabi, tak ada lagi manusia yang menyandang predikat ma'sum, yang mana telah dijamin kebenaran hidup atau dijaga dari perbuatan dosa. Boleh jadi kebaikan yang diimpikan ditunaikan seiring dengan menggeloranya hawa nafsu.